Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengaruh Shaum Dalam Membangun Kepribadian

Redaksi Editor : Zaenal Muttaqin - 10 menit yang lalu

10 menit yang lalu

0 Views

KH. Abul Hidayat Saerodjie.

Oleh KH. Abul Hidayat Saerodjie

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة [۲]: ١٨٣)

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu shaum (berpuasa) sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah : 183)

Baca Juga: Kaum Muslimin Saatnya Berperan Bukan Baperan

Penjelasan ayat tersebut pada kalimat “telah diwajibkan atas kamu berpuasa” tidak menggunakan kata furida atau wujiba, tetapi menggunakan kata kutiba dalam arti an naqsyu ‘ala al hajarah. mengukir di atas batu.

Dengan kalimat tersebut dimaksud agar shaum betul-betul membekas dalam jiwa yang pengaruhnya mampu mengukir karakter atau kepribadian orang yang berpuasa.

Shaum juga berarti al imsaaku artinya menahan diri atau pengendalian diri dari perkara yang tidak terpuji. Orang yang berpuasa adalah orang yang terlatih dalam hal pengendalian diri, matang dalam berpikir, bijak dan hati-hati dalam bertindak, tidak ‘grasa-grusu’.

“Kama kutiba ‘alalladzina min qoblikum” seperti yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, artinya puasa tidak bisa lepas dari manusia. Baik manusia dulu maupun manusia sekarang bahkan manusia akan datang.

Baca Juga: Pesan Tabligh Akbar 1446H, Sambut Ramadhan dengan Kesucian Hati

Jika ingin tetap eksis mempertahankan dirinya dan terangkat martabatnya sebagai manusia yang mulia di sisi Allah, maka harus menjalani prosesi kematangan diri yang disebut shaum atau puasa.

La’allakum tattaqun agar kamu bertaqwa, artinya shaum atau puasa yang benar akan melahirkan manusia taqwa, suatu kedudukan derajat tertinggi bagi manusia di sisi Allah.

Sebaliknya, shaum yang hanya dilakukan secara tradisi, sekedar menggugurkan kewajiban dengan menahan diri dari tidak makan dan tidak minum pada siang hari, tetapi tidak mengindahkan kaifiyatus shaum dengan benar maka shaum-nya sia-sisa. Dan itu yang tidak dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sayang sekali jika shaum yang kita lakukan setiap tahun menahan lapar dan dahaga di siang hari, ngantuk karena kurang tidur di malam hari, lelah dan capek satu bulan lamanya kalau hanya terjebak pada ritual tanpa makna. Ceremonial tanpa mendapatkan hikmah dan arti apa-apa.

Baca Juga: Peran Strategis Keluarga dalam Pengembangan Literasi Umat Menuju Masyarakat Madani

Sebagaimana diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah dan Ath Tabrani dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

رُبَّ صَا ئِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِياَمِهِ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ. الحديث رواه إبن حذيمه والطبرانى عن ابن عمر

Artinya : “Beberapa dari banyak orang yang berpuasa hasil yang diperoleh dari puasanya hanya lapar dan dahaga saja. Dan beberapa banyak dari orang yang shalat malam hasil yang diperoleh hanya berjaga malam saja.”

Adabiyah Shaum

Baca Juga: Kejahatan Zionis di Era Digital

Sebelum membahas adabiyah shaum ada baiknya lebih dulu kita mengetahui definisi

shaum, seperti yang disimpulkan oleh para Ulama Syara’ sebagai berikut :

ألْمْْسَاكُ عَنِ اْلأكْلِ وَالشُّرْبِ وَغَشَيَانِ النِ’سَاءِ مِنَ اْلفَجْرِ اِلىَ الْمَغْرِبِ إِحْتِسَابًا لِِله وَإعْدَادًا لِلنَّفْسِ وَتَهْيِئَةً لَهَا لِتَقْوَى الله بِالْمُرَا قَبَةِ وَتَرْبِيَةِ اْلِارَادَةِ

Artinya : ”Shaum yaitu menahan diri dari makan, minum dan menggauli istri, dari waktu fajar hingga maghrib, karena menghadap akan Allah (ikhlas hanya karena Allah semata-mata) dan untuk mempersiapkan diri menjadi orang yang bertaqwa kepada Nya. Dengan jalan memperhatikan Allah dan mendidik kehendak.” (Tafsir Al Manar 11 : 157)

Baca Juga: Menjaga Kesehatan Saat Menghadiri Tabligh Akbar: Ini 7 Kiatnya

Dengan definisi shaum tersebut diatas, kita dapat mengambil beberapa kesimpulan antara lain :

Shaum tidak hanya menahan diri dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan Shaum. Tetapi lebih jauh dari itu shaum harus dilakukan karena Allah dan hanya dipersembahkan hanya kepada Allah dengan mengharap keridhoan Nya semata-mata.

Melatih jiwa raga dengan shaum agar menjadi orang yang bertaqwa dengan cara mendekatkan diri dan memperhatikan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang hamba dihadapan Sang Pencipta Allah Rabbul Jalali wal ikram, yang telah memelihara serta menjamin semua keperluan hidup kita.

Mendidik kehendak yang selalu bergolak mengikuti irama selera yang tak ada habis- habisnya, memilih mana yang yang harus diikuti dan mana yang harus di tinggalkan. Sehingga keluar dari bulan Ramadhan pribadi-pribadi yang matang secara emosional dan spiritual.

Baca Juga: Silaturahim Membuka Pintu Keberkahan

Untuk melakukan shaum yang berkualitas , perlu memperhatikan adabiyah shaum antara lain sebagai berikut :

Pertama, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat merusak shaum, seperti mengumpat, menggunjing, mencela, memaki, dan sebagainya.

Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَاْلجَهْلَ فَلَيْسَ لِِلِ حَاجَةً فِى اَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ . الحديث رواه البخارى

Baca Juga: Ini Dia Para Pembicara Tabligh Akbar dari Luar Negeri

“Barang siapa tidak meninggalkan perkataan ,’zur’ (dusta, umpat, fitnah, dan perkataan yang menimbulkan murka Allah, permusuhan) dan tidak meninggalkan pekerjaan itu serta sikap jahil, maka tak ada hajat bagi Allah ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)

Kedua, tidak rakus dengan memperbanyak berbagai macam makanan dan minuman dikala berbuka dan bersahur.

Ketiga, tidak banyak tidur di siang hari, tetap tetap beraktivitas dan meningkatkan ibadah dan amal sholeh.

Keempat, menahan hati dan pikiran dari angan-angan dan keinginan-keinginan yang rendah apalagi tidak terpuji.

Baca Juga: Panitia Nyatakan Siap Gelar Tabligh Akbar, Layani Jamaah dengan Sepenuh Hati

Kelima, mentafakuri dahsyatnya lapar dan dahaga serta sengsaranya hari kiamat yang pasti akan dialami oleh setiap manusia.

Keenam, menumbuhkan kepekaan iman, ketajaman penglihatan mata hati, dan rasa harap-harap cemas apakah shaum kita diterima atau ditolak.

Atsaarus Shiyam (Pengaruh Puasa)

Jika puasa kita lakukan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasulullah maka puasa akan berpengaruh dan 5ember sibghah terhadap karakter dan mampu mewarnai sikap dan prilaku :

Baca Juga: Pentingnya Tabligh Akbar dalam Dakwah Islam

Pertama : Dengan Imanan wahtisaban menciptakan iklim kondusif bagi hubungan seorang hamba kepada Allah dan hubungan social yang harmonis. Dan ini menjadi sumber segala keutamaan dan kemaslahatan. Keikhlasan dan kejujuran hanya muncul bila seseorang mampu menghubungkan jiwanya kepada Allah sehingga dimanapun dia selalu merasa dikontrol, diawasi Allah SWT.

Karena itulah puasa sarat akan makna yang berdimensi nilai spiritual dan social yang sangat tinggi, mulia, dan suci. Al-Quran menyebut sebagai Hablum minallah wahablum minannas.

Dengan dua hal tersebut manusia terangkat harkat dan martabat diri dan terjaga dari kehinaan dimata Allah SWT.(QS.Ali Imran ;112)

Karena manusia mulia disebabkan iman dan taqwanya. Manusia berkualitas karena amal baik terhadap sesamanya.

Baca Juga: Melek Literasi dalam Jama’ah: Fondasi Kuat untuk Kemajuan Umat

إنَّ اَلله لَايَنْظُرُ اِلىَ صُوَرِكُمْ وَاَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إلَى قُلُوْبِكُمْ وَأعْمَلِكُمْ. الحديث رواه البخارى ومسلم

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan hartamu, tetapi Allah akan melihat pada hati dan amalmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua : Puasa dengan karakternya akan menyentuh relung hait nurani, menggugah rasa cinta kasih terhadap sesama dan membangkitkan ketulusan jiwa yang melahirkan sikap itsariyah atau altruisme yaitu sikap tenggang rasa, kepekaan social dalam kebersamaan serta rela berkorban untuk perduli dan kebahagiaan orang lain dengan sympati dan empati. Dan hebatnya lagi dilakukan atas dasar mahabbah lillahi ta’ala tanpa pamrih.

Maka bisa kita saksikan betapa rahimnya para shaimin dan shaimah di bulan Ramadhan. Bertebaran shadaqah, di masjid-masjid, surau-surau, hotel-hotel, rumah-rumah, dan lain-lain.

Istilah buka bersama menjadi marak di mana-mana. Ibu-ibu dengan wajah sumringah, senyum gembira jika dia bisa menyediakan ta’jil makanan untuk buka bersama.

Anak-anak yaitm piatu, fakir miskin bisa sejenak melepas derita dan terhibur. Sayang hal ini terjadi selepas Ramadhan menjadi sepi kembali. Astaghfirullahaladzim. Kenapa? Why? Limadza? Ini yang harus kita renungkan dan harus kita jawab!

Ketiga : Puasa menurut penelitian para psikolog dan kenyataan membuktikan bahwa puasa mampu mengembangkan superego (nafsul muthmainnah). Kematangan emosional dan pengendalian diri dalam segala keadaan baik senang maupun susah, lapang maupun sempit tetap stabil.

Tidak meledak-ledak seperti petasan atau merajuk-rajuk gelap mata dalam keputus asaan dari rahmat Allah. Dan kematangan superego atau nafsul muthmainnah ini menjadi produk puasa inilah yang mampu mengikis emosional yang destruktif, egoisme, dan arogan.

Sayang seribu kali sayang keutamaan dari karakter Ramadhan pun hanya indah di bulan Ramadhan. Sesudah Ramadhan bagai indahnya pelangi di langit biru dengan warna-warni yang mengagumkan tetapi kemudian perlahan-lahan pudar bersama berlalunya Ramadhan. Astaghfirullah..

Keempat : Puasa yang benar dengan segala adabiyah-nya ini akan memberikan terapi terhadap berbagai macam penyakit social. Seperti akibat buruk dari falsafah sekuler, liberalisme, hedonisme, eksistensialisme dari barat yang di ekspor ke berbagai Negara muslim termasuk Indonesia sehingga umat Islam meninggalkan syariat agamanya dan cendrung menjadi penganut mereka yang permissire soecity, masyarakat bebas nilai jor-joran semau ‘gue.’

Kita merasakan betul keprihatinan berjangkitnya penyakit social yang sudah menjadi wabah bahkan epidemi, seperti korupsi, manipulasi, prostitusi, aborsi, mutilasi, dan ekstasi. Subhanallah!

Ini semua adalah produk dari manusia yang jiwanya sakit, nuraninya mati, karena kufur kepada Allah. Banyak orang pintar keblinger, banyak orang kaya harta miskin jiwa, banyak orang berpangkat tinggi tetapi martabatnya rendah. Banyak orang pandai bersolek mempercantik diri menjadi tampan dan cantik tapi hatinya busuk dan keji. Naudzubillahi mindzalik.

Upaya memperbaiki keadaan seperti itu, harus diperbaiki manusianya. Manusia hanya bisa diperbaiki dengan konsep dan cara-cara yang datang dari yang menciptakan manusia yaitu Allah SWT.

Allah telah menegaskan bahwa manusia yang hidup itu punya jiwa, nafsu dan syahwat. Sedang nafsu dan syahwat itu hanya bisa dikendalikan oleh shaum atau puasa bukan dengan yang lain.

Jadi, dri sedikit uraian di atas kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa Shaum atau puasa adalah ibadah khusus yang berdimensi spiritual dengan ibdatur sirri mampu menciptakan iklim kondusif bagi tumbuhnya iman dan ihsan yang menjadi inti dan sumber segala kebajikan dan keutamaan manusia. Membangun karakter dan kepribadian mukmin sejati yang bertanggung jawab terhadap segala ucapan dan amal perbuatannya di hadapan Allah dan manusia.

Theocentris Humanisme adalah manusia yang motivasi dan orientasi hidupnya berangkat karena Allah dan dipersembahkan hanya kepada Allah. Santun dalam perilaku terhadap sesama. Di dalam hatinya ter sibghah dan melekat tanda tanya besar “Apa yang harus saya persembahkan kepada Allah dan apa yang bisa saya berikan kepada sesama?”

Hidup itu memberi, bukan mereguk dan meraup apa yang ada dengan keserakahan. Seperti tamtsil sebuah pohon. (QS. Al-Fath : 29 dan QS. Ibrahim : 24–25).

Akarnya menghujam ke bumi, teguh pendirian di atas aqidah Laa ilaaha illallah. Batangnya tegak di atas aqidah, tabah dan tegar menghadapi problem dan masalah. Daunnya rimbun, indah, sejuk dan menyejukkan. Siapa pun dekat dan berlindung di bawah naungan akhlak pribadinya akan merasakan anggun, aman dan nyaman.

Memberi buah setiap musim tanpa diminta. Dari pribadinya mengalir kebajikan dan keutamaan tiada henti sepanjang hayat di kandung badan. Inilah jati diri rijatul mu’minin yang dicelup oleh celupan Ramadhan yang diberkati Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sami’na wa atha’na terhadap segala printah dan titah Allah (QS.An-Nur ;51). Tulus dan ikhlas mengabdi tanpa pamrih (QS.Al Bayyinah ;5). Menempatkan sekala prioritas Allah, Rasul dan jihad diatas segalanya (QS.At Taubah ;24). Hidup terpimpin, taat, tertib dan disiplin dalam satu kepemimpinan yang mengikuti pola kenabian (QS.Al-Maidah 55-56 /An-Nisa ;59)

Bisakah kita mendapatkan fadhilah Ramadhan pada tahun ini? Tergantung bagaimana kita

memanfaatkan moment penting bulan mulia dan suci yang penuh barokah ini. Wallahu a’lam.[]

Jakarta, Akhir Sya’ban 1446H/ Februari 2026M.

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Rekomendasi untuk Anda