Washington, MINA – Pemerintahan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump sedang mempertimbangkan penerapan larangan perjalanan baru yang akan mempengaruhi warga dari 41 negara.
Langkah ini mencakup kemungkinan penghentian sementara pemrosesan aplikasi visa dari negara-negara seperti Afghanistan, Iran, dan Suriah. Euronews melaporkan.
Berdasarkan memo tersebut, negara-negara yang dipertimbangkan untuk larangan perjalanan dibagi menjadi tiga kategori: penangguhan visa penuh, yaitu negara-negara dalam kategori ini akan menghadapi penangguhan penuh pemrosesan visa. Termasuk dalam kategori ini adalah Afghanistan, Iran, Suriah, Kuba, dan Korea Utara.
Penangguhan visa parsial, yakni negara-negara dalam kategori ini akan menghadapi penangguhan parsial yang mempengaruhi visa turis, pelajar, dan jenis visa imigran lainnya dengan beberapa pengecualian. Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini antara lain Eritrea, Haiti, Laos, Myanmar, dan Sudan Selatan.
Baca Juga: Ketegangan Meningkat antara Washington dan Tel Aviv
Selanjutnya adalah penangguhan bersyarat, untuk negara-negara dalam kategori ini akan menghadapi penangguhan parsial jika mereka tidak mengatasi kekurangan keamanan tertentu dalam waktu 60 hari. Negara-negara yang termasuk dalam kategori ini antara lain Belarus, Pakistan, dan Turkmenistan.
Pertimbangan untuk menerapkan larangan perjalanan baru ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan pemerintahan Trump, untuk memperketat kebijakan imigrasi dan meningkatkan keamanan nasional.
Sebelumnya, pada masa jabatan pertama Trump, larangan perjalanan serupa diberlakukan terhadap beberapa negara mayoritas Muslim, yang kemudian dikenal sebagai “larangan Muslim”.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan hukum, larangan tersebut akhirnya disahkan oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 2018.
Baca Juga: Demonstrasi Pecah di New York Buntut Pemerintah AS Tangkap Aktivis Pro-Palestina
Usulan larangan perjalanan baru ini kemungkinan akan memicu perdebatan publik dan politik, mengingat kontroversi yang muncul dari kebijakan serupa di masa lalu.
Para pendukung kebijakan ini berpendapat bahwa langkah tersebut diperlukan untuk melindungi keamanan nasional dan mencegah potensi ancaman teroris. Di sisi lain, para kritikus menganggap kebijakan ini diskriminatif dan tidak efektif dalam meningkatkan keamanan.
Hingga saat ini, proposal tersebut masih dalam tahap pertimbangan dan belum disetujui. Persetujuan akhir akan memerlukan persetujuan dari pejabat tinggi pemerintahan, termasuk Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: AS Bakal Pakai UU Terorisme untuk Jerat Aktifis Pro-Palestina di Columbia University