Jakarta, MINA – Pengamat politik internasional Arya Sandhiyudha menanggapi ketegangan antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dan Presiden Prancis Emmanuel Macron
Direktur Eksekutif The Indonesian Democracy Initiative (TIDI) itu mengatakan kepada MINA, Senin (26/10), kecaman keras dari Erdoğan ke Macron: Macron’un, zihinsel noktada bir tedaviye ihtiyacı var! bisa kita pahami, mengingat efek Islamofobia memang bisa sangat meluas.
Pemerintah Prancis sempat memajang kartun kontroversial yang sempat heboh karena dianggap menghina Nabi Muhammad SAW di beberapa kantor pemerintahan. Begitupun pernyataan sentimen SARA Islamofobia dari pejabat pemerintahan terkait pakaian dan makanan yang berdasarkan keyakinan keagamaan tertentu.
“Di tengah iklim multikulturalisme, liberalisme, dan kebebasan di Eropa, tentu saja Erdoğan layak mengecam Macron, karena masih saja mempertahankan praktik sekulerisme asertif yang anti, agresif, dan represif terhadap ekspresi keyakinan keagamaan di ruang publik,” kata Arya.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Arya yang mendapatkan gelar Doktor bidang Hubungan Internasional dari İstanbul University, Turki mengatakan, dalam persoalan ini dia melihat relevansi teorisasi Ahmet T. Kuru (2007) yang pernah menganalisa dua pola sekulerisme di beberapa negara, yaitu sekulerisme asertif dan sekulerisme pasif. Pola sekulerisme asertif memang selalu memancing benturan antar peradaban.
Dia menyebutkan, Prancis adalah salah satu negara yang dinilai masih mempraktikkan sekulerisme asertif (Assertive Secularism) yang bersikap agresif terhadap ekspresi keyakinan keagamaan di ranah publik.
Sayangnya, meskipun sudah terbukti pendekatan itu mengundang potensi benturan peradaban, kontroversi, dan kecaman, Macron masih mempertahankan pendekatan tersebut.
Turki, menurut penjelasan Arya, sebenarnya juga pernah menerapkan sekulerisme asertif. Akan tetapi, sejak masa Erdoğan sudah beralih menjadi sekulerisme pasif (Passive Secularism) yang dalam studi AT Kuru lebih dekat kepada contoh cara Amerika Serikat dalam memberikan ruang kebhinekaan, multikulturalisme dalam ekspresi praktik keyakinan keagamaan di ranah publik.(L/R1/P1)
Baca Juga: Turkiye Tolak Wilayah Udaranya Dilalui Pesawat Presiden Israel
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Setelah 40 Tahun Dipenjara Prancis, Revolusioner Lebanon Akan Bebas