Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemilu Amerika Serikat, Komunitas Muslim dan Dunia Islam- bagian III

Septia Eka Putri - Selasa, 22 November 2016 - 22:17 WIB

Selasa, 22 November 2016 - 22:17 WIB

483 Views ㅤ

Imam Islamic Center New York Shamsi Ali. (Foto: Choo Choy May/ThemalayMailOnline.com)

Oleh: Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.

Pada tataran teologis komunitas Muslim di Amerika Serikat melihat pemilu Amerika ini dengan pandangan iman sekaligus. Artinya, secara umum semua peristiwa yang terjadi dalam hidup, baik diketahui arahnya atau tidak, berada di bawah kontrol Pencipta langit dan bumi. Pada tataran ini, komunitas Muslim melihatnya minimal berdasar pada dua ayat pertama Surat. Al-Mulk:

  1. Maha Suci (Allah) yang di tanganNya terletak segala kekuasaan, dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.
  2. Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik dalam amal.

Sikap pertama adalah meyakini bahwa hidup manusia dan alam semesta itu berputar dalam genggamam kuasa Allah. Termasuk di dalamnya perputaran kekuasaan (al-mulk) itu sendiri. Bukankah hal ini ditegaskan: “Katakan: Wahai Engkau yang memberi kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki. Dan mengambil kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki”.

Maka komunitas Muslim tidak terbawa arus keheranan, apalagi mempertanyakan kenapa Donald Trump terpilih, walau hampir semua prediksi mengunggulkan Hillary?

Baca Juga: [WAWANCARA EKSKLUSIF] Ketua Pusat Kebudayaan Al-Quds Apresiasi Bulan Solidaritas Palestina

Bagi komunitas Muslim, di saat sebuah peristiwa telah menjadi kenyataan maka itu sudah menjadi penerimaan iman kalau hal itu merupakan “Qadarullah” (keputusan Allah SWT). Maka menerimanya menjadi bagian dari iman itu sendiri.

Sikap iman inilah yang akan menjadi fondasi “Thoma’ninah qalbiyah” (ketentraman jiwa) bagi komunitas beriman. Apalagi dengan keyakinan bahwa: “kalau seluruh jin dan manusia bersatu untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan mampu melakukan itu kecuali jika Allah kehendaki. Dan sekiranya seluruh jin dan manusia berkumpul untuk memberikan mudhorat kepadamu nisacaya mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali apa yang Allah tetapjan atas kamu” (hadits Qudsi).

Sikap kedua pada tataran teologis ini adalah meyakini bahwa semua peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia itu ditujukan sebagai “ujian”. Bahkan hidup itu sejatinya adalah ujian.

Maka terjadinya ujian menjadi keniscayaan dan tidak pantas dipertanyakan. Yang semestinya dipertanyakan adalah bagaimana menyikapi setiap warna ujian yang terjadi. Kalau sekiranya Hillary menang bagaimana menyikapainya? Atau sekarang dengan kemenangan Donald Trump bagaimama menyikapinya?

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Yang pasti, setiap peristiwa hidup (ujian) punya makna. Dan terkadang makna itu memang hanya Allah yang tahu. Bahkan kadang sesuatu yang baik menurut ukuran kita, sesungguhnya buruk akhirnya. Atau sebaliknya buruk menurut ukuran kita tapi itu baik dalam pandangan Allah.

Oleh karenanya kata “ahsanu amala” di S. Al-Mulk itu saya terjemahkan dalam konteks ini sebagai “respon terbaik”. Menyikapi terpilihnya Donald Trump ini respon apa yang seharusnya komunitas Muslim lakukan?

Pertama, komunitas Muslim perlu fokus. Fokus yang saya maksud adalah bahwa komunitas Muslim di Amerika Serikat punya misi. Yaitu membangun komunitas yang solid dan mengambil partisipasi aktif dalam membangun Amerika dan dunia yang lebih baik. Oleh karenanya terpilihnya DT hanya riak-riak kecil dalam perjalanan itu.

Satu hal yang komunitas selalu pegangi adalah tanggungjawab menyampaikan / menampilkan Islam yang sesungguhnya. Sekali lagi bukan mengislamkan. Tapi menyampaikan (tablig) Islam yang sesungguhnya, menggantikan persepsi salah dan buruk yang berkembang selama ini. Oleh karenanya, komunitas Muslim harus merepresentasikan Islam secara benar.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Artinya, komunitas Muslim di Amerika harus menampilkan Islam secara baik di mata Amerika. Menampilkan Islam dalam segala gerak geriknya, baik secara individu maupun secara kolektif. Dan di semua lini kehidupannya.

Kedua, komunitas Muslim harus memahami  Amerika Serikat sebagai negara. Amerika bukan perorangan. Bukan presiden atau ketua kongress atau senat. Tapi sebuah institusi yang terbangun di atas asas konstitusi yang solid. Konstitusi yang salah satunya tidak saja menjamin kebebasan beragama. Tapi juga memproteksi kebebasan itu.

Oleh karenanya kekhawatiran yang berlebihan dengan terpilihnya DT tidak seharusnya. Toh kebijakannya akan banyak dibatasi oleh batas-batas konstitusi negara. Walau tidak diingkari kemungkinan adanya kebijakan yang agak merugikan itu.

Tapi secara umum kebijakan DT akan dikawal oleh Konstitusi yang saya yakin sangat menjamin hak-hak dan kebebasan beragama di negara ini.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Ketiga, tidak dipungkiri bahwa beberapa kasus kekerasan telah dialami oleh komunitas Muslim pasca terpilihnya DT. Tapi satu hal yang perlu saya garis bawahi, masih lebih banyak lagi orang-orang Amerika yang lebih baik, bahkan selalu berada di pihak yang membela hak-hak Muslim. Baik dari kalangan birokrat (pemerintah) maupun dari kalangan masyarakat umum. Dan lebih khusus lagi saya ingin sebutkan “komunitas agama” lain, baik Yahudi maupun Kristiani.

Baru pagi ini saya diundang untuk hadir dalam acara “public adress” Walikota New York, yang sengaja diadakan untuk memberikan semangat dan motivasi kepada masyarakat New York untuk tetap percaya diri. Bahwa terpilihnya DT tidak aman merubah nilai-nilai yang dibanggakan oleh New York. Yaitu kebersamaan, saling tenggang rasa, saling menolong, bahkan saling membela. Dalam hal ini komunitas Muslim menjadi sorotan utama untuk diyakinkan akan pembelaan itu.

Oleh karenanya kasus-kasus kekerasan yang terjadi kepada komunitas Muslim tidak menghapus keyakinan bahwa teman-teman Amerika masih seperti yang dibanggakan selama ini. Toleran, bersahabat, dan menjamin kebebasan beragama di negara ini.

Keempat, merespon kepada tantangan pasca terpilihnya DT sebagai presiden, komunitas Muslim harus lebih serius dan sungguh-sungguh menjadi “mainstream” masyarakat Amerika. Proses integrasi harus terjadi secara pasti dan cepat.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Integrasi itu positif. Asimilasi boleh jadi punya konotasi negatif. Dan memang Amerika adalah bangsa dari berbagai belahan dunia dengan berbagai asosiasi komunal, baik agama dan kultur maupun inclinasi sosial. Dan semua itu tidak harus dihilangkan. Bahkan dipertahankan dan dijaga kesuburannya. Dan itu pulalah yang harusnya menjadikan Amerika “istimewa” (exceptional).

Menjadi bagian dari maistream masyarakat Amerika harusnya bukan pilihan lagi bagi masyarakat Muslim. Sebab hanya dengan demikian Muslim akan secara menyeluruh mengambil partisipasi dalam kehidupan publik. Dan hanya dengan berpartispasi secara aktif dalam kehidupan publik hak-hak sipil akan terjamin.

Intinya, masanya bagi komunitas Muslim beralih dari tamu di negara ini menjadi tuan rumah.

Bersambung!

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

(P007/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Rekomendasi untuk Anda

Amerika
Palestina
Kolom
Kolom
Kolom
Amerika