Idlib, 26 Rabiul Awwal 1438 H/26 Desember 2016 (MINA) – Abdullah adalah salah seorang penduduk terakhir yang meninggalkan Aleppo timur. Menjalani evakuasinya dengan sebuah bus ke wilayah pemberontak di luar kota tersebut, tampaknya dia berharap dapat memupus rasa kehilangannya, atas kematian isteri dan kedua anaknya.
“Kami hidup tanpa tempat tinggal selama beberapa hari karena pasukan rejim ada dekat kami, tanpa makanan atau air, mengenakan pakaian seadanya agar tetap merasa hangat,” kata Abdullah, kepada Al Jazeera dengan nama samaran karena alasan-alasan keselamatan. “Warga tak bisa membawa semua milik mereka ketika mereka pergi, karena itu mereka membakarnya.”
Menurut Abdullah di Idlib, Ahad (25/12), dia juga melihat beragam ancaman terhadap warga sipil oleh pasukan pro-pemerintah: “Kondisinya sangat menakutkan.”
Sedikitnya 35.000 orang meninggalkan Aleppo timur bulan ini, setelah sebuah kesepakatan memungkinkan evakuasi dari daerah-daerah yang masih dikuasai pemberontak. Beberapa diantaranya pergi ke propinsi Idlib, di mana mereka memulai hidup baru.
Baca Juga: Oposisi Suriah Kuasai Damaskus, Presiden Assad Melarikan Diri
“Saat ini, situasi kemananan lebih baik – tidak ada bom atau granat,” kata Mahmoud Taraqji, seorang penduduk asli Aleppo kepada Al Jazeera.
Para pengungsi baru itu merasakan situasi keamanan yang lebih baik di kota Idlib, sangat kontras dengan pertempuran dan serangan-serangan udara yang mengepung Aleppo dalam beberapa pekan terakhir ini.
“Situasi di kota ini tenang,” kata Abd al-Latif Tarboush, seorang warga Aleppo yang tiba di Idlib pekan ini. “Tidak ada pemboman atau pertempuran, terima kasih Tuhan.”
Meski demikian, beberapa pekan lalu dilaporkan terjadi serangan-serangan udara di daerah pinggiran Idlib.
Baca Juga: Qatar Komitmen Lanjutkan Mediasi Gencatan Senjata di Gaza
Taraqji mengatakan, tak seperti di Aleppo, di mana penduduk mengalami ancaman kelaparan karena pengepungan yang dilakukan pasukan pemerintah, keluarganya memiliki cukup makanan di Idlib, dan mengandalkan makanan yang dibawa saat mereka pindah ke sebuah rumah baru. Dia dan keluarganya tiba di Idlib awal pekan lalu.
Namun menurut Taraqji, keluarganya menghadapi masalah-masalah lain termasuk trauma atas pemindahan. “Kami tak akan pernah kembali ke rumah lama milik kami. Hidup serta kenangan kami kini sudah dikubur di sana, dan kami tak akan bisa kembali.”
Terpaksa melarikan diri
Kesepakatan evakuasi berakhir Kamis (22/12) lalu ketika pasukan Suriah menyatakan menguasai sepenuhnya kota Aleppo, yang telah terbagi dua antara di bawah kekuasaan para pemberontak dan pasukan pemerintah sejak tahun 2012.
Baca Juga: Israel Lakukan 150 Pelanggaran Kesepakatan Gencatan Senjata dengan Hezbollah Lebanon
Sejumlah penduduk merasa mereka harus melarikan diri karena serangan-serangan yang disebar pasukan pemerintah di Aleppo timur.
“Kami terpaksa lari setelah pasukan pemerintah melakukan tekanan terhadap para pemberontak untuk pergi setelah mereka menguasasi sebagian besar kota itu,” kata Taraqji kepada Al Jazeera.
Taraqji, Tarboush dan warga lainnya mengaku memilih pergi ke daerah pemberontak setelah meninggalkan Aleppo timur dalam upaya menghindari penangkapan kembali oleh pasukan pemerintah.
Beberapa penduduk takut akan penahanan oleh pemerintah atau hal-hal yang lebih buruk – ketakutan meningkat setelah PBB melaporkan bahwa ratusan orang hilang sesudah memasuki wilayah pemerintah selama hari-hari terakhir pertempuran.
Baca Juga: Hamas Bertemu Utusan Khusus Rusia Bahas Gencatan Senjata Permanen
Selain pergi ke Idlib, beberapa warga sipil lari ke daerah-daerah pemberontak di pinggiran Aleppo barat. Namun ada juga penduduk yang pindah ke wilayah pemerintah ketika para pemberontak kehilangan daerahnya, seperti dilaporkan kantor berita pemerintah Suriah, SANA.
Kota Idlib, dan propinsi Idlib merupakan wilayah terkuat yang dikuasi para pemberontak yang tersisa di Suriah setelah kemenangan rejim Suriah dan para sekutunya di Aleppo. Berbagai kelompok pemberontak termasuk Front Fateh al-Sham, berada di wilayah tersebut.
Bagi mereka yang di masa lalu hidup di Aleppo – suasana di Idlib, kota terbesar sebelum perang Suriah – sangat berbeda.
“Kehidupan di Idlib berlangsung di daerah pedesaan, pasukan rejim tidak ada di sini, sebaliknya dengan di Aleppo – daerah sempit dengan sangat banyak penduduk dan terus menerus dibombardir,” kata seorang dokter asal Idlib, yang membuka praktek di Aleppo timur sebelum kembali ke kampungnya tahun lalu.
Baca Juga: Iran Siap Dukung Tentara Suriah dan Irak
Kini dia bekerja di Idlib, dokter yang tidak mau disebut identitasnya itu mengaku kepada Al Jazeera, telah banyak menolong para korban Aleppo. “Mereka korban pemboman. Mereka mengalami beragam kerusakan tulang dan luka dalam.”
Namun, membanjirnya warga yang pindah dari Aleppo timur, telah menambah keprihatinan kemanusiaan baru di Idlib dan di manapun, terutama karena ancaman musim dingin yang mulai melanda bagian utara Suriah.
“Penduduk itu tak selalu memiliki pakaian yang memadai untuk musim dingin, maka kami mencarikan mereka tempat tinggal dan memberikan selimut-selimut serta makanan,” kata Christy Delafield, juru bicara Mercy Corps, yang telah membantu para pengungsi yang baru tiba di utara Suriah.
Delafield mengatakan kepada Al Jazeera, banyak dari mereka yang lari dari Aleppo timur sangat ketakutan setelah terjebak dalam perang yang berlangsung lebih dari lima tahun. “Setiap orang mengalami trauma. Kami berusaha memberi mereka rasa damai.”
Baca Juga: Ribuan Warga Homs Suriah Mengungsi Saat Pasukan Pemberontak Menyerang
Oleh karena perang terus berlanjut di Suriah, mantan penduduk Aleppo timur berusaha menghadapi kenyataan bahwa kota mereka telah berubah selamanya. “Saya masih ingin mempunyai kesempatan untuk kembali ke sana,” kata Taraqji. “Itu tidak akan tercapai dalam waktu dekat, tetapi saya berharap suatu hari saya bisa ke sana.” (RS1/P02)
Dilaporkan oleh Adam Lucente dan Zouhir Al Shimale dari Al Jazeera
Miraj Islamic News Agency/MINA
Baca Juga: OKI Minta Taliban Cabut Larangan Perempuan Ikuti Pendidikan Medis