Oleh: Edi Junaedi, Pemerhati Sosial Keagamaan/Pegawai Bimas Islam
Menjelang akhir Ramadan, penulis semakin sadar betapa banyak yang telah diajarkan Ramadan untuk kita. Pelajaran yang menguatkan aspek relijius dan kesadaran keislaman kita dengan nilai-nilai yang ditawarkannya.
Shalat Tarawih, yang fenomenanya begitu semarak setiap malam Ramadan, telah melatih diri kita untuk sesering mungkin membangun kedekatan diri dengan Allah di malam hari (qiyamul lail), di samping Shalat Fardhu dan Sunnah Rawatibnya.
Kebiasaan bersedekah, bahkan kewajiban membayar zakat, telah membentuk kepribadian kita yang dermawan dan senang berbagi untuk meringankan sesama manusia. Yang paling utama adalah syariat puasa, yang telah mendidik diri kita menjadi pribadi yang jujur dan mampu mengendalikan diri dalam menjalani dinamika kehidupan.
Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina
Dengan spirit pengendalian diri, sesungguhnya puasa telah membentuk kesadaran halal dalam diri kita selama Ramadan. Kesadaran halal itu setidaknya bisa dilihat dari dua hal penting, yaitu: Pertama, syariat untuk menghindarkan diri dari makan-minum seharian penuh sejak fajar (Subuh) sampai terbenamnya matahari (Maghrib). Satu hal yang di luar Ramadan dianggap halal saat kapan pun, tapi saat Ramadan hal itu dibatasi hanya halal bila waktu berbuka telah tiba sampai waktu sahur telah habis.
Ketentuan itu setidaknya berdasarkan pada QS. Al-Baqarah/2 ayat 187:
…وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ…
Artinya: “Makan dan minumlah kalian hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Juga dikuatkan oleh hadis Rasul Saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn ‘Umar, artinya “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan (pertama) di waktu malam. Maka, makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan (kedua)” (HR. Al-Bukhari/617 dan Muslim/1092).
Sesuatu yang halal bisa jadi haram bila dilakukan pada siang hari Ramadan, sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Kesadaran akan hal yang halal dibentuk selama Ramadan dengan kebiasaan mengatur pada waktunya.
Kedua, istilah taqwa yang ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah/2 ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan bagimu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelummu, agar kamu tergolong orang-orang yang bertaqwa.”
Hakikatnya bermakna “hati-hati/waspada”. Makna ini merujuk pada riwayat yang sahih tentang Umar bin Khattab RA. yang bertanya kepada sahabat Ubay bin Ka’ab RA. tentang taqwa. Ubay malah bertanya kembali, “Bukankah anda pernah melewati jalan yang penuh duri?” “Ya”, jawab Umar. “Apa yang anda lakukan saat itu?”, tanya Ubay kembali. “Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati”, kata Umar. “Itulah taqwa”, kata Ubay.
Berdasar dari jawaban Ubay atas pertanyaan Umar di atas, Sayyid Quthub dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an berkata, “Itulah taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus-menerus, selalu waspada dan hati-hati jangan sampai terkena duri jalanan, jalan kehidupan yang selalu ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhawatiran dan keraguan, ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak wajar untuk ditakuti, dan masih banyak duri-duri lainnya.”
Prinsip kehati-hatian yang terkandung dalam kualitas taqwa — yang menjadi tujuan puasa itu — merupakan “rem” pengendalian diri kita selama Ramadan. Semakin kuat prinsip kehati-hatian terbentuk dalam diri kita, maka semakin pandai kita menghindari hal-hal yang membatalkan (diharamkan) selama berpuasa, tidak hanya secara lahirian tetapi juga batiniah. Kualitas puasa yang kita raih bukan hanya sekedar haus dan lapar belaka.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Berarti, dengan nilai taqwa kita mampu memilih dan memilah mana yang halal dan mana yang haram dalam hidup kita.
Dari 2 (dua) aspek tersebut di atas, kebiasaan mengendalikan diri dengan bersikap hati-hati untuk tidak makan-minum pada pada waktu yang diharamkan — sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari — sesungguhnya telah membentuk kesadaran halal pada diri kita. Yang halal saja kita atur sedemikian rupa waktunya, apalagi hal yang diharamkan.
Kalau selama Ramadan kita dibangun kesadaran untuk mengatur kapan waktu makan yang halal dan yang haram, maka di luar itu kita diharapkan memiliki “sensitivitas halal”dengan sikap hati-hati memilih mana barang (produk) yang halal dan yang haram, secara dzati (fisik) maupun kaefiyah (cara)-nya.
Hal tersebut menarik bila dilihat dari kaca mata Teori Konstruksi Sosial milik Peter L. Berger. Meminjam teori sosial yang berbasis pada sosiologi pengetahuan ini, pembiasaan positif yang dilakukan selama Ramadan sejatinya mampu mengonstruksi masyarakat Muslim yang sadar halal, lewat proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivikasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dengan internalisasi nilai kehati-hatian untuk mengatur segala hal terkait kehalalan dan keharaman sesuatu – yang hidup di masyarakat — yang ditanamkan dalam diri seorang Muslim mampu membangun pribadi yang sadar halal. Melalui eksternalisasi seorang Muslim berusaha untuk mengejawantahkan nilai-nilai sadar halal dalam realitas sosialnya, sehingga menular kepada individu lainnya. Dan, dengan obyektivikasi realitas sadar halal secara bertahap terbentuk dalam masyarakat Muslim dan terus mewujud dengan dinamikanya.
Bila semua proses ini berjalan baik, niscaya masyarakat sadar halal akan terbentuk secara bertahap. Ini hal yang menggembirakan seiring dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Regulasi ini seyogyanya memang berproyeksi pada terbentung masyarakat Indonesia yang sadar halal. Walaupun secara formil Sertifikasi Halal hanya terkait dengan pelaku usaha, Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), namun secara sosial tetap membutuhkan dukungan dari masyarakat Muslim Indonesia khususnya, bahkan seluruh warga bangsa ini, bila ingin terwujudnya “masyarakat sadar halal” di Indonesia. Wallahu a’lam bish shawwab. (R05/P4)
Sumber: halal-dari-ramadhan#sthash.cG8LMXXf.dpuf" target="_blank">Bimas Islam Kemenag RI
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin