London, MINA – Ada seruan yang meningkat di Inggris untuk pembatasan penjualan peralatan anti huru hara dan peralatan lainnya kepada polisi Amerika Serikat (AS), setelah tindakan brutal polisi baru-baru ini selama protes Black Lives Matter.
Politisi dan kelompok aktivis Inggris menuntut pemerintah menghentikan penjualan “peralatan represif” kepada pasukan polisi dan kelompok paramiliter di AS, setelah banyak kasus kekerasan terhadap pengunjuk rasa anti-rasisme selama beberapa hari terakhir, demikian dikutip dari The New Arab.
Perlawanan dipicu setelah pencekikan leher pria Afrika-Amerika George Floyd oleh lutut seorang petugas polisi kulit putih yang menyebabkan kematiannya.
Demonstrasi damai yang meletus setelah kematian Floyd dibubarkan dengan kekerasan oleh polisi anti huru hara di kota-kota AS, yang menyebabkan sejumlah orang cedera serius karena peluru karet, gas air mata, dan hantaman tongkat.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Kondisi itu mendorong kelompok-kelompok seperti Kampanye Melawan Perdagangan Senjata (CAAT) menyerukan pembatasan penjualan senjata dan peralatan kepada militer, keamanan, dan pasukan polisi AS.
“Kekerasan polisi yang brutal dan rasis yang kami saksikan beberapa hari belakangan ini benar-benar mengerikan. Demikian pula eskalasi yang ceroboh dan sepenuhnya tidak bertanggung jawab dari Presiden (Donald Trump) dan rekan-rekannya,” kata Andrew Smith dari CAAT dalam sebuah pernyataan.
“Penjualan senjata ini seharusnya tidak pernah diizinkan dan pemerintah harus memastikan bahwa itu tidak terjadi lagi. Peralatan seperti ini selalu represif dan itu bisa mematikan,” tambahnya.
Politisi terkemuka Inggris juga menyerukan pembatasan penjualan peralatan anti huru hara ke AS setelah merebaknya kekerasan polisi terhadap demonstran.
Baca Juga: Turkiye Tolak Wilayah Udaranya Dilalui Pesawat Presiden Israel
Anggota Parlemen Emily Thornberry menulis kepada pemerintah Inggris yang menyerukan penghentian penjualan peralatan anti huru hara ke AS. (T/RI-1/RS1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Setelah 40 Tahun Dipenjara Prancis, Revolusioner Lebanon Akan Bebas