Pemerintah Didesak Atasi Ketimpangan Ekonomi

Suasana sidang pleno Munas Alim Ulama dan Konbes di Barat, NTB, Sabtu. Foto: Rina/MINA

 

Lombok Barat, MINA – Ketimpangan ekonomi yang terlampau jauh di Indonesia bisa mengancam persatuan dan kesatuan tanah air. Hal itu disampaikan putri mantan Presiden Abdurahhman Wahid, Alissa Wahid, saat membacakan rekomendasi Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) NU di Lombok Barat, NTB, Sabtu (25/11).

“NU melihat persoalan ketimpangan telah menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan nasional,” katanya di hadapan ribuan warga NU yang hadir.

Dia melanjutkan, Kekayaan dimonopoli segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan, dan obligasi pemerintah.

Menurut World Bank (2015), Indonesia adalah negara ranking ketiga tertimpang setelah Rusia dan Thailand. Gini rasio mencapai 0,39 dan indeks gini penguasaan tanah mencapai 0,64.

“Satu persen orang terkaya (di Indonesia) menguasai 50,3 persen kekayaan nasional, 0,1 persen pemilik rekening menguasai 55,7 persen simpanan uang di bank,” tambah Alissa yang juga salah satu pimpinan komisi rekomendasi dalam kegiatan itu.

Sisi lain privatisasi lahan juga mengancam negeri ini. Sekitar 16 juta hektar tanah dikuasai 2.178 perusahaan perkebunan, 5,1 juta hektar di antaranya dikuasai 25 perusahaan sawit. Jumlah petani susut dari 31 juta keluarga tani menjadi 26 juta, dua pertiganya adalah petani yang terpuruk karena penyusutan lahan dan hancurnya infrastruktur pertanian. 15,57 juta petani tidak punya lahan.

“Meningkatnya ketimpangan secara nyata mengancam sendi-sendi kebangsaan karena selain faktor paham keagamaan, ketimpangan ekonomi adalah lahan subur berseminya ekstremisme dan radikalisme,” katanya.

Oleh karenanya, dalam rekomendasi yang disepakati, NU menuntut pemerintah untuk secara tegas membatasi penguasaan lahan atau hutan kepada pihak industri dan lebih mengedepankan kepentingan khalayak umum.

“Agenda pembaruan agraria selama ini tidak berjalan baik karena Pemerintah tidak punya komitmen kuat menjadikan tanah sebagai hak dasar warga negara,” ujarnya.

Untuk menindak tegas hal ini, partisipasi warga dan militer menjadi pondasi lain yang diharapkan NU agar bisa tegaknya peraturan yang menjunjung tinggi kepentingan warga banyak, bukan segelintir orang.(L/RE1/P2)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.