Srinagar, Kashmir, MINA – Tahanan-tahanan di Kashmir mengalami penyiksaan, termasuk waterboarding (bentuk penyiksaan di mana air dituangkan di atas kain yang menutupi wajah dan saluran pernapasan, kain digera-gerakakkan, yangmenyebabkan orang tersebut mengalami tenggelam) , kurang tidur dan penyiksaan seksual,
Hal tersebut terdapat dalam sebuah laporan oleh dua badan hak asasi manusia . Demikian Al-Jazeera melaporkan, Rabu (17/6).
Laporan setebal 560 halaman yang dirilis hari Senin juga menyebutkan penyiksaan lainnya berupa kurungan isolasi, kurang tidur, pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan sodomi.
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Metode penyiksaan lainnya termasuk setrum, tergantung di langit-langit, mencelupkan kepala tahanan ke dalam air (yang kadang-kadang dicampur dengan bubuk cabai), kata laporan oleh Asosiasi Orangtua Orang Hilang (APDP) dan Koalisi Masyarakat Sipil Jammu dan Kashmir (JKCCS).
Selama penyiksaan para tahanan ditelanjangi, dipukuli dengan tongkat kayu, dan tubuh dibakar dengan batang besi, pemanas atau puntung rokok.
“Muzaffer Ahmed Mirza dari Tral dan Manzoor Ahmad Naikoo menjadi sasaran penyisipan batang melalui dubur mereka. Ini menyebabkan beberapa pecah pada organ internal mereka,” salah satu dari 432 kesaksian yang didokumentasikan dalam laporan.
Sementara Mirza meninggal setelah beberapa hari di rumah sakit akibat paru-paru pecah, Naikoo harus menjalani lima operasi yang akhirnya menyembuhkan luka yang diterima karena penyiksaan ini termasuk kain yang melilit penis Naikoo lalu dibakar.
Baca Juga: Jumat Pagi Sinagog Yahudi di Meulbourne Terbakar
“Penyiksaan – instrumen kontrol di negara bagian India Jammu dan Kashmir”, dikatakan bahwa lebih dari 70 persen korban penyiksaan adalah warga sipil, para korban diambil dan dipilih secara acak, disiksa dan bahkan tidak pernah diberitahu untuk apa mereka diperlakukan seperti itu.
India telah menempatkan lebih dari setengah juta pasukan keamanan di wilayah mayoritas Muslim yang disengketakan untuk menumpas pemberontakan bersenjata melawan pemerintahannya.
Pasukan India telah menghadapi kritik karena penggunaan kekuatan yang berlebihan.
Baca Juga: Taliban Larang Pendidikan Medis Bagi Perempuan, Dunia Mengecam
Badan Hak Asasi Manusia PBB tahun lalu menyerukan penyelidikan internasional terhadap pelanggaran hak asasi.
Kepala Hak Asasi Manusia (PBB) juga menyerukan pembentukan Komisi Penyelidikan (COI/ salah satu penyelidikan tingkat tertinggi PBB, umumnya dicadangkan untuk krisis besar seperti konflik di Suriah) untuk melakukan penyelidikan internasional independen yang komprehensif terhadap tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Kashmir.
Badan-badan hak asasi menyerukan pencabutan Undang-Undang Kekuatan Khusus Angkatan Bersenjata (AFSPA), sebuah undang-undang yang memberi kekebalan kepada pasukan dari penuntutan.
Laporan, yang mendokumentasikan kasus-kasus dimulai sejak pemberontakan bersenjata pada 1990-an, yang mengungkapkan banyak tahanan ditempatkan di bawah paksaan perilaku, di mana mereka melakukan kegiatan yang bertentangan dengan “kepercayaan agama” secara terpaksa, mereka seperti menggosok anak babi di tubuh mereka atau memaksa mereka untuk mengonsumsi alkohol.
Baca Juga: PBB akan Luncurkan Proyek Alternatif Pengganti Opium untuk Petani Afghanistan
Dalam beberapa kasus, pernah tikus dimasukkan ke dalam celana korban setelah merendam air gula di kaki mereka.
“Para tahanan dipaksa untuk makan atau minum zat-zat kotor dan berbahaya seperti kotoran manusia, bubuk cabai, kotoran, kerikil, campuran air bubuk cabai, bensin, urin, dan air kotor,” katanya.
Enggan melaporkan
Laporan tersebut mengungkapkan sebagian besar korban sipil yang biasanya enggan melaporkan kekejaman karena takut akan pembalasan di tangan pasukan keamanan.
Baca Juga: Polisi Mulai Selidiki Presiden Korea Selatan terkait ‘Pemberontakan’
Dalam prolog laporan tersebut, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, Juan E Mendez mengatakan, laporan itu akan sangat membantu dalam menarik perhatian masyarakat internasional tentang perlunya mengungkapkan keprihatinan tentang catatan hak asasi manusia India.
Parvez Imroz, pengacara hak asasi manusia dan Presiden JKCCS, mengatakan kepada Al Jazeera “penyiksaan adalah salah satu pelanggaran besar hak asasi manusia yang terjadi di kawasan itu dalam beberapa dekade terakhir.”
“Laporan yang kami buat ini adalah upaya untuk memecah kesunyian di sekitar kejahatan keji ini,” katanya.
Sementara Direktur Jenderal Polisi negara bagian Jammu dan Kashmir, Dilbagh Singh, menolak klaim penyiksaan.
Baca Juga: Korut Tegaskan Dukungan kepada Rusia dalam Menghadapi Ukraina
“Tidak ada kasus seperti itu, jika ada dugaan, ada penyelidikan magister dan penyelidikan lainnya. Jika mereka memiliki kasus seperti itu, mereka harus memberi tahu kami dan kami akan menanggapi mereka”.
Vijay Kumar, selaku penasihat gubernur wilayah bergolak itu, mengatakan akan berkomentar setelah membaca laporan itu.
Profil korban penyiksaan
Laporan itu mengatakan, lebih dari setengah dari 432 korban menderita beberapa bentuk komplikasi kesehatan setelah disiksa.
Baca Juga: Menlu Iran: Asia Barat Mustahil Damai Tanpa Diakhirinya Pendudukan Zionis
“Dalam 432 kasus yang diteliti untuk laporan ini 24 adalah perempuan, 12 diantaranya telah diperkosa oleh personil bersenjata India, dan 44 diantaranya menderita beberapa bentuk kesulitan psikologis setelah mengalami penyiksaan,” kata laporan tersebut.
Korban penyiksaan telah berjuang dengan masalah psikologis lama setelah luka fisik mereka sembuh.
Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2015 oleh Doctors Without Borders (dikenal dengan inisial bahasa Perancis MSF) mengatakan, 19 persen populasi di wilayah ini menderita Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Meskipun India telah menandatangani Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UNCAT) sejak 1997, India belum meratifikasi traktat ini. Dalam ketiga UPR yang dilakukan oleh UNHRC (Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi) pada 2008, 2012 dan 2017, direkomendasikan agar India meratifikasi konvensi tersebut.
Baca Juga: Iran Akan Usir 2,5 Juta Migran Afghanistan Hingga Akhir Tahun
Pada 2010, RUU Pencegahan Penyiksaan diperkenalkan di parlemen India tetapi tidak disahkan dan berakhir pada 2014.
Khurram Parvez, yang juga salah satu peneliti dalam laporan itu mengatakan, “laporan itu merupakan tantangan bagi penghapusan sejarah dan ingatan yang dipaksakan oleh negara”. Katanya
(T/ara/B03/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)