Oleh: Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA, Wakil Ketua MPR RI
Masyarakat Indonesia khususnya para pemuda perlu mengingat dan mempelajari sejarah perjuangan para pahlawan. Hal ini dengan cara mengenal dan mendalami benda-benda peninggalan para pahlawan. Seperti rumah pengasingan yang digunakan penjajah untuk mengisolir dan memutus hubungan para pejuang dengan pejuang lainnya.
Salah satu rumah pengasingan yang digunakan penjajah Belanda mengisolir para pejuang kemerdekaan, itu adalah Pesanggrahan Wisma Menumbing, Muntok, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung. Di tempat tersebut, Bung Karno, pernah menjalani masa sunyi sebagai tahanan politik. Selain Soekarno, Belanda juga pernah menempatkan Bung Hatta (wakil presiden), Agus Salim (menteri luar negeri), RS Soerjadarma (kepala angkatan udara), Sutan Sjahrir (mantan perdana menteri), MR Asaat (ketua KNIP) dan AG Pringgodigdo (mensesneg), di rumah pengasingan tersebut.
Dengan mempelajari serta mengenali benda-benda sejarah peninggalan para pejuang, kita dapat merasakan betapa berat perjuangan dan pengorbanan mereka dalam merebut serta mempertahankan kemerdekaan. Sehingga kita bisa menghargai dan menghormati pengorbanan para pejuang. Dan melanjutkan semangat mereka mengisi kemerdekaan.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Salah satu perjuangan berat yang dihadapi para bapak dan ibu pendiri bangsa, saat itu adalah ketika mereka dihadapkan pada pertanyaan apakah dasar dan ideologi negara yang akan digunakan, setelah memproklamirkan NKRI. Pertanyaan yang muncul pada sidang pertama BPUPK, itu langsung menimbulkan friksi di antara dua kelompok. Kelompok Nasionalis religius (Islam) yang diwakili Ki Bagus Hadi Kusumo, KH. Anwar Ahmad Sanusi, KH. Abdul Halim dan KH. Wahid Hasyim menyebut dasar dan ideologi yang akan dipakai adalah agama Islam. Karena di alam demokrasi, sangat wajar jika kelompok mayoritas yang memimpin.
Pendapat itu ditentang oleh kelompok nasionalis kebangsaan. Soekarno, Moh. Hatta Supomo dan Moh. Yamin, berpendapat, Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Bagusnya, dasar dan ideologi yang dipakai adalah kebangsaan.
Karena tak jua terjadi kesepahaman, maka dibentuklah panitia 9 yang diketuai Ir. Soekarno. Panitia 9 dibentuk setelah sebelumnya, membubarkan panitia 8 yang juga mendudukkan Bung Karno sebagai Ketua. Setelah melalui perdebatan yang panjang, panitia 9 berhasil mencapai permufakatan, dan disepakatilah pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Meski begitu, masih ada ganjalan pada sila pertama yang ada pada pembukaan. Kelompok Indonesia timur keberatan dengan adanya kalimat, Ketuhanan dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Keberhasilan pembentukan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 tak lepas dari kelihaian KH. Anwar Sanusi. Ketika kelompok religius dan kebangsaan tak menemukan mufakat, Anwar Sanusi menawarkan pertemuan untuk dilakukan lobi. Karuan saja, esok harinya pada 22 Juni 1945, panitia 9 berhasil merampung pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Ini menunjukkan, meski berbeda-beda, tetapi dialog jalan terus, sampai ada kompromi. Itu berarti sila pertama Pancasila yang berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, sempat berlaku, hingga 17 Agustus 1945, sebelum akhirnya diubah pada 18 Agustus 1945.
Baca Juga: UAR Korwil NTT Ikuti Pelatihan Water Rescue
Bahkan, meski perbedaan pendapat pada dialok tersebut sangat keras, akhirnya semua kelompok mengakui bahwa Indonesia adalah negara religius. Ini dibuktikan dengan adanya pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia didapat atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa seperti yang tersirat pada alinea tiga Pembukaan UUD NRI 1945.
Perjuangan berat, ini diketahui oleh generasi muda. Agar mereka paham dan menghargai pengorbanan para pahlawan. Kemudian melanjutkan dan menjaganya, supaya tidak diombang ambingkan sekelompok orang yang menyimpan keinginan menggantikan Pancasila dengan ideologi yang lain.
Penting bagi pemuda, khususnya generasi muda Islam, bahwa pengorbanan umat Islam sangatlah besar. Karena itu mereka harus senantiasa menjaganya, jangan sampai lengah apalagi digantikan dengan ideologi yang lain.(AK/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Cuaca Jakarta Diguyur Hujan Kamis Ini
*Artikel tersebut dikutip dalam pernyataan yang disampaikan Hidayat Nur Wahid secara daring pada Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, kerjasama MPR dengan Pengurus Wilayah Partai Keadilan Sejahtera Provinsi Bangka Belitung. Acara tersebut berlangsung di Aula Kantor Walikota Pangkal Pinang Jl. Basuki Rahmat, Bukitintan, Kecamatan Girimaya, Kota Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, Sabtu (13/11/2021).
Selain Hidayat, Anggota MPR RI F-PKS H. Ahmad Syaikhu, menjadi Nara sumber pendamping pada acara tersebut. Ikut hadir pada acara itu, Ir. HA. Junaidy Auli, MM, BPW PKS Sumbagsel, Ketua MPW PKS Babel H.Dody Kusdian, ST.,MH, Ketua DPW PKS Babel, H. Aksan Visyawan, S.ST, Anggota DPRD Kota, Kabupaten, dan Provinsi Fraksi PKS se-Bangka Belitung.
Baca Juga: Tim Gabungan Lanjutkan Pencarian Korban Longsor Jawa Tengah