Oleh: DR. Teuku Chalidin Yacob, MA. JP., Ketua Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) Australia, Pendiri Ashabul Kahfi Islamic Centre Sydney– Australia*
Masyarakat Australia sejak lama sudah terbiasa dengan menerima berbagai suku bangsa serta budaya yang berbeda; baik para pendatang dari barat maupun negara-negara di belahan dunia lainnya.
Menurut catatan sejarah, orang Putih pertama yang mendarat di Australia pada tahun 1770 adalah Kapten James Cook yang mendarat di Botany Bay, Kawasan Sydney, New South Wales, Australia.
Kemudian dilanjutkan dengan pengiriman tahanan politik dari Inggris yang kemudian pendatang ini membentuk koloni New South Wales. Selanjutnya terus mengalir pendatang dari Inggris dan Eropa, sedikit demi sedikit, sehingga Australia dikuasai orang-orang kulit putih (Barat) dan Pemerintah Inggris.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Sementara jauh sebelumnya; sekitar tahun 1550, Australia sudah didatangi oleh pelaut-pelaut Makassar Indonesia, namun berbeda dengan kedatangan di era dan setelah Kapten Cook bahwa kedatangan orang-orang Makassar untuk mencari rezeki dengan penangkapan Teripang sebagai hasil usahanya.
Setelah mendapat Teripang, lalu dikeringkan dan kemudian dibawa pulang ke kampung halamannya (Makassar, Indonesia) untuk dijual kepada pedagang-pedagang Cina. Usaha itu dilakukan melebihi 150 tahun, namun karena tujuannya hanya untuk mencari penghidupan dengan berdagang (menangkap, mengeringkan dan menjualnya) Teripang, maka setelah kerja selesai, mereka kembali ke keluarganya masing-masing di Makassar, Indonesia.
Ada di antara para pelaut Makassar yang melakukan pernikahan dengan suku asli Australia (Aborigin), namun kebanyakannya tidak menetap dan mendominasi negeri Australia. Berbeda dengan orang putih yang datang membentuk koloni dan kemudian menguasai bangsa asli sehingga sampai sekarang masih tersisa di kalangan Aborigin yang antipati kepada pendatang kulit putih.
Hal itu tidak terjadi kepada pelaut Makassar yang misi kedatangannya adalah berdagang sehingga mengadakan komunikasi baik dengan masyarakat pribumi. Sehingga dengan demikian hubungan ini dapat terjaga dengan baik hingga ada di antara mereka yang berjalani hubungan yang lebih rapat, sampai ke tingkat pernikahan dengan penduduk pribumi (Aborigin).
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Masyarakat Australia sangat bersyukur dengan hidup dengan berbagai kaum dan budaya yang berbeda, sehingga mereka dapat menikmati makanan-makanan yang berbeda dan juga menikmati kesenian dan budaya dari masyarakat pendatang.
Sehingga pemerintah pun mengalokasikan dana bagi masyarakat berbagai suku untuk mengajarkan dan mempertahankan bahasa dan budayanya masing-masing, sehingga dapat terjaga dan berkembang di dalam komunitas dan mewarisi kepada anak-anak mereka diperantauan. Dengan demikian terjadi hubungan yang harmonis dengan masyarakat pribumi, begitu pula pemerintah, dapat menjalin komunikasi yang rapat dengan masyarakat pendatang dengan berbagai bangsa dengan pendekatan kemanusiaan dan saling memahami budaya masing-masing.
Pada pemerintah daerah, di setiap kawasan mengadakan berbagai festival, di antaranya dengan menggelar kesenian-kesenian, bazar makanan dan pertunjukkan budaya dari berbagai bangsa-bangsa pendatang dan juga pribumi. Program itu sebagai salah satu media untuk menjalin komunikasi antara pendatang dengan pribumi agar lebih rapat dan harmoni.
Acara tersebut bertajuk “Multicultural Food Festival” dan di kawasan tersebut. Dengan demikian akan terjadi saling memahami dan mengerti kesenian dan budaya bangsa-bangsa lain juga dapat menikmati makanan yang berbeda dari seluruh bangsa-bangsa pendatang. Program ini sangat sukses menjalin hubungan yang saling pengertian di antara masyarakat majemuk di Australia.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Di samping itu, juga pemerintah memfasilitasi pembentukan forum bersama untuk mendiskusikan hal-hal yang berbeda dan sensitif antar bangsa, keyakinan atau agama. Di antaranya ada lembaga dialog antaragama yang khusus mendiskusikan persamaan dan perbedaan keyakinan masing-masing sehingga semua agama dapat menjaga batas-batas toleransi dan juga dapat mengetahui mana hal-hal yang dianggap tabu oleh masing-masing agama.
Acara dialog anta ragam tersebut digelar untuk merubah kesalahpahaman di antara agama masing-masing, di antara pemimpin agama tersebut dan juga dalam masyarakat Australia secara luas.
Hal ini juga merupakan salah satu kunci keberhasilan hidup berdampingan di dalam masyarakat najemuk dan budaya serta perbedaan adat istiadat dan agama. Dengan demikian, masing-masing dapat menjaga batas-batas yang telah disepakati baik oleh agama masing-masing maupun kesepakatan menurut adat istiadat dan budayanya.
Puncak dari serangkaian acara tersebut, maka ditetapkanlah “Harmony Day” di setiap 21 Maret bertepatan dengan “The United Nations Intemational Day for the Elimination of Racial Discrimination” yang dihadiri oleh seluruh tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, wanita dari berbagai bangsa dan perwakilan-perwakilan kehormatan dari pemerintah dan swasta.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Acara ini disponsori berbagai lapisan masyarakat, pemerintah dan swasta yang diresmikan atau dibuka oleh walikota di setiap distrik. Salah satu metode dakwah yang sangat jitu diterapkan dikalangan masyarakat mayoritas non Muslim adalah pendekatan budaya, sehingga mereka secara emosional dan rasional dapat menerima ajarannya dan Diinul Islam yang secara konseptual sesungguhnya sesuai dengan harkat martabat manusia serta rasional, maka sangat mudah mengadaptasi dengan lingkungan mana pun.
Di negara-negara maju, terutama di kota-kota besar, kehidupan masyarakatnya memiliki kompleksitas yang rumit. Secara karakter masyarakat mayoritas non Muslim terutama masyarakat perkotaan cenderung berpendidikan tinggi sehingga lebih mengedepankan rasional dalam segala kehidupannya.
Masyarakat Australia, banyak mempertanyakan konsep-konsep agama bahkan banyak di kalangan mahasiswa dan masyarakat berpendidikan menjadi atheis. Jadi yang menjadi pertanyaannya, adalah bagaimana cara dakwah untuk kalangan mahasiswa, intelektual yang paling efektif? Salah satu jawaban yang diberikan oleh salah seorang pengajar di Universty Wolonggong New South Wales (NSW) Prof. Dr. H. Nadzir Syah Hosein; mencontohkan cara menjelaskan konsep rezeki misalnya. Dalam pemahaman masyarakat Australia segala bentuk rezeki itu yang dapat diukur, ini karena sistem keuangan mereka yang tertib.
Namun dalam pemahaman Islam bahwa rezeki itu bukan hanya uang, akan tetapi juga saat bisa tidur nyenyak, isteri tidak selingkuh dan anak-anak tidak bertengkar dan lingkungan masyarakat di mana kita tinggal tidak mendiamkan kita. Oleh karena itu, menggunakan pendekatan budaya dan dakwah Bil Haal lebih tepat dan efektif dan pada gilirannya setelah menerimanya, baru menggunakan penjelasan yang lebih spesifik.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Australia menganut sistem keragaman budaya; sistem ini dianut oleh pemimpin pemerintah, sehingga pada pendidikan untuk sekolah dasar dan lanjutan menyediakan dan memberi hak memelihara bahasa dan budaya asal anak-anak pendatang, dengan menganjurkan pengajaran bahasanya masing-masing di semua sekolah dan menetapkan program bantuan finansial untuk sekolah bahasa separuh waktu.
Di wilayah NSW saja ada sekitar 70 sekolah bahasa dari berbagai kebangsaan. Pada setiap tahunnya, anak-anak sekolah bahasa tersebut dipilih yang terbaik untuk diberikan penghargaan oleh Menteri Pendidikan.
Hal ini merupakan penghargaan yang sangat istimewa bahkan di setiap penghargaan tersebut selalu disampaikan sambutan dari kementerian pendidikan atau diwakili dari Community Language School untuk memberikan motivasi kepada semua pelajar, orang tua murid dan masyarakat majemuk.
Sehingga anak-anak merasa lebih percaya diri untuk bertutur kata bahasa Ibu/Bapak dan kebangsaan serta mengembangkan budayanya masing-masing. Demikian juga Ibu/ Bapak lebih memberikan dorongan kepada anak-anaknya untuk menjaga bahasa dan adat istiadatnya, tentunya bagi masyarakat kita mempertahankan aqidah dan agama adalah yang lebih utama. Dari berbagai budaya dan bahasa yang ada di Australia, maka bahasa Indonesia/Melayu merupakan salah satu bahasa dan budaya yang populer di kalangan masyarakat Australia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Hal ini ada beberapa sebab, di antaranya Bahasa dan Budaya Melayu sudah punya sejarah panjang di Australia, yaitu dengan terjadinya pernikahan Pendatang Makassar dengan penduduk asli Australia (Aborigin) dan ini sudah terjadi sejak tahun 1500. Tatkala pelaut Makassar ke Australia untuk mencari Teripang dan di samping itu juga, Indonesia merupakan negara tetangga manyoritas Muslim yang terdekat dengan Australia sehingga lebih mudah dan praktis untuk menjalin hubungan bisnis dan traveling.
Peninggalan-peninggalan batu nisan yang bertulisan Melayu di kuburan lama di pesisir barat dan utara Australia sebagai bukti nyata sehingga hari ini, dan juga lebih dari 250 kata dalam bahasa Bugis Makassar digunakan di dalam masyarakat Australia. Begitu juga sebaliknya di Makassar Indonesia, terdapat kata-kata Aborigin (ini merupakan salah satu hasil penyelidikan tesis PhD saya dengan judul “Pendatang Muslim Indonesia di Australia”).
Sebagai perkataan bijak atau salah satu adat istiadat Melayu yang sudah mengakar di dalam masyarakat adalah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Artinya di mana saja kita tinggal, harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar sehingga menjadi bagian dari mereka. Tentunya dalam batas nilai yang dibenarkan oleh agama dan adat istiadat kita.
Di samping itu juga bahwa pendatang Indonesia/Melayu yang punya keyakinan Agama Islam, lebih santun dan damai di dalam menjalankan keyakinan agamanya, hal ini agak berbeda dengan masyakarat pendatang Muslim dari Timur Tengah yang sifat dan pembawaanya lebih keras dan punya kesan tidak santun apalagi damai kepada masyarakat yang bukan beragama Islam.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Karena ini pula, Islam yang dibawa oleh masyarakat Melayu lebih dapat diterima oleh masyarakat Australia sehingga walaupun jumlah masyarakat Indonesia/Melayu jauh lebih sedikit dari Masyarakat yang berlatar belakang Lebanon dan negara-negara Arab lainnya. Maka tidak sedikit masyarakat Australia yang memeluk agama Islam di Mesjid, Mushalla dan Islamic Centre yang dikelola oleh masyarakat Indonesia/Melayu.
Sejarah juga telah membuktikan bahwa Islam masuk ke nusantara tidak melalui perang atau kekerasan, hanya melalui komunikasi perdagangan dan perkawinan sehingga dapat melahirkan Islam yang damai dan santun.
Sehingga manakala masyarakat Australia melihat sinis terhadap Islam atau masyarakat Muslim, maka Muslim dan Islam yang dibawa oleh pendatang-pendatang Indonesia/Melayu menjadi alternatif atau referensi sehingga dapat memberikan nilai positif kepada Islam sebagai suatu agama yang datangnya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan, beberapa hal, di antara lain adanya “Indonesia-Australia Muslim Exchange Program” sejak tahun 2002 yang dilaksanakan setiap tahun. Kegiatan ini berjalan atas inisiatif dari Australia-Indonesia Institute, sebuah lembaga dibentuk oleh Departemen Luar Negeri Australia untuk meningkatkan hubungan antara Australia- Indonesia.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Dalam program itu peserta dari Pemuda dan Mahasiswa dari Australia di antar ke Indonesia dan ditempatkan pada masyarakat, agar dapat mengenal lebih dekat dan berkomunikasi lebih intensif serta dapat membina persahabatan yang kental, dapat saling menukar informasi dari kedua belah pihak (Australia dan Indonesia). Demikian juga dilaksanakan aktivitas yang sama tatkala Pemuda dan Mahasiswa Indonesia di antar ke Australia.
Dari hasil laporan Muslim Exchange Program tahun 2013 bahwa pemuda dan mahasiswa Australia sangat berkesan dengan Islam dan Muslim Indonesia. Itu ungkapan secara jujur dan ikhlas dengan perbandingan Islam yang ada di Australia yang kebanyakan berlatar belakang Timur Tengah.
Sikap masyarakat Australia terhadap Muslim
Kemajemukan Muslim di Australia memberi kesan tersendiri, paling tidak ada 120 negara asal masyarakat Muslim menurut data statistik tahun 2006 dan tercatat 340.000 jiwa lebih dan dari jumlah tersebut lebih dari pada satu pertiga lahir di Australia.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Bahkan menurut catatan Australian Federation of Islamic Council (AFIC) bahwa jumlah ummat Islam lebih dari yang dikeluarkan banci tersebut yaitu mencapai 400.000 jiwa. Hal ini, boleh terj adi dikarenakan masyarakat Muslim Australia, merasa khawatir menulis agama Islam dalam formulir sensus yang disediakan pemerintah tatkala itu.
Ummat Islam Australia merupakan bagian yang bernilai dan dinamis dari kehidupan sosial dan budaya bahkan generasi kedua dan ketiga Muslim Australia memainkan peran yang penting dalam membaurkan Muslim pendatang baru dari banyak latar belakang budaya bangsa dan bahasa ke dalam keluarga Muslim dan masyarakat Australia.
Adapun tempat-tempat ibadah atau pusat Islam tersebar ke seluruh Australia, bahkan sekarang sudah mencapai sekitar 140 Masjid, Mushalla dan Pusat Islam di berbagai kota di Australia, di antaranya ada yang terletak di fasilitas umum seperti kampus Universitas, rumah sakit, lapangan terbang, gedung dewan dan Mini Market.
Biarpun demikian belum ada Masjid, Mushalla dan tempat-tempat shalat yang dapat mengumandangkan azan dengan pengeras suara keluar. Azan dengan menggunakan pengeras suara hanya dibolehkan ke dalam Masjid atau Mushalla. Ada pun jadwal shalat, biasanya disediakan di masjid-masjid besar dan pusat Islam, dengan mencetak kalender Hijriyah yang memasukkan jadwal shalat dan diedarkan setelah shalat Jum’at atau diletakkan di masjid, Mushalla tempat-tempat yang sering orang berkunjung. Di samping itu juga diedarkan melalui internet.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Masjid-masjid dan pusat Islam yang agak besar juga memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti kegiatan kepemudaan, olah raga, family day care dan kursus-kursus yang menyangkut pengenalan Islam bagi saudara baru, bimbingan perkawinan, bimbingan haji dan kegiatan sosial lainnya. Sementara kedai makanan halal dan restoran halal juga dapat ditemukan di kota-kota besar di seluruh Australia.
Ummat Islam di Australia yang sudah terbiasa hidup dan berdampingan dengan masyarakat berbilang bangsa dan budaya, maka sudah lebih dewasa dan terbuka, termasuk saat mendapatkan cercaan, tuduhan, penghinaan. Seperti yang terjadi setelah penyandraan, pada Senin, 15 Desember 2014, di Lindt Cafe Martin Place, Sydney, maka banyak Muslim di Australia mendapat imbasnya. Namun kita (Muslim) tetap meresponnya dengan lebih arif dan bijak sehingga keadaan berubah yaitu mendapat simpati dari masyarakat Australia dari berbagi golongan, agama, aktifis dan masyarakat umum.
Hal ini bisa terjadi dengan membuka komunikasi yang intensif dengan masyarakat sekitar; seperti mengadakan “Open Mosque” di seluruh Australia; dengan mengudang secara terbuka, terutama masyarakat sekitar masjid, Muslim atau bukan Muslim untuk memberikan penjelasan mengenai aktivitas yang dilaksanakan di masjid.
Di samping itu, juga menyampaikan bahwa ajaran Islam adalah membawa kedamaian, bukannya teroris dan radikal bahkan aj aran Islam menganjurkan ummatnya lebih santun dan bijaksana.
Setelah melakukan tur di dalam dan sekeling masjid dengan menunjukkan tempat-tempat seperti mimbar, tempat wudhu, sajadah, tirai pemisah antara jama’ah laki-laki dan perempuan dan ruangan Muslimah, Dan lainnya, dilanjutkan dengan penjelasan-penjelasan serta tanya-jawab. Di akhir acara, makan berasama dengan menu makanan kesukaan masyarakat Australia (BBQ) dan makanan-makanan khas komunitas tertentu yang menjadi tuan rumah Open Mosque (misalnya komunitas Turki, Lebanon, Bosnia, Pakistan, Indonesia, Malaysia, dan lain-lain).
Dengan demikian, mereka mengetahui bahwa apa yang kita lakukan di masjid adalah bukan mempersiapkan bom bunuh diri atau aktivitas-aktivitas teroris lainnya (seperti yang dibesar-besarkan di berbagai media massa, TV, Radio, Internet, surat khabar, Dan lain-lain) bahkan apa yang kita lakukan dalam masjid adalah merupakan pekerjaan yang semestinya dilakukan oleh seluruh ummat manusia supaya dapat mempersiap diri, keluarga dan masyarakat agar tetap santun dan aman dengan melaksanakan berbagai aktivitas.
Biarpun masyarakat Australia yang berpendidkan di kalangan akademisi dan aktivis sudah memahami Islam yang sebenarnya dengan diskusi-diskusi dan menghadiri Open Mosque di setiap kesempatan, namun masih tetap ada disebagian kecil dari kalangan anti Islam sehingga masjid sering dicurigai sebagai tempat penyemaian benih-benih ideologi jihad yang dalam kacamata barat adalah militansi/ideologi terorisme.
Karena itu seringkali pemerintah membatasi atau mempersulit izin pendirian masjid-masjid baru, sementara tidak bisa dipungkiri jumlah penduduk yang beragama Islam tumbuh secara signifikan.
Ada pula masjid yang sudah mendapat izin, tetapi dibatasi aktifitasnya termasuk shalat tidak bisa lima kali sehari. Sebagai salah satu contoh Masjid Roseland di NSW; shalat hanya diizinkan Zuhur, Ashar dan Maghrib, itu pun tiga hari dalam sepekan yaitu: Rabu, Kamis dan Jum’at). Padahal Masjid tersebut sudah mendapatkan izin sebelumnya lima waktu shalat tujuh hari sepekan, namun dengan perkembangan akhir-akhir ini, pihak dewan meninjau kembali dan sampailah pada keputusan tiga hari dan tiga waktu shalat yang diizinkan dalam sepekan.
Perbedaan perbedaan tradisi, adat istiadat juga mempengaruhi tata laksana tata tertib di suatu masjid, antara lain misalnya masjid yang dikelola oleh masyarakat Arab membolehkan anak-anak berkeliaran dan sedikit membuat kebisingan, para khatib yang memberi khutbah suara besar-besar seperti mengajak perang, sementara masjid Pakistan/Bangladesh lebih mengutamakan keheningan dalam beribadah. Kalaupun ada suara, maka itu adalah untuk berzikir berjamaah.
Di samping itu pula penyampaian tausiyah oleh para ustadz sangat berbeda antara yang berlatar belakang pendidikan Timur Tengah dengan yang lain, terutama yang datang dari Indonesia yang secara santun mengajak para jama’ah untuk meningkatkan iman dan taqwa dengan tanpa menyudutkan kelompok atau golongan-golongan lain.
Termasuk menghindari istilah-istilah yang dapat diartikan mendiskriditkan Islam dan Muslim. Misalnya, istilah jihad, khilafah dan lain sebagainya dengan menggunakan sinonimnya sehingga bagi masyarakat yang bukan Islam tidak merasa ketakutan.
Kesimpulan
- Pelaut Makassar, Indonesia merupakan pendatang awal ke benua Australia, sekitar 220 tahun sebelum Kapten Cook mendara.
- Melayu Muslim lebih dapat diterima oleh masyarakat Australia karena pendekatan yang digunakan adalah; budaya, nilai-nilai kesopanan dan akhlaqul karimah.
- Masjid, Surau, Pusat-pusat Islam tumbuh dengan pesat di kota-kota besar, kampus, perguruan tinggi, mini market dan kawasan-kawasan masyarakat Muslim bahkan shalat Jum’at ada yang menggunakan gedung dewan.
- Sekolah-sekolah Agama (Islamic School) yang dikelola oleh masyarakat, mendapat alokasi keuangan dari pemerintah; dari 20 sekolah di seluruh Australia belum ada satu pun yang dikelola oleh masyarakat Melayu.
- Peluang untuk mendirikan sekolah Agama (Islamic School) sangat luas, mengingat pelajar Muslim yang berusia 5-18 tahun di NSW sahaja berjumlah 30.000 pelajar sementara yang dapat tertampung di 20 sekolah Muslim yang ada; hanya sekitar 4000-4500 pelajar.
- Mendirikan sekolah, merupakan peluang penguatan ekonomi masyarakat Melayu sekaligus membuka lapangan kerja.
- Sekolah Islam yang latar belakang Melayu, juga dapat menjadikan budaya, adat istiadat Melayu dimasukkan ke dalam co-kurikulum sekolah, pada gilirannya menjadi peluang peningkatan ekonomi masyarakat dan sekaligus dapat mewujudkan Izzul Islam wal Muslimin.
Saran-saran:
- Sekretariat Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) dan perwakilan DMDI diperantauan perlu merencanakan membuatsejarah kedatangan masyarakat Melayu di negara-negara minoritas Melayu/Muslim.
- Sekretariat DMDI perlu mengkoordinasi Perwakilan-perwakilan DMDI seluruh dunia untuk salingmenukar informasi sehingga dapat mengetahui perkembangan DMDI Negara-negara lain.
- Negara-negara yang kerajaan dan pemerintah mayoritas Melayu perlu lebih aktifmerespon keadaan masyarakat Melayu dinegara-negara minoritas Melayu/Muslim.
- Pengusaha-pengusaha sukses disarankan untuk mengadakan kerjasama dengan para pengusaha di negara-negara minoritas Melayu/Muslim terutama dalam hal impor ekpor produk
- Sekretariat DMDI perlu membuka Museum Melayu, sekolah Melayu di negara-negaraanggota, terutama di negara-negara minoritas Melayu/Muslim.
Wallahu’alam Bissawab.
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
* DR. TEUKU CHALIDIN YACOB, MA. JP., Imam masjid di Sydney, putra Aceh yang sudah lebih 30 tahun menetap di negara Kangguru. Dia juga pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) Pusat periode 1986-1989.
Saat ini, Pria kelahiran Beurabo, Padangtiji, 2 Oktober 1955, juga menjabat sejumlah posisi di lembaga Islam di Australia. Di antaranya, Ketua KB PII Australia, Ketua Forum Silaturahmi dan Kemakmuran Masjid Serantau/Sedunia (Forsimas) Australia dan New Zealand, Anggota Dewan Nasional Imam Australia (Australian National Imams Council – ANIC), dan Majelis Fatwa”Halal Certificate” Australia.
Artikel ini disampaikan dalam Konvensyen Dunia Melayu Dunia Islam Ke-16 di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (27/10).
(R05/P2)