Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti BRIN: Zionisme Bukan Sekadar Pendirian Negara, Tapi Proyek Kolonialisme

Rana Setiawan Editor : Sri Astuti - 21 detik yang lalu

21 detik yang lalu

0 Views

Seminar Internasional dalam rangka memperingati KAA ke 70, Kamis (24/4/2025). (Foto: SYAHRUS SIDIEQ/MINA)

Bekasi, MINA – Penasehat The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Prof. Muhammad Hamdan Basyar, yang juga Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan bahwa proyek Zionisme yang digagas sejak akhir abad ke-19 bukan hanya tentang pendirian negara Israel secara sepihak, tetapi tentang agenda kolonialis modern.

Hal tersebut disampaikannya dalam Seminar Internasional bertajuk “Hentikan Genosida, Bersatu Merdekakan Palestina” dalam rangka memperingati tujuh dekade Konferensi Asia-Afrika yang bersejarah, digelar Aqsa Working Group (AWG) bekerja sama dengan STAI Al-Fatah, di Aula Munif Chatib, Insan Mandiri, Bekasi, Kamis (24/4).

Zionisme adalah bentuk kolonialisme yang terselubung, membungkus pengusiran dan penindasan dengan narasi religius dan historis,” ungkapnya, merujuk pada praktik eksklusi struktural terhadap warga Palestina sejak Deklarasi Balfour 1917 hingga Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi tahun 2018 yang secara terang menyatakan Israel sebagai milik eksklusif Yahudi.

Basyar juga menyoroti “Allon Plan” pascaperang 1967, strategi jangka panjang Israel untuk menduduki wilayah Palestina sambil menekan jumlah populasi Palestina.

Baca Juga: [Bedah Berita MINA] 70 Tahun KAA: Janji yang Belum Tuntas untuk Palestina

“Penghancuran Gaza hari ini adalah kelanjutan dari rencana kolonial yang telah terencana lama. Ini bukan konflik, ini kolonialisme modern,” paparnya.

Selain Hamdan, Wakil Direktur Timur Tengah Kementerian Luar Negeri RI, Rizal Al Huda dan Kepala Redaksi Bahasa Arab Kantor Berita MINA, Rifa Berliana Arifin menjadi narasumber dalam seminar internasional yang dimoderatori Widi Kusnadi, redaktur Bahasa Inggris Kantor Berita MINA.

Kegiatan seminar internasional itu bertujuan merumuskan langkah konkret untuk menghentikan praktik genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina, serta memperkuat solidaritas antarbangsa dalam mendukung kemerdekaan Palestina.

Momentum tersebut juga menyoroti urgensi kolektif bangsa-bangsa Asia-Afrika untuk tidak tinggal diam terhadap kejahatan kemanusiaan yang terus berlangsung di Gaza, dan menagih janji sejarah: penghapusan kolonialisme dari muka bumi.

Baca Juga: BPKH Berpotensi Jadi Model Sovereign Halal Fund

Ketua Presidium AWG, M. Anshorullah, menyampaikan bahwa semangat Konferensi Asia-Afrika 1955 yang menjunjung tinggi kesetaraan dan anti-imperialisme kini kembali diuji.

“Palestina adalah satu-satunya bangsa yang masih dijajah hingga hari ini. Dunia telah gagal memenuhi janji KAA: menghapus kolonialisme dari muka bumi,” tegasnya.

Anshor mengingatkan bahwa Dasa Sila Bandung yang menjadi semangat lahirnya solidaritas Asia-Afrika masih relevan, namun belum dirasakan oleh rakyat Palestina.

Ia menegaskan, bangsa-bangsa peserta KAA memiliki tanggung jawab historis dan moral untuk memerdekakan Palestina.

Baca Juga: Konsorsium Tur Ramah Muslim Mosafa Tawarkan Wisata Halal ke Australia

“Kita tidak boleh membiarkan genosida berlangsung atas nama politik dan kekuasaan,” ujarnya.

Ketua pelaksana seminar, Imam Santoso dari STAI Al-Fatah, menyebutkan bahwa acara ini merupakan bentuk nyata kesadaran bangsa Indonesia dan dunia Islam untuk mengambil peran aktif.

“Genosida di Gaza bukan hanya tragedi Palestina, tetapi tragedi kemanusiaan. Ini adalah tanggung jawab kolektif bangsa Asia-Afrika untuk menghentikannya,” kata Imam.

Seminar tersebut juga menjadi forum diskusi strategi, termasuk mendorong diplomasi global, kampanye hak asasi manusia, serta penguatan jaringan masyarakat sipil.

Baca Juga: Bertemu Wapres, LPAI Serukan Perlindungan Anak dari Bahaya Rokok

“Kami ingin membangun kekuatan bersama, terutama umat Islam, untuk bersatu memperjuangkan kemerdekaan Palestina,” tambahnya.

Relevansi KAA dan Desakan Global

Sebagaimana diketahui, Konferensi Asia-Afrika pertama kali diselenggarakan di Bandung pada April 1955, dengan tujuan utama membangun kerja sama antarbangsa, menentang kolonialisme, dan memperjuangkan perdamaian dunia.

Pertemuan bersejarah ini menghasilkan Dasa Sila Bandung—seperangkat prinsip moral internasional yang menjadi fondasi solidaritas Asia-Afrika.

Baca Juga: KH Ma’ruf Amin Ingatkan Ulama Harus Bersatu

Kini, setelah tujuh dekade, suara-suara dari Asia-Afrika kembali menuntut implementasi nyata atas prinsip tersebut.

“Sudah waktunya bangsa-bangsa yang pernah merasakan pahitnya kolonialisme bersatu kembali, bukan hanya untuk mengenang sejarah, tetapi untuk menciptakan perubahan,” ujar Anshorullah.

STAI Al-Fatah, lembaga pendidikan Islam yang berdiri sejak 1999, berkomitmen mencetak dai dan intelektual Muslim yang unggul, termasuk dalam perjuangan pembebasan Al-Aqsa melalui pemanfaatan teknologi dan media. Sementara AWG, organisasi yang lahir dari Konferensi Internasional Al-Aqsha tahun 2008, menjadi wadah perjuangan umat Islam dalam mendukung Palestina dan membebaskan Masjid Al-Aqsa dari penjajahan.[]

 

Baca Juga: MUI dan Ormas Islam Tandatangani Piagam Ukhuwah untuk Kemaslahatan Umat, Bangsa dan Dunia

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda