Pengungsi Rohingya di Bangladesh Ingin Mengenyam Pendidikan Tinggi

Cox’s Bazar, MINA – yang telah tinggal selama bertahun-tahun di kamp distrik Cox’s Bazar Bangladesh melihat sebagai jalan menuju kehidupan yang bermartabat.

“Sebagai anggota dunia yang beradab, adalah hak dasar kemanusiaan kita untuk mengenyam pendidikan tinggi demi eksistensi kita sebagai bangsa di masa depan,” tutur Mohammad Hamidullah, pemuda Rohingya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Selasa (23/11).

Menurut laporan Amnesty International, lebih dari 750.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari tindakan brutal Militer Myanmar di Rakhine sejak 25 Agustus 2017 dan menyeberang ke Bangladesh, menjadikan jumlah total mereka di negara Asia Selatan itu lebih dari 1,2 juta.

Hamidullah termasuk di antara mereka yang bermigrasi ke Bangladesh dalam perjalanan berbahaya selama sepekan bersama keluarganya, termasuk ibu dan dua saudara perempuannya.

Ia masih ragu dengan keberadaan ayahnya. “Anggota Tatmadaw (tentara Myanmar) menahan ayah saya di bawah todongan senjata pada tahun 2012 dan tidak ada jejaknya sejak itu. Meskipun ada bencana besar dalam keluarga kami, saya entah bagaimana berhasil melanjutkan pendidikan saya hingga kelas 10 (level 10) sebelum migrasi kami ke Bangladesh pada 2017,” katanya.

“Setelah berlindung di kamp pengungsi di Bangladesh, saya tidak punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan saya,” tambahnya, mencatat bahwa jika semuanya berjalan lancar, dia akan menjadi mahasiswa sekarang.

Merujuk kepada teman-temannya, dia mengaku mengenal setidaknya 100 pemuda Rohingya yang sedang menempuh pendidikan di tingkat menengah saat eksodus Agustus 2017.

“Tolong temukan mekanismenya agar kita bisa melanjutkan pendidikan untuk kepemimpinan masa depan dan kelangsungan hidup bangsa kita yang bermartabat,” kata Hamidullah yang merupakan warga kamp Rohingya no. 5.

Pemuda Rohingya lainnya, Ziaur Rahman, yang mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak pengungsi di pusat pembelajaran berbasis kamp ​​mengatakan, komunitas internasional harus mengatur kuota di berbagai lembaga pendidikan untuk Rohingya di seluruh dunia.

“Kita tumbuh tanpa pendidikan. Hanya sebagian kecil generasi baru kita yang mengenyam pendidikan tingkat dasar di pusat-pusat pembelajaran berbasis kamp. Tidak ada bangsa yang bisa bertahan lama tanpa pendidikan tinggi,” tambahnya.

Rahman juga menggambarkan situasi saat ini di Myanmar. “Kami dilarang mengenyam pendidikan tinggi dengan berbagai dalih di Myanmar dan sekarang di Bangladesh, kami tidak memiliki ruang untuk mendapatkan pendidikan tinggi dengan identitas kami sebagai orang tanpa kewarganegaraan tanpa status pengungsi,” katanya.

Sementara itu, Khin Maung, pendiri dan direktur eksekutif Organisasi Pemuda Rohingya (RYO) yang berbasis di Cox’s Bazar mengatakan, komunitas internasional harus bekerja sama dengan pemerintah Bangladesh untuk mengembangkan fasilitas pendidikan tinggi untuk Rohingya.

“Pendidikan adalah hak asasi manusia, begitu juga untuk semua orang. Pendidikan tinggi diperlukan bagi siswa Rohingya karena itu adalah impian mereka. Setiap siswa memiliki impian tertentu dalam hidup. Misalnya, seseorang ingin menjadi dokter, maka dia atau dia harus menyelesaikan studi yang lebih tinggi,” kata Maung.

Mengacu pada pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara, ia menambahkan, pendidikan adalah tulang punggung suatu bangsa dan tanpa pendidikan yang tinggi dan berkualitas, sangat sulit untuk bertahan hidup.

Negara-negara maju harus memberikan kesempatan beasiswa bagi mahasiswa Rohingya sehingga mereka dapat melanjutkan pendidikan tinggi di berbagai negara, katanya dan menambahkan, PBB dapat membantu membujuk negara-negara anggotanya untuk menyetujui peluang beasiswa bagi mahasiswa Rohingya di universitas negara masing-masing.

Ia juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Bangladesh atas kemurahan hatinya dengan menampung lebih dari satu juta orang Rohingya selama bertahun-tahun. (T/RE1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)