Oleh: Septia Eka Putri/Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Hajjah Fauziah Fauzan, Pemimpin Perguruan Diniyyah Putri di Padang Panjang, Sumatera Barat, diundang Kedutaan Besar RI di Amerika Serikat, selama dua pekan, untuk melakukan berbagai acara dalam rangka memperkenalkan ” Islam yang Damai” di negara itu.
Dalam rangkaian acara berupa diskusi, dialog, konperensi dan lain-lain ini, Fauziah Fauzan tampil bersama Imam Shamsi Ali tokoh Islam asal Indonesia yang mukim di AS.
Dalam program ini keduanya juga bertemu dengan Utusan Khusus Kementerian Luar Negeri AS untuk masyarakat Muslim, Shaarik H. Zafar, di Kementerian Luar Negeri AS, Washington DC, pada 26/4 yang lalu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Tokoh Islam di AS asal Indonesia, Imam Shamsi Ali, yang juga dikenal aktif serta dekat dengan para pejabat AS menjelaskan kepada MINA, tujuan utama programnya adalah untuk menyampaikan bahwa walau Islam adalah agama universal, Islam yang dipraktekkan di Indonesia memiliki karakter sosial budaya yang khas.
“Selain itu Indonesia memiliki kredibilitas yang tinggi untuk berada di garda depan untuk menyampaikan Islam yang moderat,” ujar Imam Shamsi Ali saat dihubungi Mi’raj Islamic News Agency (MINA), dari Jakarta, Rabu (4/5).
“Apa yang ada di Indonesia ini, bisa menjadi model untuk disampaikan ke negara-negara lain,” kata Shaarik Zafar dalam perbincangan bersama pemimpin Perguruan Diniyyah Putri di Sumatera Barat, Fauziah Fauzan, dan tokoh Islam Indonesia di AS, Shamsi Ali, di kantor Kemlu AS, Washington DC, Selasa (26/4/2016).
Shaarik juga mengapresiasi karakter keislaman di Indonesia yang toleran.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Menurutnya, Indonesia dapat lebih vokal dalam menyuarakan wacana keislaman di level global supaya komunitas internasional lebih mengenal wajah Islam yang sesungguhnya.
“Saya tahu kita diajarkan untuk rendah hati. Tapi dalam hal ini saya pikir Indonesia perlu lebih lantang,” kata Shaarik yang pernah berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan kalangan agamawan ini.
Penghargaan juga datang dari Dr. Jonathan A. Brown, Direktur Alwaleed bin Talal Center for Muslim Christian Understanding di Georgetown University, usai mendengar penjelasan Fauziah mengenai pesantren yang diasuhnya.
Perguruan Diniyyah Putri itu sendiri telah berdiri sejak 1923 dan saat ini memiliki 1.100 santri yang kesemuanya perempuan.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
“Ini sangat menarik dan luar biasa. Saya ingin sekali berkunjung ke sana,” kata Dr. Brown.
Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang didirikan oleh Rahmah El Yunusiyyah, ustadzah, yang juga pejuang di masa revolusi bersenjata dan politisi yang penah menjadi anggota Parlemen mewakili Partai Islam Masyumi.
Selama dua minggu, Fauziah Fauzan dan Shamsi Ali berkeliling Amerika Serikat guna bertemu tokoh-tokoh dan kelompok masyarakat, memperkenalkan “Islam yang Damai” di Amerika Serikat. selama dua minggu 25 April-7 Mei 2016. Mengunjungi lima negara bagian, Washington DC, Maryland, Michigan, Florida dan New York.
Zizi panggilan akrab Fauziah menyatakan kehadirannya ke Amerika Serikat untuk meluruskan pandangan negatif dan kesalahpahaman masyarakat Amerika terhadap Islam.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Dalam konferensi dan dialog tersebut Fauziah Fauzan lebih fokus menjelaskan sistem pendidikan Islam di Indonesia dalam menyiapkan manusia yang berakhlak karimah, mampu bekerja sama, untuk hidup sebagai warga masyarakat global yang baik.
Menjelaskan bahwa pesantren dan madrasah bukan mencetak teroris. Namun menyiapkan sumberdaya manusia yang benar.
Ia juga menerangkan bagaimana peran lulusan pesantren mulai dari era perjuangan sebelum kemerdekaan sampai dengan saat ini dalam membangun bangsa. Contohnya adalah Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang.
Beberapa waktu yang lalu wartawan MINA berkunjung ke perguruan tersebut, melihat langsung perguruan ini menerapkan sistem pendidikan yang kental mengajarkan nilai-nilai agama yang tinggi kepada santrinya, seperti membentuk putri yang berjiwa Islam dan Ibu pendidik yang cakap, dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian pada Allah SWT, mengembangkan pola pengajaran Islam berbasis teknologi secara berkesinambungan dalam upaya memperkaya khasanah dunia pendidikan sampai akhir zaman, merancang , mengembangkan, memberikan pengajaran Islam sebagai solusi kehidupan dalam kajian praktis dalam rangka pengabdian kepada masyarakat dan tanah air.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
“Menjadi lembaga pendidikan Islam yang terus menerus menyeimbangkan pola pengajaran terpadu diantaranya, Al-Quran Hadist, dan keilmuan modern terkini dalam rangka pembentukan generasi muda islam yang profesional, beriman, bertaqwa dan siap menghadapi tantangan zaman,” ujar bu Zizi tentang kegiatannya di AS kepada MINA.
“Banyak pertanyaan dari audiens tentang bagaimana sistem pendidikan Islam yang anti kekerasan diterapkan di pesantren dan madrasah, serta materi materi pembentukan karakater yang memang membuktikan bahwa pesantren dan madrasah bukan mencetak teroris,” terang Zizi menjelaskan jalannya diskusi tersebut.
“Alhamdulillah, dari diskusi dan dialog yang dilakukan banyak respon positif dari para audiens. Bahkan selesai konferensi di Michigan State University, seorang profesor Yahudi berkata thank you for this information. I change my mind now. Terima kasih atas informasi ini. Sekarang saya sudah merubah pandangan saya tentang Islam,” tambah Buk Zizi, sapaan akrab santri terhadapnya.
Fauziah Fauzan dan Shamsi Ali juga mengadakan pertemuan dengan sejumlah profesor di Georgetown University Washington DC ; pertemuan dengan Keith Ellison dan Andre Carson anggota Congress dari Partai Demokrat yang beragama Islam, dan Matt Salmon anggota Congress senior Partai Republik; menghadiri Konferensi Education, Religion and the Prevention Violent Extrimism: Indonesia and US Perspective di Michigant State University. Acara dialog di gereja Michigan antar pimpinan agama Islam, Katolik, Protestan dan Yahudi. Acara dialog dengan Centre for Strategis and International Studies (CSIS) dengan mengundang para Team Think Tank AS yang banyak memberikan masukan kebijakan pada Pemerintah AS.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Juga mengikuti acara dialog dengan para isteri anggota kongres senior dan isteri para duta besar berbagai negara yang suami mereka menjadi Duta Besar di Amerika Serikat. Dialog di USINDO (United State and Indonesia). Forum dihadiri sejumlah pengusaha dan anggota LSM Amerika dan Indonesia. Diskusi dan dialog dengan para akademisi di University of North Florida serta kunjungan ke Markas PBB di New York.
Imam Shamsi Ali dalam dialog ini banyak membahas tentang hal hal yang dapat membuat munculnya terorisme bukan saja dari kesalahan menterjemahkan ajaran agama, namun juga ketidakpedulian, perlakuan tidak adil serta tekanan yang memunculkan kemarahan. Sehingga seseorang akhirnya bertindak kekerasan.
“Dan pemeluk agama yang lain, tidak hanya Islam, juga pernah melakukan teror. Dijelaskan juga bahwa ISIS bukan Islam dan Islam bukan ISIS. Bahwa umat Islam Indonesia juga membenci ISIS,” tegasnya.
Fauziah menjelaskan, di setiap akhir dialog selalu disampaikan bagaimana caranya kita dapat menjaga perdamaian dunia secara bersama.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
“Menilai seseorang atau kelompok agama tidak dapat hanya dari melihat berita di TV atau di media lainnya. Berita yang beredar hari ini sungguh banyak yang bias. Bagaimana caranya kita saling menghapuskan kebencian. Tidak melakukan hal-hal yang memicu kemarahan antara Islam dan Barat. Bagaimana caranya kita saling menjaga hubungan baik antar umat beragama dan berbangsa dimulai dari masyarakat yang paling bawah. Dan jika ingin tahu Islam, lihatlah bagaimana Islam di Indonesia,” terang Fauzi Fauziah. (L/P007/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim