Melbourne, 8 Rajab 1437/16 April 2016 (MINA) – Peserta Pertukaran Pemuda Muslim Indonesia dan Australia berdiskusi mengenai fenomena munculnya kelompok ekstrim, saat berkunjug ke kantor ABC di Melbourne, Australia.
Sebagai bagian dari program kunjungan ke Australia, enam peserta Muslim Exchange Program asal Indonesia datang ke kantor ABC di kawasan Southbank, Melbourne, Jumat (15/4).
Australia Plus menyebutkan, peserta mengungapkan adanya kecenderungan kelompok ekstrimis yang kini menggunakan jejaring sosial, seperti Facebook untuk mengekspresikan pemikiran mereka dan mempengaruhi orang-orang dengan pemahamannya.
Menurut Zahrul Anam, yang juga aktif di organisasi Muhammadiyah, penyebab mengapa suara mereka terdengar lebih keras adalah adanya revolusi media.
Baca Juga: Diboikot, Starbucks Tutup 50 Gerai di Malaysia
“Mungkin di jaman Orde Baru, bahkan keberadaan mereka pun tidak diketahui. Tetapi setelah reformasi, kelompok garis keras semakin banyak bermunculan, sehingga kita merasa seolah mereka mendominasi,” ujar Zahrul.
Ia mencontohkan, seperti semakin maraknya perdebatan soal moral yang berakhir dengan cacian, mudahnya menuduh sesorang berdosa atau sesuatu haram, hingga tumbuh kecenderungan saling memaki di antara sesama Muslim yang memiliki penafsiran berbeda.
Ratih Arrum, yang sudah banyak berurusan dengan urusan psikologi dan kesehatan mental mengatakan, mayoritas Muslim di Indonesia umumnya terlahir sebagai Muslim, jadi mereka merasa menjadi Muslim adalah hal yang biasa.
“Sehingga kadang jika ada informasi yang didapatkan dari media, mereka tidak mengkritiknya dan hanya menerima. Sepertinya mereka tidak terlalu memiliki motivasi lebih untuk belajar lebih dalam,” ujar Ratih.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Berbeda dengan Muslim di Australia, mereka berjuang dengan identitasnya sebagai Muslim, tak jarang mereka mempertanyakan apa sebenarnya itu Islam sehingga terus belajar, ujarnya.
Demikan halnya, kata Lis Safitri, banyak kalangan yang punya ilmu, mendapatkan studi secara formal di universitas dan institusi, tapi belum terlalu banyak memberikan penjelasan.
Mereka biasanya menuliskannya lewat sebuah artikel, tapi hanya dibaca oleh mereka yang memiliki pendidikan. Sehingga pada akhinya suara mereka tidak terlalu terdengar.
Peserta kunjungan pemuda Muslim Indonesia ke Australia terdiri dari Muhammad Sabeth Abilawa yang juga Direktur Social Development Dompet Dhuafa, Ratih Arrum, Wakil Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI Jakarta, Deni Lubis, dosen dan salah satu penggagas program ekonomi Islam di Institut Pertanian Bogor, Lis Safitri dari pengusaha sekaligus guru di SMA Darussalam, Ciamis, Jawa Barat serta Muhammad Zahrul Anam dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Kunjungan mereka ke Australia bermaksud untuk lebih mengenal kondisi kehidupan Muslim di Australia sebagai warga komunitas.
Rencananya para peserta akan mengunjungi sejumlah lembaga Muslim dan bertemu tokoh-tokoh Muslim di Melbourne dan Sydney. Mereka akan membicarakan masalah-masalah yang sama-sama mereka hadapi. Mereka juga berharap dapat belajar banyak bagaimana kehidupan toleransi antarwarga di Australia yang berasal dari berbagai suku bangsa. (T/P4/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai