Di bawah tenda-tenda yang basah kuyup oleh hujan dan dengan anak-anak yang menggigil karena dingin yang menggigit, para pengungsi Gaza menyambut tahun baru bukan dengan perayaan tetapi dengan kesedihan, keputusasaan, dan kesulitan yang semakin meningkat.
Setelah 15 bulan genosida Israel yang tak henti-hentinya dan kehancuran yang meluas, mereka menghadapi salah satu musim dingin terberat yang pernah ada.
Saat dunia menyambut tahun 2025 dengan kembang api dan perayaan, langit Gaza diterangi oleh ledakan dari serangan udara Israel. Hujan deras yang menyertainya memperparah penderitaan puluhan ribu keluarga pengungsi.
Tenda-tenda darurat mereka terendam banjir, barang-barang mereka yang sedikit hancur, dan semangat mereka terbebani oleh tragedi yang tak henti-hentinya selama setahun.
Baca Juga: Tragedi Kematian Bayi-Bayi di Gaza akibat Kedinginan, Potret Krisis Kemanusiaan yang Mendalam
Malam Tahun Baru yang Keras
Pada Malam Tahun Baru, Selasa (31/12/2024), hujan yang tak henti-hentinya mengubah kamp-kamp pengungsian Gaza menjadi rawa-rawa berlumpur.
Banjir tersebut membanjiri lebih dari 1.500 tenda, menurut Direktorat Pertahanan Sipil Gaza, membuat keluarga-keluarga berjuang keras untuk menyelamatkan barang-barang yang sedikit mereka miliki.
Bagi banyak orang, beberapa selimut dan pakaian yang mereka miliki basah kuyup hingga tak terpakai.
Baca Juga: Puasa Rajab, Dalil dan Pendapat para Ulama
Konsekuensinya sangat menghancurkan. Hanya dalam dua hari, tujuh orang pengungsi, termasuk enam anak-anak, meninggal karena suhu yang sangat dingin, sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahwa jumlah korban tewas dapat meningkat.
Banyak pengungsi Gaza tidak memiliki akses ke kebutuhan pokok musim dingin, dan penghancuran rumah-rumah yang terus berlanjut oleh serangan udara Israel membuat sedikit harapan untuk menemukan tempat berlindung yang memadai.
“Saya merasa seperti kami tenggelam dalam lautan keputusasaan,” kata Umm Thaer Al-Masri, yang meninggalkan rumahnya di Beit Lahiya menuju kamp pengungsian di Kota Gaza.
Berbicara kepada Anadolu Agency dilaporkan WAFA, Rabu (1/1/2025), ia menggambarkan tendanya yang kebanjiran dan kondisi mengerikan yang ia dan putranya yang terluka alami setiap hari.
Baca Juga: Jelang Tahun Baru 2025, Jumlah Pemain Game Judi Online Indonesia Tembus 100 Juta
“Anak-anak meninggal karena kedinginan,” tambahnya. “Kami tidak memiliki cukup selimut, pakaian, atau bahkan tempat yang kering untuk tidur. Kami meninggalkan semuanya saat kami melarikan diri di bawah bom.”
Permohonannya kepada dunia sangat menyayat hati: “Kami adalah orang-orang yang mencintai kehidupan, kedamaian, dan keamanan. Kami tidak menginginkan perang. Hentikan genosida terhadap kami.”
Malam yang Dingin, Tidak Ada Alternatif
Bagi Ahmed Al-Sous, warga terlantar lainnya dari Beit Lahiya, hujan baru-baru ini mengubah tempat berlindung yang seharusnya berupa sekolah yang diubah menjadi tempat berteduh menjadi mimpi buruk.
Baca Juga: Ya Allah, Berkahilah pada Bulan Rajab, dan Sampaikanlah Hingga Ramadhan
“Air merembes ke dalam ruang kelas, membasahi selimut dan kasur kami,” katanya kepada Anadolu Agency.
“Kami menghabiskan sepanjang malam mencoba menahan air, tetapi sia-sia. Sekarang kami tidak punya tempat kering lagi.”
Banyak keluarga, seperti keluarga Al-Sous, tidak punya alternatif. Anak-anak terpaksa mengenakan pakaian basah selama berjam-jam, yang mengakibatkan penyakit pernapasan dan masalah kesehatan lainnya.
Seorang ibu yang mengungsi, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan anak-anaknya tidak dapat lagi menahan suhu dingin tanpa pakaian atau selimut musim dingin yang memadai. “Kami tidak membutuhkan makanan atau air saat ini. Kami hanya butuh perang berakhir,” tegasnya.
Baca Juga: Renungan Terhadap Palestina, Memasuki Tahun 2025
Krisis kemanusiaan di Gaza memang mencapai titik kritis yang mengkhawatirkan, terutama dengan kondisi yang terus memburuk akibat serangan militer, blokade yang berkepanjangan, dan kekurangan bahan pangan, air bersih, serta obat-obatan.
Israel terus melancarkan serangan udara dan darat yang telah menewaskan lebih dari 45.500 orang, sebagian besar warga sipil, menurut otoritas di Jalur Gaza. Israel secara membabi buta menargetkan wanita dan anak-anak serta membunuh ribuan dokter, jurnalis, akademisi, dan pekerja bantuan. Warga Gaza sengaja dibiarkan kelaparan, tanpa makanan atau obat-obatan yang diizinkan masuk ke daerah kantong tersebut.
Agresi genosida tersebut telah mengungsikan hampir seluruh penduduk dan membuat sebagian besar wilayah kantong itu hancur, setelah membom sebagian besar infrastruktur Gaza termauk rumah sakit, sumber air, masjid, gereja, dan kawasan permukiman. Ribuan korban tewas masih tertimbun reruntuhan.
Organisasi bantuan kemanusiaan, termasuk lembaga internasional, seperti Palang Merah Internasional (ICRC), UNICEF, dan World Health Organization (WHO), kini menghadapi tantangan besar dalam mengirimkan bantuan ke wilayah tersebut.
Baca Juga: Kaleidoskop Thufanul Aqsa 2023-2024, Membuka Mata Dunia
Badai terbaru, yang bisa merujuk pada serangan atau bencana alam, telah menambah penderitaan bagi warga Gaza, mempersulit distribusi bantuan, dan meningkatkan kebutuhan mendesak akan perlindungan serta akses ke layanan medis. Infrastruktur yang rusak parah, termasuk rumah sakit dan rumah tinggal, memperburuk kondisi para korban yang sudah sangat rentan.
Krisis ini juga menciptakan tantangan bagi lembaga-lembaga internasional dalam menjaga akses kemanusiaan yang aman. Banyaknya pembatasan politik dan militer, ditambah dengan risiko keselamatan bagi pekerja bantuan, membuat proses distribusi bantuan menjadi lebih lambat dan berisiko.
Komisaris Jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, mengatakan, sekitar 258 staf lembaga tersebut telah tewas di Jalur Gaza sejak dimulainya perang genosida Israel di wilayah tersebut 7 Oktober 2023.
Ia menekankan, sudah saatnya mengakhiri blokade di Gaza untuk memungkinkan masuknya pasokan bantuan kemanusiaan yang diperlukan, termasuk pasokan musim dingin.
Baca Juga: Kaleidoskop Bencana Nasional 2024, Tetap Waspada
Komisaris PBB tersebut menambahkan dalam pernyataan kepada media, Selasa (31/12/2024), bahwa hampir 650 serangan telah tercatat terhadap gedung dan fasilitas lembaga tersebut sejak dimulainya perang.
Ia menekankan, lebih dari dua pertiga gedung UNRWA rusak atau hancur, yang sebagian besar digunakan sebagai sekolah untuk anak-anak.
Sedikitnya 745 orang tewas di tempat penampungan lembaga tersebut saat mencari perlindungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ia mengungkapkan, setidaknya ada 20 petugas UNRWA yang ditahan di pusat-pusat penahanan Israel. “Sudah saatnya untuk membebaskan semua pekerja kemanusiaan yang ditahan,” tegas Lazzarini.
Baca Juga: Kaleidoskop 2024: Peristiwa Internasional yang Paling Disorot
UNRWA mengatakan, tingkat kekurangan gizi akut di Jalur Gaza 10 kali lebih tinggi daripada sebelum perang Israel di Jalur tersebut.
“Di Gaza, 80% keluarga memiliki setidaknya satu anak yang tidak mendapatkan cukup makanan, dan lebih dari 96% anak-anak dan wanita hamil atau menyusui tidak mendapatkan cukup nutrisi,” tambahnya dalam sebuah pernyataan di platform X, menurut laporan UNICEF November lalu.
Sumber daya yang terbatas serta situasi keamanan yang tidak stabil mempersulit upaya pemulihan dan bantuan yang efektif.
Penting untuk terus menyoroti krisis ini di media global, mengingat bahwa penyelesaian jangka panjang memerlukan perhatian yang tidak hanya pada bantuan kemanusiaan darurat, tetapi juga pada upaya diplomatik yang lebih luas untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.[]
Baca Juga: Tragedi Pembunuhan Jurnalis di Gaza 2024, Potret Gelap Penjajahan dan Kebebasan Pers
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Awal Tahun Baru, Waspadai 8 Hal