Pengepungan Aleppo Jadi Ikon Bahaya Bagi Rakyat Suriah

Warga Suriah di Aleppo berdiri di atas reruntuhan rumahnya. (Foto: Pablo Tosco/Narrative.ly)
Warga di berdiri di atas reruntuhan rumahnya. (Foto: Pablo Tosco/Narrative.ly)

Oleh Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Penduduk Aleppo tahu kondisi sulit itu akan datang, mereka telah melihat itu sebelumnya. Dari Madaya hingga Yarmouk, dari Fua hingga Kefraya, adegan dan cerita tentang pengepungan di Suriah telah identik sebagai kebiadaban konflik.

Pengepungan menimbulkan kelaparan seiring hujan bom barel, senjata ikonik dari Perang Saudara Suriah. Itu yang terjadi saat mendekati ulang tahun kelima perang Suriah pada pertengahan Maret nanti.

Organisasi Mercy Corps David Evans yang menjadi salah satu penyuplai bantuan terbesar kepada warga sipil di Suriah, mengeluarkan pernyataan pekan lalu yang mengatakan bahwa “sepertinya pengepungan Aleppo segera dimulai”.

Makanan, air, bahan bakar dan obat-obatan yang sedang disuplai melalui satu-satunya rute yang terbuka sejauh 6,5 km. Sementara kelompok oposisi terlihat gugup di lapangan ketika pasukan rezim yang dipimpin Bashar Al-Assad kian dekat ke dalam kota.

Jika Aleppo sepenuhnya dikepung, maka sebanyak 300.000 orang yang masih tinggal di kota, akan terputus dari bantuan kemanusiaan.

Aleppo sebagai kota terbesar Suriah, tiba-tiba menjadi sandera yang bagus dan bahan tawaran untuk negosiasi tentang akses kemanusiaan, menyerahnya oposisi atau pergi dari Aleppo.

Hukum internasional telah lama meninggalkan Suriah dan negara bukannya digantikan oleh politik dan keadilan, tetapi kekerasan yang tak terkendali.

Sementara itu, puluhan ribu warga Suriah asal Aleppo berkumpul di perbatasan Turki, menunggu dibukanya akses oleh Turki yang sudah menyatakan bahwa kapasitas penampungan pengungi telah penuh.

Meski PBB telah berhenti menghitung jumlah kematian di Suriah, tapi lembaga-lembaga lain terus mencatat. Kini telah terhimpun data bahwa sebanyak 11,5 persen dari populasi warga Suriah sebelumnya telah tewas dan terluka.

Sebelum tahun 2011, seorang turis bisa melakukan perjalanan ke salah satu istana megah Suriah, Krak des Chevaliers, Benteng Salah Ed-Din atau Benteng Aleppo, dan melihat bagaimana benteng ini berfungsi di masa perang dan pengaruhnya yang selalu siap terhadap pengepungan. Ada lumbung besar, tangki air sebesar danau, daging asin dan stok pangan yang dirancang untuk menjaga warga tetap aman di dalam dan aman dari musuh di luar dinding.

Hari ini, Benteng Aleppo merupakan rumah bagi penembak jitu yang selalu mengintip melalui celah benteng. Di kota bawah, warga sipil tidak memiliki dinding, dan mereka tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah bom barel atau artileri menghancurkan dari atas.

Di kastil Suriah abad pertengahan, kita mengandalkan sejarawan untuk memberitahukan kepada kita apa yang terjadi di dalam penjara. Namun hari ini, PBB memiliki gambaran yang jauh lebih baik.

Diketahui dari dokumen yang dirilis, tahanan di penjara rezim dipaksa minum air toilet, mati karena kelaparan atau sering mendapat pemukulan, infeksi yang tidak diobati menyebabkan memperlambat kematian dan orang-orang dengan penyakit kronis yang akhirnya menyerah kepada kematian setelah ditolak diobati oleh otoritas penjara rezim.

Benteng Aleppo. (Foto: dok. Looklex.com)
Benteng Aleppo. (Foto: dok. Looklex.com)

Catatan kematian yang ditunjukkan kepada anggota keluarga tidak sesuai dengan penyebab resmi kematian. Penyebab yang paling sering disajikan adalah karena serangan jantung, padahal kondisi jenasah sendiri begitu mengerikan.

Semua orang dapat menduga dan tahu apa yang terjadi di penjara, sama seperti semua orang tahu konsekuensi jika terjadi pengepungan.

PBB mengatakan, “berdasarkan kebijakan sebuah negara yang menimbulkan sejumlah kepunahan manusia, maka disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan”.

Mantan Menteri Luar Negeri Inggris David Miliband bersimpati dengan “neraka” yang dihadapi warga di Aleppo. Awal pekan ini, mantan Menteri Luar Negeri Perancis Laurent Fabius mengatakan, Barat tidak memiliki “komitmen yang sangat kuat” terhadap konflik di Suriah.

Kita menghadapi prospek Suriah tanpa rakyat Suriah. Sudah hampir 50 persen dari seluruh negeri telah dipaksa meninggalkan rumah mereka dan harapan hidup telah menurun dari 70 persen pada 2011 menjadi 55 persen di 2015.

Padahal banyak pengepungan yang terjadi di Suriah tersembunyi di bawah kabut perang. Pengepungan di Aleppo akan menjadi ikon dari bahaya yang dihadapi warga sipil dalam perang ini, karena akan menjadi penentu terhadap kesimpulan militer. Sementara harapan bertumpu pada rencana Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan Rusia, John Kerry-Sergei Lavrov di atas kertas. (P001/P4)

Sumber: tulisan opini James Denselow di Al Jazeera. Ia adalah seorang penulis politik Timur Tengah dan peneliti di Asosiasi Penelitian Pusat Kebijakan Luar Negeri.

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.