Oleh: Emmy Abdul Alim
(Dari Salaam Gateway)
Komentar Presiden Prancis Emmanuel Macron muncul setelah pembunuhan seorang guru Prancis pada 16 Oktober 2020 yang memperlihatkan karikatur Nabi Muhammad di kelas, dengan dalih kebebasan berbicara. Tersangka pembunuh, Abdullakh Anzorov yang berusia 18 tahun, ditembak mati oleh polisi Prancis tidak lama setelahnya. Anzorov adalah seorang warga asal Chechnya yang telah tinggal di Prancis sejak 2008.
Menyusul reaksi keras dari kaum Muslim, Presiden Macron mentweet pada 26 Oktober: “Kami tidak akan menyerah, selamanya. Kami menghormati semua perbedaan dalam semangat perdamaian. Kami tidak menerima perkataan yang mendorong kebencian dan mempertahankan perdebatan yang masuk akal. Kami akan selalu berada di sisi martabat manusia dan nilai-nilai universal.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Karikatur tersebut pertama kali diterbitkan oleh surat kabar Denmark Jyllands-Posten pada bulan September 2005. Kemudian dipublikasi media-media Eropa lainnya pada awal tahun 2006, termasuk majalah satir Perancis Charlie Hebdo.
Karikatur tersebut memicu protes di kalangan Muslim di banyak negara yang mulai memboikot produk Denmark. Pemerintah juga terlibat, dengan protes diplomatik yang meningkat hingga penutupan beberapa kedutaan. Boikot barang-barang Denmark di negara-negara Islam merugikan perusahaan Denmark jutaan dolar. Antara Februari dan Juni 2006, ekspor Denmark ke Timur Tengah turun hingga setengahnya dan biaya bisnis Denmark sekitar 134 juta euro ($ 170 juta).
Perusahaan susu raksasa Arla terpaksa memasang iklan satu halaman penuh di seluruh Timur Tengah yang mengutuk karikatur karena menghina Islam. Arla kehilangan sekitar 450 juta kroner (sekitar $ 70 juta) karena boikot tahun 2006. Dampaknya berkepanjangan. Pada April 2008 perusahaan mengatakan omzetnya hanya setengah dari apa yang diharapkan untuk tahun ini.
Suratkabar Jyllands-Posten meminta maaf pada tanggal 30 Januari 2006 dengan mengatakan itu bukan niatnya untuk menyinggung.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Di Prancis, Muslim turun ke jalan pada tahun 2006 sebagai protes terhadap karikatur. Masjid Agung Paris dan Persatuan Organisasi Islam Prancis menggugat Charlie Hebdo. Setahun kemudian pengadilan Prancis membela majalah tersebut dengan mengutip kebebasan berekspresi dan mengatakan, kartun itu bukan merupakan serangan terhadap Islam secara umum.
Pada Januari 2015, 12 orang di kantor Charlie Hebdo dibunuh oleh penyerang yang diduga membalas dendam membela Nabi Muhammad. Kedua penyerang itu tewas dalam penggerebekan polisi pada saat itu, tetapi pengadilan baru bulan lalu menyidang 14 orang yang dituduh membantu mereka. Menjelang persidangan, Charlie Hebdo menerbitkan ulang karikatur tersebut.
Prancis dan Islam
“Insiden kartun” ini bukan satu-satunya yang memicu kemarahan Muslim Prancis. Misalnya, pada tahun 2004 negara melarang penggunaan jilbab di sekolah umum dan bagi pegawai negeri sipil di tempat kerja. Pada 2010, negara itu mengesahkan undang-undang yang melarang penutup wajah penuh di depan umum, yang oleh umat Islam dipandang sebagai upaya untuk mencegah wanita Muslim mengenakan penutup wajah niqab dan lainnya. Pada 2016, ada larangan burkini di tiga pantai Prancis.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Baru-baru ini, Presiden Macron pada 2 Oktober berjanji akan memberlakukan undang-undang yang lebih keras untuk menangani apa yang disebutnya “separatisme Islam” dan mempertahankan nilai-nilai sekuler. Dia mengatakan, Muslim Prancis berada dalam bahaya membentuk “masyarakat paralel” dan menggambarkan Islam sebagai agama “dalam krisis”.
“Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia. Kami tidak hanya melihatnya di negara kami, ini adalah krisis mendalam yang terkait dengan ketegangan antara bentuk-bentuk fundamentalisme, khususnya proyek-proyek keagamaan dan politik, seperti yang kami lihat di setiap wilayah di dunia, mengarah pada pengerasan yang sangat kuat, termasuk di negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam,” kata Presiden.
Dia melanjutkan dengan mengatakan, dia tidak ingin menstigmatisasi Muslim Prancis, dan Prancis sendiri telah mengecewakan komunitas imigrannya, menciptakan separatismenya sendiri dengan ghetto “kesengsaraan dan kesulitan”.
Reaksi Muslim, Bangsa Islam
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Muslim dan negara-negara Islam telah berbicara lantang sebagai tanggapan atas pembelaan Presiden Macron terhadap karikatur Nabi atas dasar kebebasan berbicara.
Pemerintah Arab Saudi pada Selasa, 27 Oktober 2020, mengatakan, pihaknya memperbarui penolakannya atas segala upaya untuk menghubungkan Islam dan terorisme dan “kecamannya terhadap kartun ofensif” Nabi. Namun, itu tidak membahas seruan untuk prancis/">boikot produk Prancis.
Sebuah protes di Bangladesh pada hari yang sama sejauh ini merupakan aksi tatap muka terbesar hingga saat ini ketika ribuan orang turun ke jalan.
#boycottfrenchproducts dan #boycottfrance tersebar di berbagai platform media sosial
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Kementerian Luar Negeri Pakistan pada Senin, 26 Oktober, memanggil Duta Besar Prancis untuk mengajukan “protes keras” setelah Perdana Menteri Imran Khan mengecam “dorongan Islamofobia” Macron.
Prancis menarik duta besarnya untuk Turki pada 25 Oktober, setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan Macron membutuhkan bantuan mental atas sikapnya terhadap Muslim. Erdogan juga mendukung boikot barang Prancis. Prancis mengatakan pada Senin bahwa pihaknya tidak merencanakan boikot timbal balik terhadap produk-produk Turki dan akan melanjutkan pembicaraan dan hubungan dengan Turki.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 23 Oktober merilis pernyataan yang mengatakan “sangat terkejut dengan wacana yang tak terduga dari politisi Prancis tertentu, yang dianggap berbahaya bagi hubungan Muslim-Prancis.”
Sekretariat Jenderal OKI mengatakan akan “selalu mengutuk praktik penistaan dan penghinaan terhadap nabi Islam, Kristen, dan Yudaisme.”
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Pasar dan toko-toko Kuwait menarik produk Prancis dari rak mereka. Ketua Persatuan Konsumen Masyarakat Koperasi mengatakan, produk tersebut dihapus sebagai tanggapan atas “penghinaan berulang” terhadap Nabi.
Supermarket Qatar mulai menghapus produk Prancis pada 24 Oktober.
Kementerian Luar Negeri Yordania pada 24 Oktober mengutuk “publikasi karikatur yang berkelanjutan” dari Nabi “dengan dalih kebebasan berekspresi”. Pengguna media sosial di negara itu telah memulai kampanye yang menyerukan prancis/">boikot produk Prancis.
Farmasi dan kosmetik
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Prancis adalah pengekspor obat terbesar kedua ke negara-negara OKI, dengan AS$ 4,4 miliar pada 2018, menurut laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2019/20 dari DinarStandard. Jerman adalah eksportir farmasi terbesar ke OKI, dengan nilai ekspor AS$ 5,1 miliar.
Prancis adalah pengekspor kosmetik terbesar ke blok OKI pada 2018, menjual sekitar $ 2,6 miliar, menurut laporan SGIE yang sama.
Total ekspor
Pada 2019, Prancis mengekspor produk senilai AS$ 555,1 miliar ke dunia, menurut data Peta Dagang ITC PBB. Sebanyak AS$ 50,31 miliar diantaranya dieskpor kepada 57 negara OKI. Itu adalah 0,96% dari ekspor negara Uni Eropa.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Negara-negara OKI membeli AS $ 1,79 triliun produk pada tahun 2019, yang membuat barang-barang Prancis mencapai 2,8% dari semua impornya.
Prancis adalah mitra dagang terbesar kedelapan OKI. Sebagai sebuah blok, 57 negara anggota OKI membeli paling banyak dari China (2019: sekitar AS$ 319 miliar), AS (sekitarAS $ 120 miliar), dan India (sekitar AS$ 92 miliar). (AT/RI-1/P1)
Sumber: Salaam Gateway
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina