Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pembakaran Al-Quran dan Islamofobia

Ali Farkhan Tsani - Selasa, 31 Januari 2023 - 17:05 WIB

Selasa, 31 Januari 2023 - 17:05 WIB

4 Views

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Wartawan MINA (Mi’raj News Agency)

Politisi Swedia Rasmus Paludan (41 th), yang melakukan aksi provokatif membakar kitab suci umat Islam di depan publik, mengaku takut karena ancaman yang diterimanya, setelah ia melakukan aksinya.

Paludan, warga negara ganda Denmark dan Swedia, melakukan aksi atas izin demonstrasi dari Otoritas Swedia, di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia, Sabtu, (21/1/2023).

Berbicara kepada pers Swedia, Paludan mengatakan, “Setelah saya melakukan tindakan membakar kitab suci, saya berkata, Oke, itu saja. Tapi ternyata tidak seperti yang saya kira.”

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

“Ya, saya takut karena seseorang mengatakan akan membunuh saya,” lanjutnya.

Terungkap dari izin demonstrasi di Kepolisian Swedia,  pemimpin partai politik sayap kanan Denmark, Hard Line itu melakukannya sebagai protes anti-Islam dan anti-imigran.

Ia juga hendak memprotes Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang dia anggap berupaya memengaruhi kebebasan berekspresi di Swedia.

Menurut laporan Washington Post, Paludan membakar kitab suci Islam setelah berorasi sekitar satu jam, menyerang Islam dan imigran di Swedia.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

“Jika menurut Anda tidak seharusnya ada kebebasan berekspresi, Anda harus tinggal di tempat lain,” kata Paludan saat protes.

Masih menurut media berbasis di Amerika Serikat itu, protes itu dipicu oleh keengganan Turki untuk mengizinkan Swedia bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Swedia dan Finlandia telah mengajukan keanggotaan aliansi militer NATO dan mereka membutuhkan persetujuan dari 30 anggota blok tersebut. Termasuk Turki yang dipandang memiliki pengaruh cukup signifikan.

Aksi provokatif itu sontak menuai amarah ormas Islam internasional hingga sekelas Organisasi Kerjasama Islam (OKI), para pemimpin Islam, tokoh dan umat Islam seluruh dunia.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Pemerintah Turki sendiri yang menjadi alasan aksi, telah membatalkan kunjungan Menteri Pertahanan Swedia, Pal Jonson ke Turki, yang direncanakan pada Jumat (27/1/2023).

Menhan Turki Hulusi Akar mengatakan, rencana kunjungan telah kehilangan signifikansi dan maknanya.

Rencana kunjungan Menteri Swedia itu bertujuan untuk membahas upaya Swedia untuk bergabung dengan aliansi militer NATO, melalui pendekatan ke Turki, sebagai salah satu anggota NATO.

Perserikatan Bangsa-Bangsa  (PBB) pun bersuara, melalui Perwakilan Tinggi Aliansi Peradaban (United Nations Alliance of Civilizations / UNAOC), yang mengecam pembakaran kitab suci umat Islam itu sebagai tindakan keji.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

“Kami menjunjung tinggi kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia. Namun tindakan pembakaran Al-Quran merupakan ekspresi kebencian terhadap umat Islam,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Seperti di negara-negara Eropa pada umumnya, termasuk di Swedia, kebebasan berdemonstrasi memang sangat dilindungi oleh Konstitusi. Hal itu mencakup kebebasan untuk mengatur dan berpartisipasi dalam demonstrasi di tempat umum.

Otoritas Polisi Swedia bertugas memastikan bahwa pertemuan publik dapat diadakan. Kepolisian hanya dapat menolak untuk mengeluarkan izin pertemuan umum, jika berisiko kuat akan mengganggu ketertiban atau keamanan umum. Harus ada alasan yang sangat kuat untuk menolak mengeluarkan izin mengadakan pertemuan umum atas dasar ketertiban umum.

Tak jera dengan ancaman dan kecaman, Rasmus Paludan kembali membakar salinan kitab suci Al-Quran. Kali ini ia lakukan di depan sebuah masjid di Denmark, pada Jumat (27/1/2023).

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Anadolu Agency menyebutkan, dia mengambil tempat persis di seberang masjid milik Islamic Society setelah shalat Jumat di distrik Dortheavej Kopenhagen. Namun umat Islam di kawasan itu tidak terprovokasi aksi tersebut.

Pembakaran Serupa di Belanda

Setelah di Swedia, Edwin Wagensveld politisi Belanda merobek halaman dari salinan Al-Quran dan membakar salinan lainnya, Ahad (22/1/2023)

Wagensveld, pemimpin kelompok Patriotik Eropa Melawan Islamisasi PEGIDA (Patriotische Europäer gegen die Islamisierung des Abendlandes Patriotic Europeans) Jerman cabang Belanda, melakukan aksi provokatif tersebut di kota Den Haag. Ia melakukannya setelah mendapat izin demonstrasi dari otoritas setempat. Seperti dilaporkan Siasat Daily.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Wagensveld membagikan klip video melalui Twitter, tindakan provokatifnya, yang terjadi di depan Gedung Parlemen di Den Haag.

Video Wagensveld menunjukkan polisi Belanda berdiri di belakang ekstremis sayap kanan itu, tanpa menggerakkan satu jari pun, saat pelaku merobek halaman Al-Quran dan menginjaknya.

Edwin Wagensveld memang dikenal sebagai orang yang suka membuat onar umat Islam. Dia pernah menghina Nabi Muhammad SAW pada masa lalu.

Resolusi PBB tentang Islamofobia

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Menanggapi aksi provokatif pembakaran Al-Quran, Bunyan Saptomo, Ketua Komisi Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, aksi tersebut menunjukkan masih tingginya Islamofobia di Swedia.

“Padahal Swedia dan Eropa pada umumnya, sering menyerukan negara lain untuk toleransi dan menghormati hak kelompok minoritas,” ujar mantan Duta Besar RI untuk Bulgaria dan Albania di Sofia tersebut.

Menurutnya, sangat menyedihkan tindakan intoleransi tersebut dilakukan oleh seorang politisi yang seharusnya menjadi panutan, sebagai penyeru toleransi dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mewujudkan kerukunan antarkelompok masyarakat.

Lebih menyedihkan lagi, lanjutnya, politisi Swedia tersebut tidak tahu, atau tidak mau tahu, bahwa sudah ada Resolusi PBB tentang International Day on Combating Islamophobia yang disetujui pada bulan Maret tahun 2022 lalu dan harus dirayakan setiap bulan Maret.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri telah mendefinisikan Islamofobia adalah ketakutan, prasangka, dan kebencian terhadap umat Islam yang mengarah pada provokasi, permusuhan, dan intoleransi dengan cara mengancam, melecehkan, menghasut, dan mengintimidasi umat Islam dan non-Muslim, baik di dunia online maupun offline.

Islamofobia dimotivasi oleh permusuhan institusional, ideologis, politik dan agama yang melampaui rasisme struktural dan budaya, dengan menargetkan simbol dan penanda menjadi seorang Muslim.

PBB juga menyebutkan, di negara-negara yang minoritas, umat Islam sering mengalami diskriminasi dalam mengakses barang dan jasa, dalam mencari pekerjaan, dan dalam pendidikan.

Di beberapa negara bagian, mereka juga ditolak kewarganegaraan atau status imigrasi resmi karena persepsi xenophobia bahwa Muslim mewakili keamanan nasional dan ancaman terorisme. Wanita Muslim secara tidak proporsional menjadi sasaran dalam kejahatan rasial Islamofobia.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Berkaitan dengan itu, Majelis Umum PBB pada tanggal 15 Maret 2022 mengadopsi Resolusi yang disponsori oleh 60 Negara Anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang menetapkan 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk Memerangi Islamofobia (International Day to Combat Islamophobia).

Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menunjukkan bahwa kefanatikan anti-Muslim adalah bagian dari tren yang lebih besar dari kebangkitan etno-nasionalisme, neo-Nazisme, stigma, dan ujaran kebencian yang menargetkan populasi rentan, termasuk Muslim, Yahudi, dan beberapa komunitas Kristen minoritas.

Guterres mengutip terjemah Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13, ia menyatakan, “Seperti yang diingatkan Al-Quran kepada kita, bangsa dan suku diciptakan untuk saling mengenal. Keanekaragaman adalah kekayaan, bukan ancaman,” tambahnya.

Kepentingan Politik dan Media

Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital

Polling The Gallup menyebutkan, orang-orang Eropa mengatakan bahwa kepentingan politik adalah kekuatan pendorong di balik ketegangan Muslim-Barat, yang kemudian melahirkan Islamofobia.

Promosi Islamofobia itu kemudian menciptakan prasangka dan diskriminasi di kalangan masyarakat umum. Prasangka negatif memainkan peran kunci dalam keberadaan Islamofobia.

Narasi Islamofobia juga dapat lahir karena pengetahuan yang tidak akurat tentang agama Islam. Orang-orang Amerika Serikat misalnya, polling menyebutkan 29% mengatakan, mereka tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang Islam.

Namun orang Amerika Serikat mengatakan mereka mengungkapkan pendapat yang baik tentang Yudaisme. Ini menujukkan pengaruh kuat Yahudi pada masyarakat di sana.

Di samping politik, kekuatan media Barat yang sekuler juga menjadi sumber ketegangan dan memperparah permusuhan anti-Muslim.

Meredam Islamofobia

Penulis tertarik ketika mengikuti Dialog dengan Ulama Amerika Serikat, Dr. Imam Mohamad Bashar Arafat di Kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Kamis (26/1/2023).

Dr. Bashar mengatakan, negara-negara Barat sebenarnya  sedang haus mencari informasi tentang Islam.

Pendiri organisasi nirlaba Civilizations Exchange and Cooperation Foundation (CECF) tahun 2000, di Negara Bagian Maryland, AS itu menyarankan perlunya ulama, yang diharapkan dari Indonesia, untuk mengembangkan dakwah Islam yang Rahmatan lil ‘alamin di negara-negara Barat, khususnya di AS.

Menurutnya, Indonesia adalah negara yang sangat penting di Asia Tenggara dan di seluruh dunia. Bukan hanya negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, melainkan baginya, Indonesia adalah role model dalam menghargai perbedaan, role model dalam moderasi, dan juga role model dalam rahmatan lil ‘alamin.

Tema kasih sayang, cinta dan damai, dari Indonesia adalah isu yang harus dibagikan kepada masyarakat di seluruh dunia.

Ia memberikan catatan, ulama yang akan berdakwah ke negara-negara Barat, harus menguasai ilmu-ilmu syariat Islam, memiliki banyak hafalan Al-Quran dan qiraatnya bagus. Plus berkemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris excellent, baik lisan maupun tulisan.

Tidak kalah pentingnya adalah wawasan global dan pengetahuan tentang kultur budaya Barat yang beragam, cenderung rasional, bebas dan sekuler.

Media juga memiliki peran penting sebagai ujung tombak dunia dakwah era digital. Perlu konten-konten muatan dakwah Islam dalam bahasa internasional, khususnya bahasa Inggris.

Pendekatan seni, budaya, olahraga dan kemanusiaan menjadi penting untuk terus dikerjakan oleh komunitas Muslim di negara-negara Barat, untuk terus memberikan kontribusi positi bagi warga sekitarnya. Terbukti banyak relawan-relawan Muslim Eropa yang aktif memberikan bantuan finansial, logistik, kesehatan, pada masa pandemi Covid-19, dua tahun terakhir.

Pesepabkola Mesir yang bermain di klub Inggris Liverpool, Mohamed Salah, juga menjadi contoh bagaimana sebenarnya umat Islam itu menjadi ikon pemain hebat, berjiwa sosial dan sangat menghargai perbedaan.

Banyak juga seniman-seniman musik, film, sastra, dan yang memberikan warna dan nilai-nilai kedamaian di dalam karya-karya imajinasinya. Karya mereka banyak diterima dengan baik di masyarakat Barat, menunjukkan umat Islam itu bersifat inklusif dan mengerti selera imajinasi mereka.

Kiranya ini menjadi catatan kita semua para penggerak dakwah Islam, wabil khusus para pemimpin dan tokoh umat Islam, ulama dan cendekiawan, untuk terus memberikan kontribusi positif guna meminimalisir Islamofobia di masyarakat Barat. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Kolom
Indonesia
Kolom