Jakarta, MINA – Saat ini, usia petani secara nasional mengalami ancaman penuaan karena sebagian besar petani berusia 45 tahun keatas. Bahkan, hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan (P2K) mencatat, rata-rata usia petani padi di tiga desa pertanian padi Jawa Tengah mencapai 52 tahun.
Hal tersebut disampaikan Vanda Ningrum, Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI pada ‘Seminar Pemuda dan Pertanian Berkelanjutan’ di Jakarta, Rabu (20/9).
“Sedikit pemuda yang bersedia untuk melanjutkan pertanian keluarga. Berkaca dari hasil survei tersebut, maka Indonesia akan mengalami krisis petani. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan regenerasi petani di negeri ini untuk mencegahnya,” kata Vanda.
Baca Juga: Menag: Guru Adalah Obor Penyinar Kegelapan
Hasil survei LIPI memperlihatkan pula bahwa anak petani yang kembali menjadi petani untuk melanjutkan usaha tani keluarga hanya berjumlah sekitar tiga persen. Padahal, keberadaan pertanian keluarga skala kecil (lahan terbatas) sangat penting dalam penyediaan pangan.
“Untuk itu, regenerasi petani sekarang ini menjadi amatlah panting. Harap diingat pula bahwa pemuda memiliki peran penting dalam menjaga keberlanjutan pertanian karena pemuda adalah generasi penerus yang diharapkan melanjutkan usaha pertanian keluarga,” tegas Vanda.
Namun demikian, lanjutnya, sekarang ini pemuda desa yang bersedia menjadi petani jumlahnya sangat sedikit. Data mencatat sebanyak 52.000 pemuda meninggalkan desa dan mencari penghidupan di perkotaan.
“Sementara itu, ketersediaan lapangan kerja di kota belum mencukupi untuk menampung angkatan kerja dari desa. Sebagian besar dari mereka, bekerja di sektor informal tanpa jaminan kerja yang layak, sedangkan sisanya yang tidak mendapatkan pekerjaan akan menambah angka pengangguran di kota,” kata Vanda.
Baca Juga: AWG Gelar Dauroh Akbar Internasional Baitul Maqdis di Masjid Terbesar Lampung
Selama kurun waktu 44 tahun terakhir, rata-rata tingkat pengangguran terbuka pemuda di perkotaan mencapai 15 persen per tahun, angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan yang mencapai 9 persen per tahun. Pada 2016, tingkat pengangguran di perdesaan sebesar 4,51 persen sementara di perkotaan mencapai 6,60 persen.
“Oleh sebab itu, pemerintah perlu mendorong agar para pemuda mau kembali ke desa untuk mengembangkan pertanian dan desa. Secercah harapan masih muncul dari beberapa pemuda yang saat ini memutuskan menjadi petani. Mereka menerapkan pola pertanian berkelanjutan untuk dapat bertahan dari tantangan alam dan pasar global. Mereka mampu keluar dari ketergantungan dan mampu menciptakan bibit, pupuk organik, dan menciptakan pasar,” kata Kepala Pusat Penelitian Kependudukan UPI, Haning Romdiati.
Keberadaan pemuda tani ini penting, tambah Haning, khususnya terkait kedaulatan pangan pada masa yang akan datang dan sebagai bentuk gerakan petani yang otonom dalam era globalisasi saat ini.
“Pemerintah perlu memberikan perhatian besar dalam menciptakan strategi kebijakan pertanian yang dapat memberikan dampak langsung pada terciptanya regenerasi petani untuk menjaga keberlanjutan penanian keluarga yang menopang kebutuhan pangan nasional,” tegas Haning.
Baca Juga: Embassy Gathering Jadi Ajang Silaturahim Komunitas Diplomatik Indonesia
Dikatakan, strategi kebijakan ini mencakup empat aspek, antara lain pertama adalah kebijakan yang dapat memberikan akses lahan bagi pemuda. Kedua, kebijakan yang memberikan jaminan pasar bagi pemuda tani untuk mengclola pertanian.
Ketiga, perlunya pendidikan mengenai teknologi serta variasi teknik budidaya pertanian yang berkelanjutan kepada kalangan pemuda pedesaan terutama pada lahan pertanian yang terbatas. Dan keempat, adalah pemberian insentif bagi profesi petani untuk menarik pemuda menjadi petani. (L/R09/B05)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Prabowo Klaim Raih Komitmen Investasi $8,5 Miliar dari Inggris