Oleh Bahron Ansori*
Memimpin tidak semudah membalikan telapak tangan, apalagi yang dipimpin adalah sebuah negara yang jumlah penduduknya banyak, beragam budaya dan bahasa, beragam karakter, wilayah yang sangat luas baik darat maupun laut hampir sama luasnya dengan Eropa.
Menjadi pemimpin di Indonesia hal yang sangat prioritas adalah mampu mempersatukan setiap elemen bangsa dalam satu visi dan misi. Kemampuan pemimpin untuk mempersatukan bangsa tidaklah mudah. Track record untuk menjadi pemimpin pasti menjadi perhatian dari obyek yang akan dipersatukan yaitu setiap elemen bangsa.
Selain itu, pemimpin juga harus mampu mengambil hati rakyat sehingga rakyat mencintainya tanpa diiming-imingi materi. Rakyat mencintai pemimpinnya karena kerja keras pemimpin dalam memperhatikan setiap kebutuhan rakyatnya dan rakyat merasa aman karena kepemimpinannya.
Baca Juga: Meraih Kemenangan Hakiki: Idul Fitri sebagai Momentum Perubahan
Pemimpin mampu memecahkan berbagai macam persoalan yang berkembang di masyarakat dan mampu menangani perubahan cepat akibat globalisasi yang berpengaruh besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena pemimpin adalah orang yang diberikan amanah (kepercayaan) tertentu yang diharapkan dapat melaksanakan tugas kepemimpinannya sesuai dengan kedudukan dan jabatannya. Rasulullah Saw, pernah mengingatkan, pemimpin suatu kaum adalah pelayan kaum tersebut. Oleh karena itu seorang pemimpin hendaklah melayani dan menolong orang yang dipimpin untuk mencapai kemajuan, kesejahteraan umat dan keselamatan dunia akhirat.
Tapi, banyak pula pemimpin yang gagal dalam kepemimpinannya. Ini dapat dilihat dalam sejarah kepemimpinan di masyarakat dari masa ke masa. Banyak pemimpin yang dipaksa atau terpaksa mundur dari jabatannya sebelum habis masanya menjabat. Banyak pula pemimpin yang dibenci rakyatnya sehingga mereka dijatuhkan dan diadili oleh rakyatnya sendiri, bahkan ada yang dipenjara, dibunuh dan sebagainya. Mengapa hal itu bisa terjadi? Berikut inilah di antara penyebabnya:
Pertama, Pemimpin itu Tidak Menjalankan Amanah
Baca Juga: Makna Sejati Idul Fitri: Kembali ke Fitrah dengan Hati yang Suci
Para pemimpin itu terlena dengan jabatan sesaatnya. Mereka tidak menunaikan amanah itu karena mereka lupa akan hakikat kepentingan yang sesungguhnya, atau karena terpengaruh dengan kemewahan duniawi sampai melengahkan tugas-tugas kepemimpinannya. Akibat lalai dan terpengaruh duniawi, amanah kepemimpinan tak dilaksanakan dan kepemimpinan hanya dijadikan alat untuk mencari keuntungan dan kekayaan duniawi pribadi, keluarga dan kelompoknya.
Tak heran pemimpin seperti ini demen korupsi. Sikap dan perilaku pemimpin seperti ini yang banyak melahirkan melahirkan berbagai penyimpangan.
Salah satu bentuk penyimpangan itu tak lain adalah korupsi dan kezaliman. Dari penyimpangan itu timbul ketimpangan dan kesenjangan hidup di masyarakat akibat mengabaikan amanah. Allah Swt berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menjalankan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan suatu hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”…(Qs. An-Nisa : 58).
Rasulullah Saw pun mengingatkan para pemimpin, “SIAPA SAJA YANG DIANUGERAHKAN ALLAH SEBAGAI PEMIMPIN, TETAPI DIA TIDAK BERBUAT SESUATU UNTUK KEBAIKAN UMATNYA (MALAH SEBALIKNYA MENIPU DAN MENZALIMI UMATNYA ), ALLAH AKAN MENGHARAMKAN SURGA UNTUKNYA.” (HR. Bukhari).
Baca Juga: Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saat Idul Fitri
Dalam hadis lain, Rasulullah Saw bersabda, “Asyaddunnaasi ‘azaban yaumul qiyamati imamun jair”. (ORANG YANG PALING SAKIT SIKSAAN DI HARI KIAMAT ADALAH PEMIMPIN YANG ZALIM (CURANG).” (HR. Thabrani dari Abdullah bin Mas’ud).
Oleh karena itu wahai para pemimpin…Ingatlah, menjadi pemimpin itu adalah amanah, dan amanah itu adalah titipan Allah berupa perintah untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, termasuk menjalankan keadilan, baik keadilan hukum, pendidikan, ekonomi maupun keadilan dalam bidang lain.
Kesejahteraan rakyat, kebenaran dan keadilan juga merupakan tuntutan rakyat yang telah memberikan kepercayaan penuh kepada para pemimpinnya, karena itu melaksanakan amanah Allah berarti juga melaksanakan kehendak rakyat.
Kedua, Pemimpin yang Mengabaikan Kejujuran
Baca Juga: Mudik Lebaran: Tradisi Budaya yang Menyatu dengan Nilai-nilai Islam
Pemimpin yang tidak jujur menganggap nilai materi lebih tinggi daripada nilai kejujuran, sehingga bila mereka berhadapan dengan suatu yang mendatangkan materi atau keuntungan duniawi, kejujuran tidak ada harganya sama sekali. Maka timbullah kedustaan dan kemunafikan serta kezaliman terhadap rakyat.
Pemimpin yang tidak jujur itu pandai; pandai menipu rakyat, mereka licin selicin belut, mereka licik selicik kancil, mereka pandai merangkai kata, seperti pujangga yang menari di atas kata-kata indah hingga rakyat terlena terutama ketika berkampanye dengan janji-janji indah yang selalu berkedok untuk kepentingan rakyat, tapi sesungguhnya mereka adalah para pembohong (khazzab).
Dalam hal ini Rasulullah Saw bersabda, “SESUDAHKU NANTI AKAN ADA PEMIMPIN-PEMIMPIN YANG BERDUSTA DAN BERBUAT ZALIM, SIAPA YANG MEMBENARKAN KEDUSTAANNYA DAN MEMBANTU KEZALIMANNYA, MAKA IA TIDAK TERMASUK GOLONGAN DARI UMATKU DAN AKU JUGA TIDAK TERMASUK DARINYA DAN IA TIDAK AKAN DATANG KETELAGA (YANG ADA DI SURGA).” (HR. Nasa’i dari Ka’ab).
Dalam hadis di atas, diisyaratkan akan lahir pemimpin-pemimpin yang suka berdusta pada diri sendiri dan kepada umatnya. Dalam kepemimpinannya pemimpin seperti itu selalu menampakkan yang baik dan indah, tetapi dibalik itu ada maksud-maksud tertentu yang dapat merugikan rakyatnya, juga suka berbuat zalim dan aniaya.
Baca Juga: Mudik Lebaran, Wujud Cinta dan Bakti pada Orangtua
Karena itu perlu disadari, kejujuran itu sesungguhnya amat tinggi harganya dihadapan Allah. Kejujuran juga amat besar nilainya dimata rakyat. Kejujuran merupakan tolok ukur kepercayaan rakyat, merupakan cermin keluhuran dan kemuliaan di dunia dan di akhirat. Dalam hal kejujuran Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertawakkallah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (Qs. At-Taubah: 119).
Ketiga, Pemimpin yang Berakhlak Mazmumah (buruk)
Bila suatu umat dipimpin oleh pemimpin yang berakhlak buruk tidak bermoral dan kepribadiannya yang jauh dari nilai-nilai Islam dan akhlak yang mulia, bisa dipastikan umat itu akan mengalami penderitaan dan kesengsaraan berkepanjangan.
Pemimpin seperti ini akan bertindak sewenang-wenang sehingga umatnya tidak mendapatkan keadilan dan hak-haknya. Sebaliknya, rakyat merasakan kesengsaraan, ketakutan, keresahan dan kegersangan ruhiyah berkepanjangan. Ini membuat umat hidup dalam penderitaan dan kekecewaan.
Baca Juga: Hakikat Kembali kepada Fitrah: Sebuah Tinjauan Ilmiah dan Syar’i
Bagi umat Islam, mereka tidak akan mendapatkan kebaikan bila dipimpin oleh orang-orang non muslim. Sebab suatu kemustahilan bila orang-orang diluar Islam berbuat dengan ikhlas untuk kemaslahatan bagi umat Islam. Bahkan sebaliknya mereka senantiasa berusaha untuk menghancurkan umat Islam. Umat Islam juga akan hancur bila dipimpin oleh orang-orang munafik yang tidak jelas penguasaan ilmu syariatnya.
Pemimpin seperti ini harus diwaspadai oleh umat Islam dan harus dihindari. Dalam hal ini Allah Swt berfirman, “Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras.” (Qs. Al-Baqarah: 204).
Keempat, Pemimpin yang Tidak Kapabel
Pemimpin kapabel adalah pemimpin yang kurang cakap, cerdik, dan tidak memiliki kesanggupan dalam memimpin serta tidak memiliki visi dan misi kedepan. Dalam Islam disebut sebagai orang yang tidak fathanah. Tugas kepemimpinan di masyarakat sungguh berat, apalagi jika kepemimpinan itu bertaraf nasional, tentu akan lebih berat lagi, sebab permasalahan yang dihadapi lebih banyak dan komplek.
Baca Juga: 10 Hakikat Mudik bagi Seorang Muslim
Karena itu kepemimpinan sangat menuntut seorang pemimpin yang fathanah (cerdik), yakni cakap, pandai, cerdas, punya kesanggupan dan memiliki visi jauh kedepan. Pemimpin yang fathanah itulah yang akan mampu memimpin dan membangun masyarakatnya. Allah swt berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (Qs. An-Nahl: 125).
Menurut satu riwayat, Rasulullah Saw tidak rela jika umatnya dipimpin oleh orang-orang yang berakhlak bejat, tidak beriman serta berlaku zalim. Tapi terkadang umatnyalah yang tidak memperhatikan diri dan nasibnya sendiri. Hal ini terlihat dari cara memilih pemimpin, mereka tidak mengikuti petunjuk Allah dan Rasul. Tidak cerdas memilih pemimpin !
Karena itu, disinialh tugas dan tanggung jawab para ustadz dan ulama memberi tuntunan kepada umat ini bagaimana seharusnya memilih pemimpin menurut tuntunan Al-Qur’an dan Hadits demi kebahagiaan dunia dan akhirat juga keselamatan bagi pemimpinnya. Wallahu A’lam. (T/R1/E1).
*Redaktur Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tradisi Mudik, Sejak Kapan Dilakukan?
Mi’raj News Agency (MINA)