Jakarta, MINA — Dunia saat ini menghadapi lima tantangan besar yang saling berkaitan, yakni cuaca ekstrem, krisis sistem bumi, keruntuhan keanekaragaman hayati, pemanasan global, dan kelangkaan sumber daya alam.
Menyikapi tantangan itu, sebanyak 400 pemuka agama dan perwakilan organisasi keagamaan mengikuti Pembekalan Ilmiah Pemuka Agama dan Komunitas Keagamaan tentang Hutan, Manusia, dan Bumi, yang diselenggarakan Interfaith Rainforest Initiative (IRI) Indonesia pada 11-12 Juni 2025 di Jakarta.
Fasilitator Nasional IRI Indonesia, Dr. Hayu Prabowo, menegaskan, menjaga kelestarian lingkungan bukan hanya tanggung jawab negara, melainkan kewajiban moral semua umat beragama.
“Nilai-nilai agama mengajarkan bahwa menjaga alam adalah bentuk ibadah dan amanah Tuhan untuk kehidupan generasi kini dan mendatang,” kata Hayu kepada MINA di Jakarta, Ahad (15/6).
Baca Juga: Cuaca Jakarta Akhir Pekan Ini Cerah Berawan dan Berpotensi Hujan Ringan
Kegiatan selama dua hari itu digelar di dua pusat sains nasional—Gedung BMKG Kemayoran dan BRIN Gatot Subroto—dengan melibatkan BMKG, BRIN, BNPB, KLHK, serta para tokoh lintas iman dan organisasi masyarakat sipil.
Hayu menjelaskan, pemuka agama memiliki posisi strategis sebagai pemimpin moral di tengah masyarakat.
“Sebagai penyatu nilai spiritual lintas keyakinan, mereka mampu menggerakkan umat untuk menjaga hutan tropis, ‘paru-paru’ penjaga keseimbangan bumi yang kini makin kritis,” ujarnya.
Dalam sesi panel dan diskusi, para peserta mendapat paparan dari sejumlah pakar, termasuk Deputi Klimatologi BMKG, Kepala Pusat Geoinformatika BRIN, hingga akademisi dari CIFOR-ICRAF, terkait data iklim, perubahan tutupan lahan, deforestasi, dan risiko bencana alam.
Baca Juga: Dr Wahyudi KS: Sedekah, Amal Sederhana dengan Keutamaan Luar Biasa
Data yang dipresentasikan menunjukkan bahwa degradasi hutan tidak hanya mempercepat perubahan iklim, tetapi juga memperbesar risiko banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran yang paling dirasakan masyarakat adat, petani, dan nelayan.
Pada hari kedua, peserta mengunjungi fasilitas pemantauan iklim dan mempelajari berbagai portal geospasial, seperti SIMONTANA, Hotspot BRIN, hingga peta risiko bencana Inarisk BNPB.
Mereka juga diperkenalkan pada aplikasi cuaca BMKG untuk mendukung dakwah yang kontekstual berbasis data lingkungan.
“Integrasi antara teknologi, metode ilmiah, dan kearifan lokal harus menjadi pendekatan holistik kita ke depan. Pesan agama yang didukung data akan lebih kuat dan berdampak, terutama di kalangan muda,” ujar Hayu.
Baca Juga: Adik Asuh RISKA Gelar Nobar Charity “Gaza Hayya 3”
Menurutnya, kehadiran masyarakat adat dan sesepuh agama dalam forum ini menjadi bukti nyata bahwa kolaborasi lintas sektor dan nilai sangat mungkin diwujudkan.
Harapan Lahirnya Gerakan Bersama
Dalam penutupan, Hayu mengajak semua pihak memperkuat kolaborasi dan menjadikan agama sebagai inspirasi utama dalam aksi iklim.
“Kerusakan hutan bukan hanya persoalan teknis, tetapi persoalan moral dan spiritual. Dengan restu Tuhan dan semangat bersama, kita jaga bumi sebagai warisan untuk anak cucu,” pungkasnya.
Baca Juga: Gunung Raung di Jember Erupsi, Status Waspada
Kegiatan tersebut diharapkan melahirkan jaringan aksi lintas iman yang aktif dalam kampanye pelestarian hutan tropis di Indonesia.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Perang Iran-Israel Berpotensi Dongkrak Harga Minyak Dunia