Oleh: Bahron Ansori, Redaktur di Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Menjadi pemimpin memang tidak semudah mengatakannya, sebab ada tanggung jawab besar yang harus diembannya. Dalam Islam, pertanggungjawaban seorang pemimpin bukan hanya kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya tapi lebih jauh lagi ia harus mempertanggungjawabkan semua amanah yang diembannya dihadapan Allah Ta’ala.
Itulah mengapa dalam pandangan Islam, memilih pemimpin bukan atas dasar hubungan dekat, satu partai, ada hubungan tali keluarga, karena anak atau atas dasar kedekatan lainnya.
Dalam Islam, memilih seorang pemimpin harus sesuai dengan skill dan kapasitas yang ahli dibidangnya (expert). Aspek profesionalitas dalam menunjuk seorang pemimpin menjadi hal yang utama dalam ajaran Islam. Sebab, jika seorang pemimpin itu tidak mempunyai bekal ilmu dan pengalaman yang cukup untuk memimpin, maka kehancuran sebuah organisasi cepat atau lambat akan terjadi.
Baca Juga: Selamatkan Palestina, Sebuah Panggilan Kemanusiaan
Tentang profesionalitas ini, seribu tahun lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sudah menasihati tentang bagaimana sebuah amanah harus diemban oleh orang yang ahli dibidangnya, “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran akan terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya, “Apa maksudnya amanat disia-siakan duhai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari – 6015).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut sungguh menggugah bagi siapa pun yang sadar untuk menjadi seorang pemimpin. Amanah pertama dan paling utama bagi setiap manusia adalah amanah untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta beserta seluruh isinya. Dalam konteks ini, pada hakikatnya, setiap manusia yang terlahir ke muka bumi sudah diberikan amanah sebagai Khalifah yang diwajibkan membangun dan memelihara kehidupan di dunia berdasarkan aturan dan hukum Yang Memberi Amanah, Allah Ta’ala.
Tapi, apakah manusia dalam menjalankan kehidupan ini sudah menunaikan amanah yang dipercayakan Allah kepadanya? Betapa banyak orang yang menganggap enteng amanah yang diembannya. Ia tidak merasa dan mungkin tidak mau tahu bahwa amanah untuk menjalankan ketaatan sebagai Khalifah kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala. Bukan tidak mungkin amanah yang dilalaikan saat di dunia ini akan berbuah kepedihan berkepanjangan di akhirat kelak. Sebaliknya, jika setiap amanah yang dijalankan dalam kehidupan fana ini sesuai dengan yang diberikanNya, maka kebahagiaan dunia dan akhirat akan diterima.
Karena itu, seorang pemimpin dalam sebuah organisasi, kelompok, golongan, bahkan negara sekalipun semestinya selalu melakukan evaluasi (muhasabah) atas setiap keputusan yang dibuatnya. Jangan sampai keputusan yang diambil alih-alih mendatangkan manfaat bagi rakyat, sebaliknya justeru membuat suasana semakin ‘gaduh’: tak jelas lagi mana pembela kebenaran dan mana pengusung kesalahan, antara koruptor dan aparat penegak hukum pun sudah tak bisa dibedakan karena kedua-duanya mempunyai kepentingan yang sama; haus kekuasaan! Jika sudah begitu situasinya, lalu siapa yang rugi?
Baca Juga: Malu Kepada Allah
Pemimpin dalam Islam
Dalam Islam, pemimpin yang baik itu mempunyai kriteria tersendiri. Sebuah kriteria yang tidak hanya mendapat standar baik menurut kaca mata hukum buatan manusia, tapi lebih jauh lagi kriteria pemimpin dalam Islam merupakan hukum mutlak dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jika Allah Ta’ala sudah menggariskan bagaimana pemimpin yang baik sesuai konsepNya, maka tak akan ada satu pun dari manusia mampu mengubahnya kecuali bagi kaum yang lebih senang mengikuti hukum sesuai nafsunya.
Di antara kriteria pemimpin yang baik dalam Islam adalah sebagai berikut.
Pertama, Beriman dan Beramal Shaleh. Inilah kriteria pertama bagi siapa pun yang ingin menjadi pemimpin. Standar iman dan amal shaleh ini tentu melebihi apa yang disebut fit and profer test (uji kelayakan dan kepantasan) ala manusia-manusia lemah. Fit and profer test bagi seorang Muslim yang ingin menjadi pemimpin akan terlihat dari amal nyatanya dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Apakah ia sudah benar-benar beriman kepada Allah Ta’ala dan gemar melakukan berbagai amal kebaikan, semua itu akan menjadi penentu apakah ia layak menjadi seorang pemimpin atau pemimpi.
Baca Juga: Palestina Memanggilmu, Mari Bersatu Hapuskan Penjajahan
Kedua, Niat yang Lurus. Ini penting, sebab ada orang yang ingin jadi pemimpin karena menginginkan sesuatu di baliknya. Berkacalah pada negeri ini, betapa banyak orang yang bernafsu untuk menjadi pemimpin ia harus merogoh koceknya puluhan bahkan ratusan juta, hanya untuk ‘membeli’ sebuah jabatan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin orang yang mendapatkan kepemimpinan dengan cara ‘membeli’ akan berfikir mengayomi dan mensejahterakan rakyat? Sebaliknya, pemimpin semacam ini akan menjadikan kekayaan sebagai motivasi utamanya: sebab ia sudah mengeluarkan uang yang sangat besar untuk mendapatkan jabatan sebagai pemimpin.
Disinilah pentingya niat, seperti disampaikan dalam hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) sesuai dengan niatnya. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada Allah dan RasulNya. Dan siapa yang hijrahnya karena urusan dunia yang ingin digapainya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkannya tersebut.” (HR. Bukhari, Jami’ush Shahih, no. 45, 163; Muslim, Jami’ush Shahih, no. 1907)
Betapa rugi menjadi seorang pemimpin dengan niat yang buruk (ingin kaya, kesohor dll) hanya sekedar meraih pujian manusia dan mendapatkan keuntungan dunia yang tak seberapa jika dibandingkan dengan pahala di akhirat jika niatnya lurus. Jadilah seorang pemimpin yang mencari ridha Allah saja, karena sebenarnya kepemimpinan atau jabatan adalah tanggung jawab dan beban, bukan kesempatan dan kemuliaan.
Baca Juga: Korupsi, Virus Mematikan yang Hancurkan Masyarakat, Ini Pandangan Islam dan Dalilnya!