Jakarta, 24 Jumadil Awwal 1438/22 Februari 2017 (MINA) – Jalan panjang polemik penonaktifan Ahok dari jabatannya menuai tanggapan hukum yang beragam. Sejauh ini, Pasal 83 (1) UU Pemda ditafsirkan tidak terlepas dari ancaman Pasal 156 dan 156a KUHP yang menjadi dasar dakwaan terdakwa.
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum Faisal dalam keterangannya yang diterima MINA menilai bahwa Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk memutuskan penonaktifan Ahok.
“Mendagri terkesan berhati-hati dan mendengar semua pihak. Dalih yang dibangun dari awal, Mendagri menunggu tuntutan dari JPU apakah tuntutan terhadap terdakwa lima tahun atau dibawah itu. Saya menduga, logika hukum yang dibangun Mendagri apabila tuntutan dibawah lima tahun maka terdakwa tidak akan diberhentikan. Padahal tafsir yang demikian terang adalah upaya akrobatik hukum. Nalarnya begitu politis membaca dan memahami Pasal 83 ayat 1,” katanya.
Faisal menegaskan bahwa Mendagri harus membaca Pasal 83 ayat 1 dengan niat yang baik. Perspektifnya dalam rangka menegakkan moral dan etika dalam berhukum. Apalagi, lanjut Faisal, Mendagri memiliki tugas konstitusional untuk memastikan penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik.
Baca Juga: Prediksi Cuaca Jakarta Akhir Pekan Ini Diguyur Hujan
“Kami menitip pesan ke Bapak Mendagri, sejatinya akhlak hukum adalah sumber dari hadirnya nalar keadilan. Membaca Pasal 83 (1) tidaklah mungkin dapat menyatu pada rasa keadilan jika tidak memiliki akhlak hukum. Nilai yang hendak di artikulasikan adalah moral dan etika,” tuturnya.
Faisal kemudian mempertanyakan sikap Mendagri yang begitu berani mempertaruhkan reputasi jabatannya untuk menunda berhentikan terdakwa yang secara moral dan etik telah di proses hukum atas nama Pasal penodaan agama.
Apalagi, kata Faisal, pilihan hukum Mendagri yang mengatakan menunggu tuntutan JPU tidak sama sekali dipersyaratkan oleh aturannya. Kepentingan hukum Pasal 83 (1) harus dilihat dalam kacamata imperatif, yang hendak ditegakkan yaitu perbuatan tercela, sepanjang perbuatan terdakwa tercela dan telah didakwa, maka dalih yang mendegradasi Pasal 83 (1) secara fakultatif ialah pilihan akrobatik hukum semata.
“Terang saja jika perbuatannya sudah tercela dan didakwa, maka tidak perlu dibebankan dengan prasyarat jenis hukuman dan ancaman hukuman, jika dalih hukum ini yang terus dibangun, maka memahami Pasal 83 (1) tidak untuk menegakkan nilai akhlak hokum,” kata Faisal. (L/R06/P1)
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)