PEMIMPIN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

jabatan

Oleh: Zaenal Muttaqin*

jabatanJabatan sebagai sering menjadi rebutan banyak orang dan untuk dapat meraih posisi tersebut orang rela berbuat apa saja, dari yang masuk akal sampai yang  diluar nalar. Bahkan tidak jarang juga melakukan tindakan yang tidak proporsional. Bagi mereka yang ambisius sering pula menghalalkan segala cara untuk dapat meraih jabatan itu.

Menurut ajaran jabatan pemimpin adalah sesuatu yang tidak layak untuk diperebutkan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rosulullah SAW: “Sesungguhnya kalian akan berebut untuk meraih jabatan (pemimpin), tetapi akan menjadi penyesalan besok di hari kiamat,” (HR. Bukhori).

Pengertian secara mukholafah (kontekstual) hadits tersebut ialah mengingatkan agar jabatan sebagai pemimpin tidak jadi rebutan. Karena pemimpin dalam bahasa Islam disebut pula sebagai Ro’in (penggembala), maka seorang pemimpin hakekatnya adalah penggembala yang harus bertanggung jawab terhadap gembalaanya. “Kalian semua adalah ro’in (penggembala/pemimpin) dan nanti akan dimintai pertanggujawaban atas gembalaannya”. Demikian sabda Rosulullah SAW.

Kalau seorang pemimpin diibaratkan seorang penggembala, itu artinya ia harus mampu membawa rakyatnya (gembalaannya) ke padang rumput yang hijau, agar mereka sehat dan sejahtera. Maka jika saat ini banyak rakyat yang miskin, kurang gizi, makan aking dan sengsara, maka yang paling bertanggung jawab adalah para pemimpin di negeri ini.

Muawiyah bin Abu Sofyan, raja pertama dari dinasti Umayyah, ketika salah satu penasehatnya menyampaikan bahwa Rosulullah SAW telah bersabda: “Siapa saja yang diberi kedudukan sebagai pemimpin, sedang dia tidak memperhatikan kedukaan dan kemiskinan kemiskinan rakyatnya, maka Allah SWT tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan dan kemiskinannya pada hari kiamat”. Maka Muawiyah segera mengangkat pembantu (menteri) untuk mengurusi segala kepentingan manusia.

Itu semua menunjukkan, Islam sangat menekankan kepada para pemimpin untuk selalu memperhatikan hajat rakyatnya. Dalam ajaran Islam pula, pemimpin tidak dapat masuk surga, jika dalam kepemimpinannya melakukan tindakan menipu (korup) terhadap rakyatnya.

Ancaman itu sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim, Rosulullah SAW bersabda: “Seseorang yang diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk memimpin rakyatnya, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyat, pasti Allah SWT mengharamkan surga bagi mereka.”

Godaan untuk para pemimpin sejatinya juga itu banyak. Sebagai manusia, terkadang digoda nafsu harta yang bermewah-mewah, godaan wanita (seks yang tidak terkendali) dan terkadang nafsu tahta, nafsu jabatan yang lebih tinggi lagi. Dan bila tidak bisa mengendalikan, maka akan terperosok menjadi manusia atau pemimpin yang hina. Hanya kembali kepada ajaran Al-Qur’an, ajaran Ilahi lah maka pemimpin akan sanggup menghadapi godaan-godaan itu.

Karena itu dalam Islam jabatan atau kekuasaan bukanlah sebagai sumber kenikmatan, tapi ia adalah sumber tanggungjawab dan sumber pengorbanan. Jabatan yang ia nikmati bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada rakyat, tapi juga dan terutama dipertanggungjawabkan dengan sedetil-detilnya kepada Allah SWT di hari setelah kematian nanti.

Ternyata sungguh berat tanggungjawab sebagai pemimpin itu, maka masihkah hal itu akan jadi barang rebutan? Semestinya tidak. Namun begitu, jika memang Allah telah mempercayakan seseorang untuk menjadi pemimpin, kemudian dia selalu bertindak adil dan disenangi rakyatnya, maka sungguh bahagianya dia.

Menjadi pemimpin berarti menjadi teladan. Bila tidak siap dan tidak mampu menjadi teladan bagi rakyat, lebih baik menjadi pengikut.  Karena bila pemimpin mempunyai akhlak yang buruk, maka orang-orang sekelilingnya dan rakyatnya akan mencontoh perilaku yang buruk.  Dan itulah sumber kehancuran bagi masyarakat dan bangsa.  Pepatah yang terkenal menyebutkan ”Ikan busuk dari kepalanya”.

Rosulullah SAW telah bersabda: “Penghuni surga itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu: Penguasa yang adil dan disenangi, orang yang sering menasihati lagi lembut hati kepada sanak keluargaa dan setiap muslim, serta orang miskin yang menjaga kehormatan dirinya sedang ia mempunyai keluarga.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bish showaab. (P07/EO2 )

*Wartawan MINA

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Comments: 0