Orlando, 9 Ramadhan 1437/13 Juni 2016 (MINA) – Seorang pria bersenjata melepaskan tembakan di Pulse, salah satu klub malam gay paling populer Orlando, Amerika Serikat (AS).
Dalam insiden yang terjadi pada Ahad (12/6) pagi itu, dilaporkan sedikitnya 50 orang tewas dan 53 lainnya luka-luka, demikian Morrocoworldnews dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA) melaporkan.
Pihak berwenang AS menyebut bahwa penembakan itu adalah yang paling mematikan dalam sejarah serangan penembakan di negara itu. Insiden berdarah tersebut memicu perdebatan terkait lemahnya peraturan kontrol senjata di Amerika.
Mother Jones, salah satu organisasi berita independen terkemuka di AS mengungkapkan bahwa antara tahun 1981 hingga 2012, lebih dari 62 kasus penembakan massal terjadi. 12 di antara menggunakan senjata ilegal yang diperoleh di luar AS.
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu
Sementara itu, Kontrol Pusat Penelitian Harvard dalam laporannya menyimpulkan bahwa lebih banyak senjata yang diperbolehkan beredar menyebabkan lebih banyak pula aksi pembunuhan. Jadi mengapa Amerika begitu enggan untuk membuat undang-undang kontrol senjata yang lebih ketat?
ISIS Mengancam
Kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS/Daesh) mengklaim bertanggung jawab atas serangan yang menewaskan 50 orang itu. Bahkan, tiga hari sebelum insiden itu terjadi, ISIS telah merilis ancaman serangan melalui sebuah video, Daily Mail melaporkan.
Diketahui bahwa pelakunya adalah seorang pria kelahiran AS yang telah berjanji setia untuk ISIS.
Baca Juga: DK PBB Berikan Suara untuk Rancangan Resolusi Gencatan Genjata Gaza
Menanggapi insiden berdarah tersebut, Kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, menegaskan kembali akan sikapnya untuk melarang umat Islam memasuki negaranya.
“Apa yang terjadi di klub malam Orlando baru permulaan. Kepemimpinan kita lemah, pengecut dan tidak efektif. Saya akan menyerukan kembali larangan masuk bagi warga Muslim (untuk datang ke AS). Meskipun itu sulit dalam pelaksanaannya,” kata Trump.
Ia kemudian mendesak Presiden Barack Obama untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya, karena tidak menyebutkan kata-kata ‘radikal Islam’ dalam pernyataannya ketika menanggapi pembantaian di Orlando yang menewaskan 50 orang.
“Karena para pemimpin kita yang lemah, maka saya mengatakan hal ini akan terjadi dan akan bertambah buruk. Saya telah mencoba untuk menyelamatkan nyawa dan serangan teroris berikutnya,” katanya. (T/P011/P4)
Baca Juga: Kepada Sekjen PBB, Prabowo Sampaikan Komitmen Transisi Energi Terbarukan
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)