Oleh: K.H. Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 24,
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ/ التوبة [٩]: ٢٤.
Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.S. At-Taubah [9]: 24)
Baca Juga: Ahlul Qur’an, Pelita Umat dalam Cahaya Ilahi
Diriwayatkan oleh Al Faryabi dari Ibnu Sirrin dan Abdur Razaq dari Asy Sya’bi bahwa Ali bin Abi Thalib datang ke Makkah dengan berkata kepada orang-orang yang masih di Makkah dengan menyebut namanya satu persatu, “Tidakkah kalian ingin berhijrah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Madinah?
Mereka menjawab, “Kami akan tetap di sini bersama saudara-saudara, teman-teman dan tempat tinggal kami”. Maka turunlah ayat di atas yang menegaskan bahwa orang-orang yang lebih mencintai sanak saudara, keluarga, kekayaan dan tempat tinggal dari pada mencintai Allah, Rasul-Nya dan Jihad di jalan Allah diancam dengan siksa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ayat ini merupakan peringatan Allah tentang kemungkinan sikap negatif yang akan terjadi pada orang-orang yang beriman yaitu lebih mencintai hal-hal yang bersifat duniawi dari pada mencintai Allah, Rasul dan Jihad di jalan-Nya. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang tidak mau hijrah karena mereka lebih mencintai sanak saudara, keluarga dan harta.
Jadi lebih mencintai hal-hal yang bersifat duniawi dari pada mencintai Allah, Rasul, dan Jihad di jalan-Nya dapat saja terjadi pada orang-orang yang beriman dapat juga tidak. Sebagaimana yang ditunjuk oleh “adat syarath” berupa ان (jika) pada ayat di atas.
Baca Juga: Menikah Itu Ibadah, Bukan Ajang Pamer Mahar
Mencintai hal-hal yang bersifat duniawi adalah sifat manusia dan hal ini tidak dilarang oleh syari’ah selama tidak melebihi kecintaan kepada Allah, Rasul dan Jihad di jalan-Nya.
Cinta didefinisikan oleh Al-Raghib Al-Asfiharsi sebagai keinginan terhadap sesuatu yang dipandang atau dianggap membawa kebaikan.
Cinta itu ada tiga macam, yaitu:
- Cinta karena ingin mendapatkan kenikmatan seperti, mencintai lawan jenis, harta, makanan, dan sebagainya.
- Cinta karena ingin mendapatkan manfaat, seperti mencintai ilmu, kewewenangan, bantuan dan sebagainya.
- Cinta karena ingin mendapatkan kemuliaan mencintai ulama, jabatan, orang tua dan sebagainya.
Pada ayat di atas Allah menyebutkan 8 (delapan) hal yang sangat dicintai manusia.
Baca Juga: Korupsi, Dosa dan Bahayanya dalam Islam
Pertama, cinta kepada bapak termasuk juga ibu. Karena anak adalah “bagian” dari ayahnya. Dari bapaknya ia mewarisi prilakunya, sifatnya, tabiatnya bahkan bentuk tubuhnya. Seorang anak akan bangga menyebut bapak-ibunya dan dapat membela bapak-ibunya adalah bagian dari kebanggan jiwa manusia.
Kedua, cinta kepada anak. Anak adalah pelanjut keturunan, buah hati dan penyejuk jiwa. Orang tua akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya dan berharap agar anaknya dapat “lebih” dari dirinya bahkan rela menderita dan berkorban apapun demi anaknya. Keberhasilan anak akan mengangkat martabat orang tua mereka, wajarlah apabila orang tua mencintai anak-anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا/ الكهف [١٨]: ٤٦.
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Q.S. Al-Kahfi: 46)
Baca Juga: Doa, Usaha, dan Keajaiban: Rahasia Hidup Berkah
Ketiga, cinta kepada saudara. Kakak mencintai adik dan adik mencintai kakak. Apabila ada saudara diganggu maka bergeraklah saudaranya untuk membelanya. Kecintaan kepada saudara ini timbul karena mereka berasal dari satu sumber yaitu satu kandung. Oleh karena itu apabila orang tua meninggal maka saudara yang lebih besar akan mengambil oper kerja orang tua. Kadang-kadang ketika salah satu saudara meninggal dan meninggalkan anak maka saudaranya yang lain akan menanggungnya dan menganggapnya sebagai anak sendiri.
Keempat, cinta kepada isteri. Mencintai isteri akan membuat manusia menjadi tenang dan merupakan dasar berlanjutnya keturunan. Mencintai isteri merupakan cinta peringkat kedua setelah cinta kepada anak. Inilah yang digambarkan Allah dalam firman-Nya. (Q.S. Abasa: 34-36). Mencintai isteri akan terus berlanjut sepanjang hidup manusia walaupun berbeda latar belakang. Di waktu muda karena kecantikan, di waktu telah ada anak karena isteri sebagai kawan dalam mengasuh anak. Di waktu telah tua jadilah isteri sebagai teman hidup yang setia yang selalu mendampinginya.
Kelima, cinta kepada keluarga. Kata “asyirah” asal artinya adalah pergaulan yang kemudian digunakan untuk cabang keturunan keluarga senenek sekakek dan seibu sebapak yang berkembang menjadi sepupu dan sekemenakan yang dekat dan yang jauh. Dengan keluarga ini orang bergaul dan menyebabkan mereka tidak merasa canggung dalam hidup di dunia.
Keenam, cinta kepada harta yang diusahakan. Mencintai harta hasil usaha sendiri adalah lebih kuat dari pada mencintai harta yang didapat dari hasil jerih payah orang lain, seperti warisan, hibah, hadiah dan sebagianya. Karena orang mendapatkan harta dari usaha sendiri merasakan bagaimana susahnya mendapatkan harta tersebut. Oleh karena itu ketika harta itu sudah berada di tangannya, dia akan berusaha sekuat tenaga agar benda itu tidak lepas dari padanya.
Baca Juga: Mengapa Islam Menekankan Hidup Berjama’ah?
Ketujuh, cinta kepada perniagaan yang ditakuti kerugiannya. Setiap orang yang berniaga akan takut perniagaannya mundur atau akan rugi dan selalu berharap untuk mendapatkan keuntungan. Dengan keuntungan itu manusia mengambil bekal hidup. Oleh karena itu orang yang berniaga akan menumpahkan seluruh cintanya kepada perniagaannya bahkan terkadang melupakan kepada yang lain yang dianggap akan mengganggu kelancaran perniagaannya.
Kedelapan, cinta kepada tempat tinggal yang disukai. Kata “masaakin” adalah bentuk jama’ dari “maskan” serumpun dengan kata “sakinah” yang berarti tentram. Untuk mewujudkan ketentraman inilah orang membangun rumah. Setelah seseorang sibuk beraktivitas di luar rumah, dia berharap ketika pulang ke rumah dapat beristirahat dengan tenang dan tentram bersama-sama keluarganya. Rumah yang tentram inilah yang disukai oleh manusia sehingga terkadang berat untuk meninggalkannya.
Kedelapan hal tersebut adalah sebagian nikmat Allah, tempat hati terpaut dan tempat cinta tertumpah. Tetapi ayat di atas memberi peringatan, walaupun yang delapan itu sangat dicintai, janganlah lupa bahwa semua itu adalah nikmat Allah. Semua itu adalah nikmat dari pokok pangkal cinta yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedelapan hal dapat hilang dari kita atau kita lebih dahulu meninggalkannya. Bapak, ibu, anak-anak, saudara, isteri dan keluarga dapat meninggal lebih dahulu dari kita atau kita meninggal lebih dahulu dari mereka. Harta yang kita usahakan dapat hilang sewaktu-waktu. Perdagangan dapat rugi karena pasaran sepi atau tidak laku. Rumah dapat runtuh, terbakar, atau terjual.
Baca Juga: Yahudi Memusuhi Semua Umat Manusia
Dengan demikian kalau kepada semuanya cinta kita terhambat, kita akan sengasara dan kita akan kehilangan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu beribadah untuk memperoleh ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu Allah mengingatkan kepada kita, janganlah kita mencintai apa yang akan meninggalkan kita dan apa yang akan kita tinggalkan tetapi hendaklah kita mencintai yang selalu dekat dengan kita dan tidak akan meninggalkan yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Cinta kepada Allah akan membawa cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah bukti cinta Allah kepada makhluk-Nya. Dengan perantara Rasulullah, Allah menyampaikan syari’at-Nya untuk kemaslahatan umat manusia dan puncak syari’at-Nya adalah jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah).
Kata jihad arti asalnya adalah bersungguh-sungguh dan bersusah payah. Pada ayat di atas kata jihad disebut dengan menggunakan isim nakirah (kata benda yang masih umum). Hal ini mengisyaratkan bahwa berjuang di jalan Allah dapat ditempuh melalui berbagai cara. Setiap usaha yang sungguh-sungguh dan bertujuan menegakkan dien Allah itulah jihad fi sabilillah.
Selanjutnya Allah mengancam bahwa apabila delapan perkara ini lebih kita cintai dari pada Allah, Rasul-Nya dan Jihad di jalan-Nya, maka tunggulah ketentuan Allah berupa siksaan pedih yang akan menimpa kita. Sebagaimana disyariatkan pada Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 52. Kalau siksa Allah datang, kedelapan hal yang kita cintai itu tidak akan sanggup menyelamatkan kita. Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar kita lebih mencintai Allah, Rasul-Nya dan Jihad fi sabilillah dari pada mencintai delapan hal di atas. Apabila Allah yang memerintah, pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Baca Juga: Doa-Doa Mustajab dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hadist kudsi:
وما تقرب الي عبد بشيئ أحب الي مما افترضته عليه ولا يزال عبدى يتقرب الي بالنوافل حتى احبه فإذا أحببته كنت سمعَهُ الذي يسمع به وبصرَه الذى يبصر به ويدَه التى يبطش بها ورجله التى يمشى بها وإن سألتنى لاعطيتُه ولئن استعاذنى لاعيذه وما ترددت عن شيئ انا فاعله ترددى عن نفس عبد المؤمن يكره الموت وانا اكره مسائته/ البخارى
“Dan tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari pada kewajiban yang Aku wajibkan kepadanya dan senantiasalah hamba-Ku mendekatkan diri kepada Ku dengan sunnah-sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka bila Aku mencintainya, Aku jadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, dan tangannya yang ia menyerang dengannya, dan kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia meminta kepada Ku, pasti Aku memberinya, dan jika ia meminta perlindungan kepada Ku pasti Aku melindunginya. Aku belum pernah ragu-ragu menghadapi jiwa hamba-Ku yang beriman seperti Aku menghadapi hamba-Ku yang beriman yang tidak suka mati sedang Aku tidak suka menyakitinya.” (H.R. Bukhari)
Inilah janji Allah kepada orang yang mencintai-Nya. Namun apabila kita ragu dan mencintai hal-hal yang bersifat duniawi melebihi cinta kepada Allah, maka siksa Allah pasti datang.
Baca Juga: Tausiyah Pernikahan, Keluarga Sakinah Cermin Kehidupan Berjamaah
Pada akhir ayat di atas Allah menyebutkan pokok dari ayat tersebut dengan firman-Nya, “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”.
Fasik artinya durhaka, yang menurut istilah fasik berarti keluar dari ketentuan syari’at. Pada konteks ayat ini fasik berarti tidak mempedulikan seruan Allah karena mengikuti kehendak sendiri, misalnya karena mencintai pekerjaan dia tidak mau memenuhi panggilan jihad padahal dirinya sangat diperlukan untuk keberhasilan jihad tersebut. Orang lain berjihad, dirinya sibuk dengan pekerjaannya. Takut karirnya terhambat. Inilah orang fasik yang tidak akan mendapat petunjuk Allah. Bahkan apabila sudah berada dalam petunjuk Allah tetapi karena lebih mencintai hal-hal yang bersifat duniawi dari pada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya maka petunjuk itu akan dicabut oleh Allah. Hidupnya di dunia tidak ada artinya apalagi di akhirat dia akan masuk neraka.
Ayat ini yang telah menyinari kehidupan para sahabat sehingga berhasil menegakkan dan menyebarkan syari’at Islam di muka bumi ini. Ketika datang perintah hijrah, dengan penuh ketaatan mereka tinggalkan kota Makkah berangkat ke Madinah. Mereka tinggalkan orang tua, anak, saudara bahkan isteri. Mereka tinggalkan rumah kediaman, harta benda dan perniagaan yang telah menjadi bagian hidupnya sehari-hari. Mereka berangkat ke Madinah tempat yang belum mereka kenal dan dengan masa depan yang belum tentu.
Salah seorang di antaranya adalah Shuhaib Ar-Rumi. Dia adalah orang yang kaya raya di Makkah yang asalnya miskin sebagai perantau dari Romawi. Ketika akan meninggalkan Makkah orang-orang musyrik mencegahnya dan mencercanya. Dulu engkau datang dalam keadaan miskin dan sekarang setelah engkau kaya akan pindah meninggalkan kami? Suhaib menjawab, “Wahai orang Quraisy, kalian semua tahu aku pemanah ulung. Demi Allah kalian tidak akan menyentuhku selama anak panah dan pedang ada di tanganku. Kalau lantaran harta kekayaanku kalian menghalangi aku hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, silakan kalian ambil hartaku semua.” Lalu dia berikan semua harta bendanya kepada mereka dan dia pergi ke Madinah dengan hanya membawa tubuhnya. Sesampainya di Madinah di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ia ceritakan apa yang telah terjadi, maka turunlah firman Allah (Q.S. Al-Baqarah: 207)
Baca Juga: The Power of Ikhlas
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.”
Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Untung perdaganganmu itu hai Abu Yahya. Engkau telah beruntung hai Abu Yahya.” (H.R. Ibnu Abi Hakim)
Wallahu A’lam bis Shawwab
Baca Juga: Perut adalah Sumber Penyakit: Penjelasan Hadis dan Fakta Medis
Maroji:
– Ibnu Katsir: Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim
– Al-Maraghi: Tafsir Al Maraghi
– Muhammad Abduh: Tafsir Al-Manar
– Hamka: Tafsir Al-Azhar
– Al-Raghib Al-Asfihani: Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an
– Jalaluddin As-Suyuthi: Sabab Al-Nuzul fi Asbab Al Ruzuli
(T/P06/E1)
Mi’raj News Agency (MINA)