Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemimpin Krisis Akhlak

Bahron Ansori - Ahad, 30 Desember 2018 - 17:03 WIB

Ahad, 30 Desember 2018 - 17:03 WIB

16 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Alkisah, ada sebuah negeri yang para pemimpinnya banyak bergelar Master, Doktor bahkan Profesor. Mereka begitu piawai memainkan perannya sebagai pejabat di negara itu. Bertahun-tahun mereka memimpin negeri itu, tanpa ada keberanian dari rakyatnya walau hanya sekedar memberi kritik dan saran membangun. Sebab bagi mereka tak ada satu saran dan masukan pun yang benar dari para tokoh agama dan masyarakat di  negeri itu kecuali pejabat negara. Semua pendapat salah, kecuali pendapat para pejabat tinggi.

Bagaimana dengan kekayaan para pejabat di negeri itu? Jangan tanya bagaimana kekayaan para pemimpin di negeri itu, sebab semua pemimpinnya mempunyai kendaraan mewah lebih dari satu di garasi rumahnya. Assetnya di mana-mana. Bahkan mungkin kekayaannya yang tersimpan di luar negeri jauh lebih banyak. Namun sayang, para pemimpin negeri antah barantah itu hanya mampu menyuplai intelektualnya saja dengan ilmu dunia, tapi tidak dengan spiritual dan emosionalnya.

Menurut para pengamat, negeri itu terancam punah beberapa tahun mendatang. Sebab para pemimpinnya yang bergelar master, doktor dan profesor itu tidak bijak dalam memimpin rakyatnya. Korupsi merajalela. Narkoba merebak di mana-mana. Bahkan, ada saja satu dua pemimpin negeri itu yang terjerat kasus narkotika. Saling hujat satu sama lain bukan hal asing. Plesiran ke daerah-daerah dan luar negeri dengan alasan study banding, dan dana puluhan bahkan ratusan milyar pun tak masalah.

Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia

Entahlah. Selain beberapa krisis moral di atas, pemimpin negeri itu juga begitu ambisi berebut kekuasaan. Satu sama lain saling hujat. Terbentuklah kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat untuk membela pemimpinnya masing-masing. Negara mulai tertatih, persis seperti lelaki tua berumur 60 tahun yang dipaksa  naik gunung. Saat para pemimpin negara itu saling baku hantam, sementara rakyat kecil makin terpuruk. Banyak rakyat kelaparan. Anak-anak yang kurang gizi, sebab orang tua mereka tak lagi mampu mencari uang karena situasi ekonomi yang tak menentu.

Puncaknya, negara itu  benar-benar kacau. Keributan terjadi di mana-mana. Bukan hanya itu, untuk melengkapi situasi negara yang kian terpuruk, Tuhan kirimkan para rakyat di negeri itu bencana yang datangnya bertubi-tubi. Gempat di mana-mana. Tsunami pun tak mau kalah. Bahkan likuifaksi (bumi tenggelam ke bawah) pun terjadi di negeri itu. Padahal seumur-umur belum pernah terjadi likuifaksi. Bisa jadi, Tuhan mulai bosan melihat prilaku para pemimpin negeri itu yang angkuh para aturan Yang Kuasa.

Pentingnya Akhlak (Moral)

Akhlak (moral), dikatakan oleh Sayid Mujtaba Lari merupakan faktor terpenting yang memengaruhi perkembangan masyarakat, apakah akan menuju kemajuan atau malah tersungkur kepada lembah kehancuran (Musawi Lari. Ethic and Spiritual Growth. 2005, hal. 11). Karena itu, empat belas abad yang lalu, seorang manusia sempurna Muhammad SAW di utus dengan tujuan utama menyempurnakan akhlak manusia. “Sesungguhnya aku di utus untuk meneyempurnakan akhlak manusia,” sabda Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis

Krisis akhlak tentu lebih parah dibanding sekedar krisis ekonomi. Akhlak adalah sumber dari sukses tidaknya seseorang, apalagi jika ia adalah seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang mulia akhlaknya, tentu di manapun ia berada, akan memberikan rasa aman bagi rakyatnya. Bukan sebaliknya membuat rakyatnya resah dan galau.

Akhlak mulia yang dimiliki seorang pemimpin adalah gambaran nyata dari dalamnya pemahaman yang dimiliki seorang pemimpin. Dengan akhlak mulia itu juga Rasulullah SAW mampu merubah akhlak buruk bangsa Quraisy kala itu. Kemuliaan akhlak tidak bisa diukur dari tinggi rendahnya pendidikan formal seseorang, tapi akhlak mulia itu bisa tumbuh dan subur karena pemahaman terhadap syariat Islam yang benar dan baik.

Saking pentingnya seorang pemimpin mempunyai akhlak mulia, sampai-sampai Nabi SAW banyak mengingatkan umatnya dalam beberapa hadisnya. Antara lain sebagai berikut.

Pertama, Nabi SAW bersabda, Paling dekat denganku kedudukannya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya. (HR. Ar-Ridha).

Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global

Pemimpin yang baik akhlaknya tentu saja baik cara berfikirnya. Baik pula visi misinya ke depan untuk membangun masyarakat dan orang-orang yang ia pimpin agar maju dan berkembang menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya, menjadi pemimpin yang melahirkan konflik di mana-mana.

Kedua, Nabi SAW juga mengingatkan dalam sabdanya, “Sesungguhnya seorang Mukmin-karena kebaikan akhlaknya-menyamai derajat orang yang biasa melakukan shaum dan menunaikan shalat malam.” (HR Abu Dawud)

Itu artinya, seorang yang mempunyai akhlak mulia derajatnya sama dengan orang-orang yang melakukan puasa dan melakukan shalat malam (tahajud). Apalagi jika ia seorang pemimpin, bisa jadi pahala yang akan diperolehnya kelak di sisi Allah jauh lebih tinggi. Selain pahala berakhlak mulia, juga pahala karena suka dukanya menanggung beban orang-orang yang ia pimpin.

Ketiga, dari Abu Ad-Darda’ radiyallahu ‘anhu; Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sesuatu yang diletakkan pada timbangan hari kiamat yang lebih berat daripada akhlak yang mulia, dan sesungguhnya orang yang berakhlak mulia bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (Sunan Tirmidzi: Sahih)

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Kemuliaan seseorang bukan terletak seberapa banyak harta benda yang dimilikinya. Bukan pula diukur dari seberapa banyak gelar akademis yang disandangnya. Tidak pula tinggi rendahnya jabatan yang ia pikul. Namun, kemuliaan seorang hamba itu sangat terletak bagaimana ketinggian moralnya.

Keempat, Nabi SAW juga bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai dan paling dekat kedudukannya dengan majelisku pada Hari Kiamat nanti adalah orang yang paling baik akhlaknya. Sebaliknya, orang yang aku benci dan paling jauh dari diriku adalah orang yang terlalu banyak bicara (yang tidak bermanfaat) dan sombong.” (HR at-Tirmidzi).

Jangan terlalu lama menatap dunia ini, sebab semua yang ada di dunia hanya akan membuat mata iman kita menjadi silau dengan gemerlapnya. Akhirnya kita lupa membenahi diri untuk lebih baik saat Malaikat Maut  itu datang menjemput. Sesekali tataplah akhirat. Sebab di sana, tidak akan pernah berguna semua tumpukan harta benda yang dimiliki di dunia ini.

Mari belajar, tanpa lelah untuk menyontoh Nabi SAW bagaimana berakhlak mulia. Tidak ada cara untuk menangkal semua krisis di suatu negeri kecuali para pemimpin di negeri itu dan seluruh rakyatnya menyadari bahwa berakhlak mulia adalah cara terbaik untuk mengundang datangnya berlimpah kebaikan dari Allah Ta’ala.(A/RS3/P1)

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Kolom