Jakarta, 12 Shafar 1437/24 November 2015 (MINA) – Pengamat kebijakan internasional dari Par Indonesia Strategic Research, Jakarta, Guspiabri Sumowigeno, mengatakan Indonesia perlu mengajukan skema exit parsial sementara maupun permanen dari Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk menjadi bagian cetak biru MEA.
“Kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) bukan barang sakral. Mengingat cetak biru MEA masih belum 100 persen terbentuk,” ungkapnya di Jakarta, Selasa (24/11), seperti dalam pernyataan yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Menurut dia hal ini wajar karena kerangka integrasi ekonomi yang demikian dalam dan luas seperti Uni Eropa juga memiliki opsi exit bagi setiap negara peserta. Apapun bentuknya MEA hanyalah kesepakatan politik antarnegara yang pasti bisa dibatalkan bila dipandang perlu oleh para pihak di dalamnya.
“Dengan memasukkan mekanisme exit dalam cetak biru MEA, Indonesia bisa melakukan evaluasi setiap tahun dan sekiranya ada sektor yang mengalami kemunduran hebat,” tandasnya.
Baca Juga: Cinta dan Perjuangan Pembebasan Masjid Al-Aqsa Harus Didasari Keilmuan
Untuk itu ia meminta pemerintah agar segera merancang langkah renegosiasi atau bahkan exit dari kerangka kesepakatan MEA secara parsial, baik untuk sementara waktu maupun permanen. Jika semua sektor terpuruk, tentu exit permanen harus menjadi opsi nasional.
Ia berharap satgas pengawas pelaksanaan MEA perlu dibentuk Presiden dengan kewenangan memonitor dan merekomendasikan respon. Pejabat yang merekomendasikan dan memutuskan kebijakan untuk menyertakan sektor yang kemudian terpuruk tersebut dalam kerangka MEA, perlu diperiksa oleh panel etik profesi PNS dan dimintai pertanggungjawaban.
“Tak ada seorangpun pejabat dan mantan pejabat perancang rekomendasi dan pengambil kebijakan dalam kerangka MEA yang boleh lepas dari tanggungjawab profesional maupun politik,” ujarnya.
Dikatakannya negara lain bisa tertarik untuk mendukung opsi exit karena MEA akan disaingi oleh kerjasama ekonomi Trans Pacific Partnership (TPP), rezim yang diinisiasi Amerika Serikat (AS).
Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal
TPP awalnya beranggotakan AS, Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chili, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, dan Vietnam.
Belakangan Filipina, Thailand, dan Indonesia juga menyatakan sinyal ingin bergabung dengan TPP. Tak lama lagi, tujuh dari 10 negara ASEAN, yaitu Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Vietnam, Filipina, Thailand, dan Indonesia bergabung dengan TPP.
Akibatnya interaksi ekonomi antar tujuh negara anggota MEA menjadi tumpang tindih dengan interaksi sebagai anggota TPP. Hubungan ekonomi antara ketujuh negara ASEAN itu akan direpotkan oleh regulasi yang berbeda antara MEA dan TPP. Jika skema TPP lebih menguntungkan, skema MEA pasti akan ditinggalkan.
“Jadi opsi exit memang perlu ada,” tegasnya.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Lebih lanjut, Guspiabri mengatakan TPP yang merupakan inisiatif Amerika Serikat, juga sengaja tidak menyertakan Cina. Padahal Beijing adalah partner dagang terbesar Indonesia. Kepesertaan Indonesia di TPP juga membutuhkan banyak energi diplomasi dan promosi.
“Apakah ada anggaran tambahan untuk itu,” tanyanya.
MEA yang berlaku 1 Januari 2016, merupakan puncak prestasi kerjasama ekonomi ASEAN. Namun, tak ada anak tangga lebih tinggi untuk didaki, yang ada adalah jalan datar atau menurun karena hadirnya TPP.
“Kalau kecenderungannya ke arah sana, untuk apa lagi setiap instansi Pemerintah RI mengibarkan bendera ASEAN sama tinggi di samping bendera Merah-Putih,” pungkasnya. (T/P022/R05)
Baca Juga: Prof Abd Fattah: Pembebasan Al-Aqsa Perlu Langkah Jelas
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina