Ahad 5 April 2024 Kabinet Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengambil langkah untuk menutup operasi media jaringan televisi Al Jazeera di wilayah yang diduduki tahun 1948, selama agresi dan genosida di Gaza terus berlanjut.
Pada hari yang sama, polisi Zionis pun menggerebek kantor penyiaran Qatar di Hotel Ambassador di Yerusalem.
PM Netanyahu mengatakan kabinet menyetujui penutupan jaringan televisi Al Jazeera dengan alasan jaringan televisi Qatar mengancam keamanan nasional.
Al Jazeera menolak tuduhan bahwa mereka merugikan keamanan Israel dan menyebutnya sebagai tuduhan tersebut “kebohongan yang berbahaya dan menggelikan”, yang dapat membahayakan jurnalisnya.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Jaringan televisi Al Jazeera tersebut mengatakan pihaknya berhak untuk “mengambil setiap langkah hukum”.
Keputusan kabinet Israel itu hampir enam bulan setelah pertama kali mengumumkan niatnya untuk melakukan hal tersebut, termasuk menutup siaran Al Jazeera dalam bahasa Arab dan Inggris; menutup kantor Al Jazeera di Yerusalem; menyita peralatan yang digunakan untuk siarannya; dan membatasi akses ke situs webnya.
Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi mengatakan peralatan telah disita dalam penggerebekan kantor Al Jazeera tersebut. Sebuah video yang diunggah oleh Menteri Komunikasi Israel Shlomo Karhi di X menunjukkan polisi dan inspektur dari kementerian memasuki kamar hotel.
Sementara Al Jazeera berjanji untuk terus meliput perang Gaza meskipun ada larangan dari Israel.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Al Jazeera mengutuk penutupan operasi jaringan media yang dilakukan Israel sehingga kantornya digerebek dan saluran tersebut menjadi gelap. Jaringan media yang berbasis di Qatar ‘menegaskan haknya untuk terus memberikan berita dan informasi kepada khalayak global’.
Penutupan Al Jazeera di Israel telah dikritik oleh sejumlah kelompok hak asasi manusia dan pers.
Pemberedelan media Al-Jazeera itu juga telah memicu reaksi dari berbagai pihak termasuk dari gerakan perlawanan Palestina.
Jihad Islam Palestina mengutuk keras keputusan tersebut, dengan menyebut langkah itu sebagai bagian dari kampanye sistematis pemerintah musuh untuk mengaburkan kebenaran dan menyembunyikan kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara-tentara musuh terhadap rakyat Palestina di seluruh wilayah pendudukan.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
“Kami tunjukkan bahwa penutupan kantor Al-Jazeera bertepatan dengan ancaman yang dibuat oleh Perdana Menteri musuh untuk menyerbu kota Rafah. Ini menunjukkan bahwa musuh telah bersiap untuk melanjutkan perang genosida terhadap rakyat kami dan berusaha memutarbalikkan kebenaran, menunda informasi dan fakta kepada publik, dan memaksakan narasinya di ruang media,” tulis Jihad Islam.
Jihad Islam menilai saat ini lembaga-lembaga internasional dan berbagai media diharuskan melipatgandakan upaya mereka dalam mengungkap berbagai kejahatan biadab yang dilakukan mesin pembunuh zionis dan kejahatan baru yang sedang dipersiapkan musuh.
“Kami sangat mengapresiasi pengorbanan besar yang dilakukan oleh para jurnalis dan profesional media dalam meliput agresi Zionis terhadap Gaza, meninggalnya hampir 141 orang awak media yang syahid dan puluhan korban luka-luka,” kata Jihad Islam dalam pernyataannya.
Mengingat peran penting yang dimainkan oleh Al-Jazeera sejak awal agresi terhadap rakyat Palestina, Jihad Islam menyerukan kelanjutan upaya ini, apa pun yang terjadi.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
“Pengorbanan-pengorbanan ini dilakukan untuk menjaga agar suara warga sipil, perempuan dan anak-anak yang tertindas dan tidak berdosa tetap nyaring dan menggoyahkan hati nurani dunia ini,” pungkas JIhad Islam.
Senada dengan Jihad Islam, Hamas menegaskan keputusan penjahat Netanyahu dan pemerintahan Nazi-nya untuk menutup kantor Al Jazeera dan mencegahnya beroperasi dan melakukan liputan pers merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap kebebasan pers.
“Ini merupakan tindakan represif dan pembalasan terhadap peran profesional Al Jazeera dalam mengungkap kejahatan pendudukan dan pelanggaran yang dilakukan oleh tentara kriminal Nazi dan pemukim teroris terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki,” tegas Hamas dalam pernyataan resminya.
Keputusan tersebut diambil sebagai puncak dari pernyataan perang terhadap jurnalis yang menjadi sasaran terorisme Zionis sistematis dengan tujuan menyembunyikan kebenaran.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Pendudukan menargetkan saluran Al Jazeera dan membatasi karyawannya hingga melakukan percobaan pembunuhan, seperti yang terjadi pada para syuhada Sherine Abu Aqla, Hamza Al-Dahdouh, dan Samer Abu Daqqa.
Selain itu, Zionis dengan sengaja menindas dan membunuh jurnalis, hingga jumlah syuhada di antara mereka mencapai 141 jurnalis di Jalur Gaza dalam waktu tujuh bulan terakhir.
Hamas mengungkap kepalsuan klaim entitas pendudukan atas kebebasan pers dan kerja jurnalistik, dan merupakan pelanggaran berat dan penindasan terhadap kebebasan, yang mengharuskan entitas tersebut ditempatkan di urutan teratas daftar hitam negara dan entitas yang mempraktikkan terorisme dan membatasi pekerjaan jurnalistik.
“Kami mengutuk keras keputusan pendudukan ini, dan menyerukan kepada lembaga-lembaga hak asasi manusia dan pers internasional untuk mengecam tindakan tersebut, dan mengambil tindakan hukuman terhadap entitas Zionis,” tegas Hamas.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Seruan ini termasuk membatalkan keanggotaannya di lembaga dan pertemuan pers internasional sebagai langkah untuk memaksa entitas bengal ini menghormati karya jurnalistik, dan tidak menyerang jurnalis yang meneruskan peran dan misinya dalam mengungkap kebenaran dan pengabdian kepada kemanusiaan.
Sementara Komite Perlawanan Rakyat di Palestina juga menyampaikan kutukan keras keputusan Zionis yang menutup kantor Al Jazeera dan melarang operasinya.
“Kami menganggap keputusan ini sebagai bagian dari perang yang dilakukan oleh entitas Zionis terhadap semua suara bebas yang mengungkap realitas kriminal entitas ini, pembantaian dan genosida brutal yang dilakukan terhadap rakyat Palestina di Jalur Gaza,” tegas Komite Perlawanan Rakyat Palestina.
Keputusan zionis menutup kantor Al Jazeera merupakan penegasan nyata bahwa Operasi Militer “Badai Al-Aqsa” telah mengungkap realitas brutal entitas zionis, yang bersihkeras melawan kebebasan, demokrasi, dan seluruh kebebasan bersuara di dunia ini.
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Keputusan entitas zionis menutup kantor Al-Jazeera merupakan perpanjangan dari kejahatan yang dilakukan tentara musuh Nazi terhadap jurnalis dan awak media di Palestina,
Sejak 7 Oktober 2023, Zionis telah membunuh lebih dari 110 jurnalis dan pekerja media, dan melukai puluhan lainnya, termasuk beberapa jurnalis Al Jazeera.
“Menutup kantor Al Jazeera tidak akan pernah berhasil membungkam suara dan citra sebenarnya dari entitas kriminal Zionis, yang telah ditunjukkan Al Jazeera dengan segala netralitasnya,” pungkas Komite.
Sementara PBB juga mengutuk keputusan Israel tersebut.
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI
Direktur Human Rights Watch untuk Palestina, Omar Shakir menyatakan, kantor media Al Jazeera telah dibom di Gaza. Awak media mereka telah dipukuli di Tepi Barat. Mereka terbunuh di Tepi Barat dan Gaza. Israel sedang berusaha memberangus Al-Jazeera. Namun presedennya lebih besar dan mengancam untuk menutupi kekejaman Israel di Gaza.
Korban tewas warga Palestina akibat agresi Israel di Gaza yang masih berlangsung hingga saat ini telah melebihi 34.683 jiwa, di mana 75% di antaranya adalah anak-anak, wanita, dan orang lanjut usia. Sementara lebih dari 7.000 warga Palestina masih berada di bawah reruntuhan rumah yang hancur termasuk lebih dari 5.000 anak-anak.
Jumlah orang yang terluka telah melampaui 78.018 orang, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan perempuan menurut Kementerian Kesehatan.
Gerakan perlawanan Palestina melaporkan, lebih dari 3.132 pembantaian terhadap keluarga Palestina dengan mengebom rumah mereka saat mereka masih berada di dalam rumah. Selain itu, 130 kuburan massal telah ditemukan di Jalur Gaza hingga 1 Mei 2024, menurut kelompok hak asasi Euro-Med. []
Baca Juga: Kemenangan Trump dan Harapan Komunitas Muslim Amerika
Mi’raj News Agency (MINA)