Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengungsi Rohingya Kehabisan Lahan untuk Mengubur Mayat

Fauziah Al Hakim - Kamis, 26 Oktober 2017 - 13:29 WIB

Kamis, 26 Oktober 2017 - 13:29 WIB

285 Views ㅤ

Oleh Afrose Jahan Chaity, Wartawan Dhaka Tribune (Bangladesh)

Amir Mia, pengungsi Rohingya yang berusia 18 tahun membawa jenazah kakeknya melalui kamp ekspansi Balukhali di kota pelabuhan Cox’s Bazar, Bangladesh. Dia membawa jenazah kakeknya untuk dimakamkan di sebuah kuburan yang dibuat setelah datangnya ribuan pengungsi Rohingya baru-baru ini, karena menyelamatkan diri dari kekerasan tentara Myanmar.

“Kakek sudah tua dan meninggal karena penyakit terkait usia,” ujar Amir sambil berjalan menerobos jalan sempit dan berlumpur di kamp itu.

Pengungsi Rohingya meninggalkan Myanmar selama beberapa dekade terakhir, menempati kamp-kamp. Penduduk kamp mengubur orang yang  meninggal di manapun mereka bisa menemukan lahan. Tanpa adanya lahan yang dikhususkan untuk pemakaman oleh pemerintah Bangladesh, para pengungsi telah mengatur wilayah mereka sendiri.

Baca Juga: Mengapa Ada Orang Pintar Tapi Kelakuannya Tidak Baik?

Kuburan kecil di mana Amir sedang mengubur kakeknya sudah terlihat penuh sesak. Pagar bambu sementara memisahkan antara satu dengan yang lainnya.

Di kamp yang terdaftar di Kutupalong, Mohammad Alam, (16) yang lahir di Bangladesh setelah orang tuanya meninggalkan Myanmar pada 1990-an, menjelaskan bahwa ayahnya adalah pemimpin satu blok kamp dan seorang penggali kubur yang bertanggung jawab untuk menggali kuburan untuk penghuni bloknya.

“Pemakaman telah padat, dengan tiga atau empat mayat ditempatkan di setiap kuburan setelah masuknya pengungsi baru-baru ini,” ujar Mohammad.

“Tidak seperti kehidupan, kematian adalah kebenaran yang tak terelakkan dan di sini tidak ada yang bisa dikubur dengan damai karena kita harus menggali kuburan lama untuk menjadikan kuburan baru,” tuturnya.

Baca Juga: Mengambil Ibrah dari Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian II)

Dia melihat orang-orang menguburkan mayat di depan rumah mereka, Para pengungsi baru tidak tahu ke mana harus pergi atau apa yang harus dilakukan. Saya telah melihat sebuah keluarga mengubur mayat di samping rumah mereka yang baru dibangun.

Beberapa hari kemudian, hujan menghapus  tanda kuburan dan lebih banyak pengungsi baru datang membangun tenda mereka di atas kuburan itu.

Aku Menggali Satu Kuburan Lebih Dari Empat Kali

Nur Hossain (52) telah tinggal di kamp yang terdaftar di Kutupalong selama 26 tahun terakhir. Dia adalah seorang petani di Myanmar, tapi di Bangladesh dia bekerja di sebuah pabrik sup di kamp dan sebagai penggali kubur. Dia datang pada awal 1990-an, bersama istri dan tiga anaknya.

“Tentara Myanmar membunuh saudaraku Komol Hossain di awal tahun 90an, mereka membawanya untuk menjadi budak dan dua bulan kemudian kami diberitahu bahwa dia telah meninggal. Kami tidak tahu bagaimana dia meninggal,” kata Nur.

Baca Juga: Mengambil Ibrah dari Kisah Nabi Nuh ‘Alaihissalam (Bagian I)

“Mereka (tentara Myanmar) mengatakan bahwa kita bukan warga Myanmar,”

“Seiring dengan anggota keluarga saya, saya melarikan diri ke Bangladesh untuk menyelamatkan hidup saya ,”

“Kami di sini  hidup seperti tahanan, bebas tapi tidak diijinkan untuk bekerja di luar kamp. Bahkan setelah kematian, kami tidak memiliki tempat untuk dikuburkan,” katanya.

“Saya menggali satu kuburan lebih dari empat kali untuk dimakamkan. Salah satu kuburan tertua kita sekarang telah menjadi kebun seseorang.”

Baca Juga: Yuk Miliki Tujuh Amalan Hati

Nur mengatakan, kematian membuat dia takut lebih dari apapun.

“Ketika saya menggali kuburan, saya selalu menyebut nama Allah, seperti (saya tahu) saya akan mati suatu hari nanti. Ketakutan akan kematian ini menghantui saya sepanjang waktu.”

“Saya Tidak Tahu Kuburan Siapa Yang Akan Saya Pakai”

Nazu Mia datang ke Bangladesh saat dia masih remaja. Dia sekarang berusia 40-an, dan mengatakan bahwa dia pasrah dengan nasibnya.

“Hidup saya dihabiskan di sebuah penjara (kamp pengungsi). Saya akan berada di sini sampai kematian saya dan saya tidak tahu kuburan siapa yang akan saya pakai di kehidupan saya selanjutnya setelah kematian,” ujarnya.

Baca Juga: Perang Mu’tah, Aksi Militer Pertama Rasulullah SAW untuk Pembebasan Al-Aqsa

“Kami mengubur mayat di kuburan tua yang dialokasikan untuk pengungsi tahun 80-an, di semua kuburan, lebih dari tiga mayat dikuburkan,” dia menjelaskan.

“Kami ditanya apakah kami membutuhkan makanan, tempat tinggal dan bantuan kesehatan tapi tidak ada yang bertanya apakah kami membutuhkan tempat yang lebih besar untuk pemakaman atau jika perlu memperluas lahan yang sudah tua. Bahkan tempat yang telah dialokasikan untuk pengungsi baru sangat kecil. Di masa depan, kita bisa mengubur lebih dari 10 mayat dalam satu kuburan,”

“Kami membutuhkan lebih banyak tempat untuk pemakaman, orang-orang akan mulai menggali kuburan di rumah mereka sendiri. Diperlukan waktu satu dekade untuk mengubah rumah menjadi kuburan keluarga kecil,” kata Nazu.

“Tidakkah kita akan mendapat tempat untuk beristirahat dengan damai?” (T/R05/B05)

Baca Juga: Kiat Agar Selamat dari Empat Keburukan

(Sumber: Al-Jazeera News)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Mendukung Palestina: Dampak Positif dari Tindakan Sederhana

Rekomendasi untuk Anda

Asia
Internasional
Asia
Asia