Lilongwe, MINA – Kelompok hak-hak sipil di negara Malawi, Afrika, mengecam pemerintah mereka karena memilih abstain dalam pemungutan suara yang menyerukan gencatan senjata di Gaza di Majelis Umum PBB, Anadolu Agency melaporkan dikutip pada Kamis, (14/12).
Pemungutan suara mengenai perlindungan warga sipil, terutama perempuan dan anak-anak, serta penegakan kewajiban hukum dan kemanusiaan di Gaza berlangsung di PBB pada Selasa.
Koalisi Pembela Hak Asasi Manusia (HRDC) dan kelompok lain, Pemuda dan Masyarakat (YAS), menggambarkan sikap abstain Malawi sebagai tindakan yang tidak pantas. Bukan hanya tidak bertanggung jawab, munafik, tapi juga memalukan.
Direktur Eksekutif Pemuda dan Masyarakat Malawi, Charles Kajoloweka mengatakan tindakan Malawi merupakan pelepasan tidak bermoral terhadap kewajiban hak asasi manusia internasionalnya sebagai anggota PBB.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
“Tidak ada pemerintahan yang masuk akal yang akan memilih untuk acuh tak acuh terhadap resolusi penting yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan dan mengakhiri perang pendudukan Israel di Gaza,” kata Kajoloweka.
Michael Kaiyatsa, yang memimpin Pusat Hak Asasi Manusia dan Rehabilitasi Malawi, menggambarkan keputusan pemerintah Malawi sebagai hal yang mengejutkan, dan mengatakan bahwa hal tersebut memperlihatkan standar ganda.
Resolusi Gencatan Senjata Kemanusiaan
Negara-negara anggota PBB mengadopsi resolusi yang menuntut gencatan senjata kemanusiaan segera di Gaza, pembebasan segera dan tanpa syarat semua sandera dan memastikan akses kemanusiaan ke wilayah Gaza yang terkepung.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Kesepakatan tersebut disahkan dengan mayoritas 153 mendukung dan 10 menentang, dengan 23 abstain, termasuk lima negara Afrika yaitu Malawi, Cabo Verde, Togo, Kamerun dan Sudan Selatan.
Resolusi tersebut juga menegaskan kembali permintaan Majelis Umum agar semua pihak yang terlibat dalam perang mematuhi kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional, “terutama yang berkaitan dengan perlindungan warga sipil”.
John Kabaghe, juru bicara Kementerian Luar Negeri Malawi, mengatakan tidak ada salahnya jika Malawi abstain dalam pemungutan suara tersebut. “Hal ini demi kepentingan terbaik Malawi sebagai negara berdaulat,” katanya kepada Anadolu.
Melawan Pembunuhan di Gaza
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Namun aktivis HAM setempat, Gift Trapence, yang juga Ketua HRDC, mengatakan tindakan pemerintah Malawi tidak pantas bagi negara yang memiliki kursi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
“Pemerintah Malawi perlu menunjukkan kepemimpinannya dengan menentang pembunuhan warga sipil tak berdosa di Gaza,” kata Trapence.
Dia lebih lanjut mengatakan bahwa memilih gencatan senjata sipil berarti melindungi kehidupan anak-anak, perempuan dan warga sipil Palestina yang hak untuk hidupnya berada di bawah ancaman.
“Kami tidak terkejut dengan sikap abstain Malawi dalam pemungutan suara tersebut karena ini bukan pertama kalinya negara tersebut melakukan hal ini sejak niatnya untuk membuka kedutaan besar di pendudukan Israel,” kata Trapence.
Baca Juga: Laba Perusahaan Senjata Israel Melonjak di Masa Perang Gaza dan Lebanon
Kebijakan Anti-Palestina
Sejak berkuasa pada tahun 2020, kebijakan luar negeri pemerintahan Aliansi Tonse pimpinan Presiden Lazarus Chakwera secara konsisten bersifat anti-Palestina, termasuk menghalangi akuntabilitas pendudukan Israel.
Chakwera, mantan pengkhotbah evangelis, bahkan mengumumkan niatnya untuk membuka kedutaan besar di Yerusalem, sebuah rencana yang belum terwujud.
Bulan lalu, Malawi menandatangani perjanjian ekspor tenaga kerja baru dengan pendudukan Israel, yang secara luas dipandang sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan devisa yang sangat dibutuhkan, dan hal ini terjadi hanya beberapa pekan setelah Tel Aviv meluncurkan paket bantuan senilai $60 juta untuk Malawi.
Baca Juga: Jumlah Syahid di Jalur Gaza Capai 44.056 Jiwa, 104.268 Luka
Bagi Israel, kesepakatan ini merupakan bagian dari upaya untuk mengisi kesenjangan yang ditinggalkan oleh 30.000 hingga 40.000 pekerja, termasuk warga Palestina, yang meninggalkan pertanian di negara tersebut sejak 7 Oktober.
Sejauh ini, perang di Gaza telah memakan korban jiwa lebih dari 18.600 warga Palestina, yang mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. (T/B03/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hamas Sambut Baik Surat Perintah Penangkapan ICC untuk Netanyahu dan Gallant