Jakarta, 11 Jumadil Akhir 1438/10 Maret 2017 (MINA) – Guna menekan tingginya angka perokok yang ada di Indonesia, tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat saja, tetapi perlu adanya kebijakan-kebijakan lain dari pemerintah.
Pandangan tersebut disampaikan Sekretaris Koalisi NGO Indonesia untuk Pengendalian Tembakau Deni Wahyudi Kurniawan saat dihubungi Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Jumat (10/3) siang.
“Sifat adiksi rokok membuat banyak orang sulit lepas dari jeratannya, meski mereka sadar akan ancaman penyakit dan bahaya rokok,” katanya.
Baca Juga: Doa Bersama Menyambut Pilkada: Jateng Siap Sambut Pesta Demokrasi Damai!
Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, dari prevalensi perokok yang 36,3 persen, sebagian besar perokok justru bermata pencarian sebagai petani, nelayan, dan buruh. Para perokok umumnya berasal dari kelompok ekonomi berpendapatan menengah ke bawah sehingga memberikan beban lebih besar pada ekonomi keluarga.
Merujuk pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016, pengeluaran per kapita menurut kelompok makanan, menempatkan rokok sebagai pengeluaran per kapita terbesar ketiga setelah makanan-minuman jadi dan padi-padian. Pengeluaran rokok setara dengan pengeluaran untuk membeli sayur, telur, dan susu. Kontribusi kemiskinan akibat rokok lebih tinggi ketimbang pendidikan.
“Selain masih banyaknya iklan-iklan rokok yang beredar di masyarakat, budaya masyarakat terhadap persepsi rokok masih sangat kental. Bahkan ada masyarakat yang rela lebih memilih untuk tidak makan dibanding untuk tidak merokok,” ujarnya.
Menurut Deni, perangkap kemiskinan akibat rokok sudah berlangsung puluhan tahun. Program pemerintah untuk mengurangi kemiskinan melalui KIP, JKN-KIS, ataupun program Keluarga Harapan pun akan kurang efektif jika keluarga penerima tetap merokok.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berpotensi Hujan Sore Hari Ini
Solusinya, kata Deni, harus dengan pendekatan kebijakan, yakni dengan menghentikan iklan rokok dan perlu adanya kebijakan-kebijakan tegas pemerintah yang lain.
Meski dampak pemiskinan rokok nyata, Deni menyayangkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang justru mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan. Para pengusul mengklaim, RUU itu akan mengakomodasi kepentingan petani, industri, dan kesehatan masyarakat. Sementara sejumlah ekonom dan ahli kesehatan masyarakat melihat RUU itu akan kian memiskinkan masyarakat.
“RUU Pertembakauan yang diusulkan oleh DPR memicu polemik. Sejumlah organisasi kesehatan menentang RUU yang diklaim mengakomodasi kepentingan industri rokok, petani tembakau, dan kesehatan masyarakat itu. Bahkan, kalangan praktisi hukum menilai RUU ini bertentangan dengan 14 undang-undang lain,” katanya.
Selama ini, lanjutnya, industri pengolahan tembakau merupakan salah satu pembentuk produk domestik bruto dan menyumbang pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Dr. Nurokhim Ajak Pemuda Bangkit untuk Pembebasan Al-Aqsa Lewat Game Online
Koalisi NGO Indonesia untuk Pengendalian Tembakau merupaka koalisi yang terbentuk dari Diskusi Terfokus mengenai ‘Eksistensi Industri Rokok terhadap Penghormatan HAM di Indonesia’ pada 28 Agustus 2014 di PP Muhammadiyah beberapa lembaga yang termasuk dalam koalisi ini adalah Human Right Working Group (HRWG), Indonesian Institute for Social Development (IISD), Lembaga Hubungan Luar Negeri PP Muhammadiyah, Indonesia Corruption Watch (ICW), Raya Indonesia, dan tokoh-tokoh hak asasi manusia dan pengembangan masyarakat. (L/R09/RI-1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan