Oleh Mark Isaacs (seorang penulis dan pekerja sosial)
Sebuah keluarga di Kutupalong, Bangladesh menceritakan kepada saya bahwa mereka melarikan diri dari Rakhine, Myanmar, karena kampung mereka diserang massa umat Budha selama kekerasan berlangsung pada Juni 2012. Penyebabnya, mereka dianggap bukan warga Myanmar.
“Suatu malam, mereka datang ke perkampungaan dengan membawa golok untuk menebas dan membunuh orang Islam,” ujar Sadaq, salah satu pemimpin perwakilan Kutupalong. Oknum militer juga ada yang menembaki saudara mereka.
Mereka melarikan diri dengan menyeberangi sungai. Namun, sebagian besar tidak bisa berenang sehingga mereka terseret arus dan tenggelam. Mereka yang selamat memilih bersembunyi dan enggan kembali ke perkampungan.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
“Saya juga diadopsi seorang laki-laki di Rakhine. Dia memaksa saya untuk bekerja sebagai budak di perkebunan sampai suatu hari saya melarikan diri dan tahu-tahu sampai di Bangladesh,” kata Sadaq.
Saya pun hanya duduk di kamp pengungsi Rohingya yang penuh debu. Saya bisa mendengar beberapa keluarga “mengemis” meminta makanan untuk anak-anak mereka yang kelaparan. Dalam situasi putus asa seperti itu, saya dapat melihat mereka sangat depresi.
Atas kondisi itu, saya dapat membayangkan kenapa pengungsi Rohingya dari Bangladesh juga memilih melintasi laut untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Malaysia atau Indonesia. Kekerasan pada 2012 juga bukan teror pertama untuk mereka.
“Mereka tidak menerima kami karena kami Muslim,” kata Sadaq menjawab serangkaian konflik yang terjadi di Rakhine. Sementara itu, pemerintah Bangladesh mengatakan permasalahan Rohingya harus diselesaikan pemerintah Myanmar. (T/P020/R02)
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)