Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengalaman “Meugang” di Rantau

Redaksi Editor : Arif R - 26 detik yang lalu

26 detik yang lalu

0 Views

Tradisi Meugang jelang puasa Ramadhan di Aceh.

SEBAGAI mahasiswa rantau, saya selalu merindukan momen-momen khas di kampung halaman, terutama ketika menjelang bulan Ramadhan. Salah satu tradisi yang paling saya nantikan adalah Meugang, sebuah budaya yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Aceh.

Sayangnya, tahun ini saya tidak bisa pulang, sehingga hanya bisa mengenang dan mengikuti tradisi ini dari kejauhan.

Di Aceh, Meugang biasanya berlangsung satu atau dua hari sebelum Ramadhan. Pagi-pagi sekali, pasar tradisional sudah ramai oleh warga yang membeli daging sapi atau kambing. Harga daging memang naik menjelang Meugang, tetapi hal ini tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk tetap menjalankan tradisi ini.

Setelah daging dibeli, keluarga akan berkumpul di rumah untuk memasak bersama. Berbagai hidangan khas seperti rendang, dan sop daging memenuhi meja makan. Kegiatan ini bukan hanya soal menikmati makanan, tetapi juga menjadi ajang silaturahmi dengan sanak saudara dan tetangga. mereka yang mampu juga berbagi daging kepada yang kurang mampu, sehingga semua orang bisa merasakan kebahagiaan Meugang.

Baca Juga: Rajin One Day One Juz, Kebagian Harga Nilam Tertinggi

Bagi mahasiswa yang merantau seperti saya, tidak bisa pulang saat Meugang memang terasa berat. Suasana pasar yang ramai, aroma masakan khas, serta momen makan bersama keluarga terasa begitu dirindukan. Namun, meski jauh dari kampung halaman, saya dan teman-teman kost merayakan Meugang bersama dengan ibu kost kami. Kami memasak bersama di kost, dan melakukan videocall dengan keluarga di rumah.

Meskipun suasananya tidak sama persis seperti di kampung, setidaknya cara ini bisa sedikit mengobati kerinduan dan tetap menjaga semangat tradisi. Setelah Meugang, suasana Ramadhan semakin terasa dengan pelaksanaan salat tarawih pertama. Di kampung, masjid-masjid dipenuhi oleh jamaah yang ingin memulai ibadah Ramadhan dengan penuh semangat. Di perantauan, saya dan teman-teman  mencari masjid terdekat untuk ikut merasakan kebersamaan tarawih.

Banyak hal yang terasa berbeda di kampung saya biasanya pergi ke masjid bersama keluarga, sementara di sini saya bersama teman-teman perantauan. Namun, suasana kebersamaan tetap terasa, karena Ramadhan adalah bulan yang selalu membawa kehangatan, di mana pun kita berada. [Nailatul Amalia]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Makmeugang Ramadhan, Rindu Masakan Ibu

Rekomendasi untuk Anda