Dalam sejarah perang modern, tak ada tempat yang lebih berbahaya bagi jurnalis selain Gaza. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 209 jurnalis telah tewas, menjadikan perang tersebut sebagai yang paling mematikan bagi pekerja media (IFJ, 2024).
Dibandingkan perang lainnya, tingkat kematian jurnalis di Gaza jauh melampaui kasus di Irak, Suriah, dan Afghanistan selama dua dekade terakhir. Mereka tidak hanya kehilangan nyawa akibat pertempuran, tetapi juga menjadi target langsung serangan udara dan artileri.
Di antara mereka adalah Mohammed Mansour, seorang jurnalis yang tewas bersama anak dan cucunya di Khan Younis. “Bangun, bangun dan beritahu dunia nak, bangunlah!” ratap sang ayah di samping jenazah mereka. Kisahnya bukan sekadar duka keluarga, melainkan bagian dari genosida sistematis terhadap kebenaran.
Zionis Israel secara sepihak mengakhiri perjanjian gencatan senjata dan melanjutkan agresinya di Jalur Gaza pada hari Selasa, 18 Maret 2025, melancarkan gelombang serangan udara berdarah di seluruh Jalur Gaza dan menewaskan ratusan warga Palestina, termasuk lebih dari 100 anak-anak.
Baca Juga: 9 Strategi Media Barat dalam Menampilkan Isu Palestina secara Bias
Serangan udara Israel pada Senin (24/3) menewaskan wartawan Al Jazeera Mubasher Hussam Shabat di Jalur Gaza utara. Shabat, tewas dalam serangan udara Israel terhadap mobilnya di Jalan Salah ad-Din di Jalur Gaza utara saat ia meliput berbagai peristiwa. Serangan udara yang sama juga mengakibatkan tewasnya empat warga sipil dan melukai yang lainnya.
Serangan ini menyusul tewasnya Mohammad Mansour, seorang wartawan untuk Palestine Today TV, yang tewas dalam serangan udara Israel, yang menargetkan sebuah rumah di daerah Al-Batin Al-Sameen, selatan Khan Younis pada hari Senin sebelumnya.
Sumber-sumber lokal mengatakan bahwa pasukan penjajah Israel melanjutkan gelombang serangan udara mematikan di semua bagian Jalur Gaza, yang mengakibatkan sejumlah korban tewas, termasuk Shabat, dan korban lainnya.
Sejak penjajah Zionis melanjutkan perang pemusnahannya itu, lebih dari 750 warga telah tewas dan sekitar 1.400 lainnya terluka, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan wanita, di tengah pemboman oleh pesawat tempur, pesawat nirawak, dan artileri Israel terhadap rumah, fasilitas, rumah sakit yang mengungsi, tenda-tenda warga, kendaraan, dan pertemuan warga sipil.
Baca Juga: Sejarah Yahudi adalah Sejarah Kekalahan
Kantor Berita Palestina WAFA melaporkan, sejak 7 Oktober 2023, penjajah Zionis Israel telah melakukan genosida di Jalur Gaza, yang mengakibatkan lebih dari 163.000 korban jiwa dan luka-luka, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan wanita, dan lebih dari 14.000 orang hilang.
Selain itu, sedikitnya 10.000 orang tidak diketahui keberadaannya, diduga meinggal di bawah reruntuhan rumah mereka di seluruh Jalur Gaza.
Agresi genosida Zionis Israel juga mengakibatkan pemindahan paksa hampir dua juta orang dari seluruh Jalur Gaza, dengan sebagian besar pengungsi dipaksa ke kota Rafah yang padat penduduk di selatan dekat perbatasan dengan Mesir – yang telah menjadi eksodus massal terbesar Palestina sejak Nakbah 1948.
Menurut Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), jumlah jurnalis yang gugur di Gaza melampaui angka korban dari konflik lainnya sejak mereka mulai mendokumentasikan data pada 1992. Per Januari 2025, 91 jurnalis tewas hanya dalam satu tahun terakhir, termasuk 23 jurnalis perempuan yang sering kali menjadi satu-satunya suara bagi keluarga Palestina yang terperangkap di bawah reruntuhan.
Baca Juga: Jelajah Bumi Para Nabi
Serikat Jurnalis Palestina (PJS) melaporkan bahwa 86 jurnalis lainnya mengalami luka-luka, banyak di antaranya akibat serangan langsung yang diduga disengaja. Taktik yang digunakan mencakup serangan udara ke rumah dan kantor pers, drone yang menargetkan individu, serta tembakan penembak jitu.
“Dunia telah tuli,” ujar Hussam Shabat, dalam siaran terakhirnya sebelum jaringan komunikasi di Gaza lumpuh total dan menuju kematiannya. Tanpa listrik dan akses internet, para jurnalis menggunakan ponsel yang tersisa untuk mengirim bukti kejahatan perang ke platform internasional.
Bukan Sekadar Korban, Tetapi Target
PBB mencatat bahwa 95% infrastruktur komunikasi Gaza telah dihancurkan, bagian dari strategi perang informasi Zionis Israel untuk membungkam saksi mata perang.
Baca Juga: Menjaga Diri dari Godaan Duniawi di Akhir Ramadhan
Tiga jurnalis perempuan dalam video dokumenter yang dipublkikasikan International Media Support (IMS) mengatakan, “Setiap pagi, saya memilih antara meliput atau mengubur anak saya.” Kini, 70% jurnalis perempuan di Gaza terpaksa mengung*, namun tetap bekerja dari tenda-tenda darurat tanpa rompi antipeluru atau akses listrik.
Serangan tersebut bukan hanya pelanggaran terhadap jurnalis, tetapi juga kejahatan terhadap masyarakat internasional yang berhak mengetahui kebenaran. Tanpa laporan mereka, tak akan ada bukti untuk Mahkamah Internasional. Tak ada yang mengingatkan kita bahwa 312 anak Gaza tewas setiap harinya bukan sekadar angka statistik.
Dunia Harus Bergerak
Solidaritas global untuk jurnalis Gaza bukan sekadar tuntutan moral, tetapi keharusan hukum internasional. Organisasi media harus menuntut perlindungan bagi jurnalis di zona perang, termasuk akses bantuan psikososial, rompi antipeluru, dan satelit komunikasi darurat. Hak mereka sebagai pekerja media yang bertugas di lapangan harus dijamin oleh konvensi internasional dan diimplementasikan dalam kebijakan nyata.
Baca Juga: Bulan Ramadhan Ibarat Permainan Ular Tangga, Dimana Posisi Kita?
Dunia internasional harus menekan Zionis Israel agar bertanggung jawab atas kejahatan ini. Komunitas global tidak boleh diam melihat impunitas yang terus berlanjut. Tekanan diplomatik dan hukum harus ditingkatkan untuk menyeret pelaku kejahatan perang ke pengadilan internasional.
Setiap individu dapat berkontribusi dengan terus menyebarkan laporan independen, mendukung jurnalis Palestina, dan tidak membiarkan mereka bekerja dalam kesunyian. Dukungan dari masyarakat sipil, akademisi, serta komunitas media menjadi kunci agar suara mereka tidak tenggelam dalam propaganda yang menyesatkan.
Ketika Ramadhan tiba, Gaza tidak hanya berpuasa, tetapi juga berkabung. Jika dunia tetap diam, maka pembantaian ini akan menjadi preseden bagi penindasan lebih lanjut di belahan dunia lain—termasuk pada ruang redaksi di Jakarta, Manila, atau Mexico City.
Seperti kata ayah Mansour, “Bangunlah!” Karena jika jurnalis terakhir di Gaza terbungkam, maka kegelapan akan menyelimuti kita semua.[]
Baca Juga: Gila Hormat dalam Perspektif Ilmiah dan Syariat Islam
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tarawih Express: Antara Kecepatan dan Kekhusyukan