Oleh Widi Kusnadi, wartawan MINA
Di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan kita, baru-baru ini publik dikejutkan oleh peristiwa di Demak, Jawa Tengah. Seorang guru madrasah diniyah (madin) dilaporkan ke Polisi karena menampar muridnya.
Sebelumnya, peci sang guru terkena lemparan sendal dari muridnya hingga membuat ia kehilangan kontrol sehingga melakukan penamparan terhadap murid yang dituding sebagai pelaku.
Ironisnya, meski sang guru telah meminta maaf dan menyesali tindakannya, pihak orang tua tetap meminta ganti rugi sebesar Rp25 juta. Peristiwa ini mengundang beragam respons, mulai dari simpati kepada guru hingga kecaman karena tindakan yang dianggap berlebihan.
Baca Juga: Mengukir Solidaritas Palestina Sejak Dini, Tantangan dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Di peristiwa tersebut, ada pelajaran berharga tentang dunia pendidikan kita yang layak direnungkan bersama. Seorang guru, sejatinya adalah manusia biasa. Ia bukan malaikat yang selalu sempurna dalam sikap dan tindakan. Ia memiliki emosi, rasa lelah, bahkan terkadang menghadapi tekanan yang tidak tampak di mata publik.
Namun, itu bukan pembenaran untuk tindakan kekerasan. Pendidikan adalah ladang kesabaran. Guru dituntut untuk menjadi teladan akhlak bagi murid-muridnya. Rasulullah ﷺ bersabda: “إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا” “Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai seorang guru (pendidik).” (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits ini kita belajar bagaimana Rasulullah ﷺ menjadi seorang pendidik yang sukses membekali umatnya dengan ilmu, akhlak dan tindakan nyata untuk kemajuan peradaban manusia.
Rasulullah ﷺ menekankan, bahwa mendidik bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi juga membina akhlak dan membimbing dengan penuh kelembutan. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi Musa dan Harun saat menghadapi Fir’aun, penguasa dzalim, untuk berbicara dengan lembut: فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut.” (QS. Thaha: 44). Jika kepada Fir’aun yang jahat saja harus berlaku lembut, apalagi kepada anak didik.
Baca Juga: Suriah dan Israel Menuju Perang Terbuka?
Namun, bagaimana jika terjadi kenakalan murid yang memancing emosi guru? Ini adalah tantangan nyata. Dalam dunia pendidikan, murid tak hanya membawa potensi kebaikan, tetapi juga dengan berbagai latar belakang keluarga dan pergaulan yang memengaruhi sikap mereka di kelas. Maka, kesabaran guru diuji di titik ini.
Buya Hamka pernah menasihati, “Kalau guru tidak sabar menghadapi muridnya, bagaimana kelak murid itu akan sabar menghadapi hidupnya?”
Di sisi lain, orang tua juga memiliki tanggung jawab besar. Sikap orang tua dalam menghadapi perlakuan guru terhadap anaknya harus dilandasi dengan sikap tabayyun (klarifikasi).
Jangan mudah tersulut emosi atau langsung membawa ke ranah hukum tanpa mengedepankan komunikasi. Jika guru salah, nasehati dengan baik. Jika anak yang nakal, perbaikilah akhlaknya dan itu dimulai dari pergaulan di rumah.
Baca Juga: Masjid Ibrahimi Warisan Nabi dan Wakaf Umat Islam
Dalam Islam, Allah Ta’ala menekankan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Selain guru dan orang tua, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil dan sehat. Negara harus melindungi guru dengan aturan yang memberikan perlindungan hukum, sekaligus memastikan adanya pembinaan bagi guru yang melanggar kode etik.
Baca Juga: Ustaz di Depan, Tapi Rapuh di Malam Sunyi
Tidak semua kesalahan guru harus selalu diselesaikan dengan jalur hukum di kepolisian dan pengadilan. Pendekatan mediasi dan edukasi jauh lebih baik untuk membangun ekosistem pendidikan yang sehat.
Para pakar pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara telah lama mengajarkan filosofi pendidikan: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.” Guru di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberi dorongan.
Teladan adalah kunci utama. Bahkan ketika murid sulit diatur, sikap bijaksana dan strategi pendidikan harus diutamakan ketimbang kekerasan.
Sikap guru dalam menghadapi kenakalan murid sebaiknya dibingkai dengan pendekatan psikologis dan pembinaan karakter. Pendidikan modern mendorong adanya positive discipline, yaitu mendisiplinkan tanpa kekerasan tetapi dengan konsekuensi logis yang membentuk kesadaran anak.
Baca Juga: Sejarah, Islam dan Budaya Masyarakat Kazakhstan: Abai sebagai Inspirasi Bangsa
Guru dan para ustaz juga perlu meningkatkan kemampuan manajemen kelas dan komunikasi efektif untuk menghindari letupan emosi jika mendapati murid dan santrinya yang tidak disiplin atau melanggar peraturan dan etika.
Nasihat para ulama juga menegaskan pentingnya kolaborasi antara guru, orang tua, dan murid. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebutkan bahwa pendidikan harus ditopang oleh tiga pihak: guru yang ikhlas dan sabar, murid yang hormat dan tawadhu, serta orang tua yang mendukung proses pendidikan di rumah. Jika salah satu pilar ini rapuh, pendidikan akan pincang.
Adapun tanggung jawab murid adalah menghormati guru. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
Baca Juga: Boikot Produk Terafiliasi Zionis Tinjauan Fatwa Ulama
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan tidak mengetahui hak ulama (guru).” (HR. Ahmad).
Di sisi lain, orang tua wajib menanamkan adab kepada anak sebelum mereka mencari ilmu. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Didiklah anak-anakmu dengan adab sebelum engkau mengajarinya dengan ilmu.” Pendidikan adab adalah pondasi agar murid menghargai guru dan ilmunya.
Solusi mengatasi kenakalan siswa perlu melibatkan sinergi antara sekolah, orang tua, dan pemerintah. Program bimbingan konseling di sekolah harus diperkuat, serta pelatihan bagi guru untuk menghadapi dinamika psikologis anak. Pemerintah juga harus menyediakan fasilitas pengembangan kompetensi guru dalam pengelolaan emosi dan komunikasi.
Komunikasi antara guru dan orang tua harus dibangun secara proporsional dan penuh kepercayaan. Jangan biarkan prasangka buruk memutuskan hubungan yang seharusnya harmonis.
Baca Juga: Medsos, Ladang Amal Shaleh Yang Terlupakan
Semua pihak harus menyadari bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru di sekolah, tetapi juga tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan negara.
Akhirnya, peristiwa guru ngaji di Demak harus menjadi cermin bagi kita semua bahwa dunia pendidikan penuh dinamika. Guru bukan malaikat, tapi kita semua berharap mereka menjadi pendidik yang bijaksana.
Orang tua pun bukan jaksa yang siap menuntut jika sang guru bersalah, tetapi pendamping sejati bagi pendidikan anaknya. Pemerintah harus hadir sebagai pelindung dan pengarah. Jika ketiganya bersinergi, insya Allah pendidikan kita akan lebih bermartabat, mencetak generasi berilmu dan beradab.
Allah Ta’ala berfirman:
Baca Juga: Jama’ah Adalah Benteng Terakhir di Tengah Badai Fitnah
…، يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ …
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan yang berilmu di antara kalian beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Mari muliakan guru, didiklah anak dengan adab, dan jadikan pendidikan sebagai jalan bersama menuju bangsa yang berperadaban tinggi dan berakhlak mulia. []
Baca Juga: Rendah Hati di Zaman yang Mengagungkan Eksistensi
Mi’raj News Agency (MINA)