Di sepanjang Corniche, jalan utama yang membentang di tepi Sungai Nil di kota Aswan, terlihat papan besar bertuliskan: “Aswan. Tanah Emas.” Iklan serupa bisa ditemukan di berbagai sudut kota yang sejak zaman kuno menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan Mesir selatan.
Tambang emas di wilayah ini telah ada sejak zaman para Firaun. Namun kini, setelah perang di Sudan memaksa ribuan orang melarikan diri ke Mesir, aktivitas tambang di “tanah emas” ini kembali bergeliat. Aswan menjadi tempat berlindung bagi para pengungsi Sudan yang melarikan diri dari konflik di tanah air mereka. Beberapa di antaranya bahkan memutuskan untuk menetap sejenak di sini, mencari peruntungan di tambang emas sebelum melanjutkan perjalanan ke Eropa.
Sudan sendiri kaya akan emas, dan banyak pengungsi yang datang sudah berpengalaman sebagai penambang emas tidak resmi. Beberapa di antara mereka bahkan membawa emas dari kampung halaman.
Selain warga Sudan, ada juga mereka yang melarikan diri dari konflik, ketidakstabilan politik, dan kemiskinan di Ethiopia, Eritrea, Sudan Selatan, serta negara-negara Afrika lainnya. Mereka biasanya masuk secara sembunyi-sembunyi ke Aswan, sebelum bergerak menuju Kairo dan akhirnya ke pantai Mediterania.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Dengan meningkatnya kegiatan penambangan dan penyelundupan emas di sekitar Aswan, perdagangan manusia pun turut melonjak. Setiap hari, ratusan warga Sudan diselundupkan ke Mesir. Perdagangan ilegal ini, yang diamati oleh Middle East Eye saat berkunjung ke Aswan, kini menjadi salah satu sumber penghasilan utama bagi para penyelundup Mesir dan Sudan.
Tanah emas
Aswan, yang telah dihuni sejak zaman kuno, kini menjadi tujuan wisata populer berkat museum-museum Firaun, pulau-pulau di Sungai Nil, dan sebagai pintu gerbang menuju kuil-kuil Abu Simbel. Kota ini memiliki pesona khas Afrika yang memikat wisatawan dari seluruh dunia.
Namun, kondisi di wilayah ini berubah sejak pecahnya perang antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada bulan April lalu, yang menyebabkan sekitar 1,2 juta warga Sudan melintasi perbatasan ke Mesir.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Aswan, yang hanya berjarak 300 km dari perbatasan Mesir-Sudan, kini kedatangan gelombang besar pengungsi yang membawa emas selundupan dari wilayah kaya emas di Sudan bagian utara dan timur. Kehadiran mereka memberikan dorongan ekonomi bagi Aswan, terutama melalui perdagangan emas.
Meski begitu, penduduk setempat justru merasakan dampak negatifnya. Penduduk yang kurang mampu semakin kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara para pemuda hanya bisa berharap pada pekerjaan musiman di sektor pariwisata. Mereka juga mengeluhkan kenaikan harga yang dipicu oleh maraknya perdagangan emas dan kedatangan pengungsi baru dari Sudan.
Perang di Sudan
Hamad Osman dulunya bekerja sebagai buruh tambang emas di Dar Mali, dekat Atbara di Sudan Utara, sebelum perang meletus. Ia memutuskan pindah ke Aswan pada akhir 2023 setelah sebagian besar pasar emas di Sudan ditutup dan area penambangan diambil alih oleh kelompok bersenjata yang menjarah para pekerja.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Osman adalah salah satu dari ribuan pemuda Sudan yang bekerja di sektor tambang dan kemudian pindah ke Aswan. Biaya perjalanan dari Atbara atau Abu Hamad ke Mesir sekitar $100, yang mereka bayar kepada penyelundup manusia untuk bisa sampai ke sana.
“Ada banyak kekacauan di tempat saya tinggal. Ini terjadi di banyak area tambang emas di Sudan setelah perang pecah,” kata Osman kepada Middle East Eye.
Situasi serupa juga dialami Muwaia Alnur, pengungsi asal Sudan, yang sempat ditangkap bersama ratusan warga Sudan lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak. Mereka ditahan di pusat penahanan dekat perbatasan. “Para penambang berusaha mengamankan tambang sendiri dan kadang-kadang dibantu oleh pemerintah lokal,” tambahnya.
Namun, masalah besar yang membuat banyak penambang pindah ke Mesir adalah ketidakstabilan harga emas di Sudan, kenaikan harga, dan kelangkaan pasokan. Alhasil, Osman pun pindah ke Mesir dan bekerja sebagai penambang emas di Gurun Timur dekat Aswan.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Para pemuda Sudan yang bekerja di Mesir juga membantu menyelundupkan emas dari Sudan untuk dijual di Mesir. “Kami punya banyak teman di Sudan yang membantu mengirim emas ke sini. Bisnis ini sedang berkembang pesat,” jelas Osman.
Namun, tidak semua perjalanan berjalan mulus. Pihak berwenang Mesir sudah menangkap ribuan warga Sudan yang menyeberang, menahan beberapa di antaranya dan memulangkan sisanya ke Sudan. Salah satunya adalah Muwaia Alnur, yang sempat ditahan hampir sebulan di daerah dekat Aswan sebelum dideportasi ke Sudan.
“Saya ditangkap bersama ratusan orang Sudan lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak. Kondisinya sangat buruk di pusat penahanan dekat perbatasan,” kata Alnur kepada MEE. Dia dan 11 warga Sudan lainnya kemudian dipulangkan ke Wadi Halfa, di mana pihak berwenang Sudan menerima mereka sebelum akhirnya membebaskannya. Kini, Alnur berada di Dongola, Sudan Utara.
Ekonomi Emas
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Sekitar 30 km di selatan Aswan, area penambangan emas al-Kassarah menjadi pusat aktivitas besar dengan ratusan pabrik ekstraksi emas serta tempat penyimpanan merkuri dan sianida yang terlihat di mana-mana. Al-Kassarah juga merupakan titik transit terakhir bagi para penyelundup dari Sudan sebelum menuju Aswan. Sepanjang rute ini, terdapat banyak pabrik semen, petrokimia, dan industri kecil lainnya, termasuk pabrik pengolahan emas.
Ribuan orang dari Mesir, Sudan, dan negara Afrika lainnya bekerja di sini, baik di tambang, hotel, restoran, atau pabrik yang menggunakan merkuri dan sianida secara ilegal untuk mengekstraksi emas. Para buruh tambang Sudan yang melarikan diri dari kekacauan di Sudan membawa batu besar dengan truk untuk diekstraksi emasnya, sementara yang lain beristirahat di sekitar kios teh milik warga Ethiopia.
Menurut Mohamed Ansari, seorang pedagang emas Mesir, produksi emas di sekitar Aswan meningkat pesat sejak perang di Sudan, menarik banyak penambang dan buruh Sudan. Beberapa bahkan menyewa tambang emas di daerah ini dengan biaya sekitar $20.000 per tahun jika tambangnya sudah dilengkapi peralatan lengkap. Sebagai pemilik, ia mengambil setengah dari sisa emas yang masih tertinggal setelah proses ekstraksi.
Ansari juga menyebut bahwa Aswan kini menjadi pusat utama produksi serta jual beli emas yang dibawa dari Sudan dan daerah perbatasan.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Nazar al-Sadig, seorang penambang emas asal Sudan, berbagi kisahnya. Ia berjalan berhari-hari dari rumahnya di Kordofan Utara ke Abu Hamad sebelum menyelundupkan diri ke Mesir. Di sana, ia menjual emas yang ia bawa dari Sudan ke pedagang di Aswan, lalu membeli peralatan tambang untuk memulai usahanya sendiri. Meskipun terjebak di Mesir karena perang dan pembatasan dari polisi, ia merasa masih bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan.
Penyelundupan Manusia
Banyak orang tinggal sementara di Aswan, namun banyak juga — seperti buruh miskin dari Sudan dan pengungsi Ethiopia yang melarikan diri dari perang — menyeberang ke Mesir dengan tujuan akhir mencapai Eropa melalui Mediterania.
Tarhas Ibraham, seorang wanita Ethiopia, dulunya bekerja sebagai penjual teh sebelum melarikan diri dari Sudan. Kini, ia bekerja di restoran di area tambang emas terpencil di Aswan, memasak dan melakukan pekerjaan lainnya.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
“Saya datang dari Ethiopia ke Sudan beberapa tahun lalu, lalu pindah ke Mesir,” katanya. “Perjalanan ini sulit dan panjang, melewati berbagai negara. Saya ingin mengumpulkan uang agar bisa menyeberangi Mediterania menuju Eropa.”
Adam Mohamed, seorang buruh Sudan, mendengar ada penyelundup yang bisa membawanya ke Eropa, tetapi biaya yang diminta sangat tinggi, setidaknya $2.000.
“Mereka meminta biaya besar,” ujarnya. “Jadi, saya lebih memilih bekerja di tambang emas di sini dulu untuk mengumpulkan uang sebelum berangkat.”[Bahron Ans.]
Sumber: middleeasteye.net
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud