Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengunjuk Rasa Antikudeta Sudan Ditembaki Gas Air Mata

Rudi Hendrik - Ahad, 26 Desember 2021 - 13:30 WIB

Ahad, 26 Desember 2021 - 13:30 WIB

7 Views

Khartoum, MINA – Pasukan keamanan Sudan di ibu kota Khartoum menembakkan gas air mata ke kerumunan besar pengunjuk rasa anti-kudeta yang menuntut transisi pemerintah ke pemerintahan sipil.

Ribuan pengunjuk rasa berbaris di depan Istana Presiden pada Sabtu (25/12). Mereka mengibarkan bendera dan meneriakkan slogan-slogan menentang kepala junta Abdel Fattah al-Burhan dan pemerintahan yang didominasi militer, meskipun pasukan keamanan dikerahkan secara besar-besaran.

Para pengunjuk rasa menentang kudeta militer Oktober dan ingin tentara “kembali ke barak,” The New Arab melaporkan.

Sebelumnya, pasukan keamanan memblokir jembatan yang menghubungkan Ibu Kota dengan daerah pinggiran kota, memutus saluran telepon dan membatasi internet menjelang protes yang direncanakan.

Baca Juga: Dua Tentara PBB Tewas dalam Bentrokan di Kongo

Menurut saksi, ada juga unjuk rasa protes di kota Madani, hampir 85 mil tenggara Khartoum.

Gubernur Provinsi Khartoum memperingatkan bahwa pasukan keamanan “akan berurusan dengan mereka yang melanggar hukum dan menciptakan kekacauan.” Dia mengatakan “mendekati atau menyerang bangunan kedaulatan strategis dapat dihukum oleh hukum.”

Sementara itu, Volker Perthes, Utusan Khusus PBB untuk Sudan, mendesak pihak berwenang untuk “melindungi” pemrotes dan tidak menghentikannya.

“Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia” kata Perthes. “Tidak seorang pun harus ditangkap karena niatnya untuk memprotes secara damai.”

Baca Juga: Trinidad dan Tobago Umumkan Keadaan Darurat Pembunuhan

Komite Sentral Dokter Sudan meminta komunitas internasional untuk “memantau apa yang terjadi di Sudan terkait isu gerakan revolusioner untuk kebebasan dan demokrasi.”

Lebih dari dua tahun lalu, demonstrasi anti-pemerintah besar-besaran melanda Sudan, sebagian besar karena ekonomi. Para pengunjuk rasa yang sebagian besar pemuda, menuntut pengunduran diri Presiden Omar al-Bashir.

Bashir akhirnya digulingkan melalui kudeta militer pada April 2019, setelah memerintah negara itu selama tiga dekade. Pada bulan Agustus tahun yang sama, pemerintahan sipil-militer transisi didirikan untuk menjalankan negara.

Namun, kudeta militer, yang dipimpin oleh panglima militer Sudan dan pemimpin de facto, Burhan, dilakukan pada 25 Oktober yang membubarkan pemerintah yang rapuh itu. Perdana Menteri Abdalla Hamdok ditahan dan dijadikan tahanan rumah dalam sebuah tindakan yang membuat marah orang Sudan dan memicu kecaman internasional, termasuk dari Dewan Keamanan PBB. Para pemimpin sipil lainnya juga ditahan di tahanan militer.

Baca Juga: Sebanyak 69 Migran Tewas Tenggelam di Lepas Pantai Maroko

Tindakan keras berikutnya terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta telah menyebabkan sedikitnya 45 orang tewas dan ratusan lainnya terluka.

Hamdok kemudian dibebaskan dan pada 21 November menandatangani kesepakatan pembagian kekuasaan dengan junta yang dipimpin Burhan. Menurut Hamdok, ia akan melanjutkan jabatannya sebagai perdana menteri, semua tahanan politik yang ditahan selama kudeta akan dibebaskan, dan deklarasi konstitusional 2019 akan menjadi dasar transisi politik.

Menurut kesepakatan itu, Juli 2023 telah ditetapkan sebagai tanggal pemilihan bebas pertama Sudan sejak 1986. (T/RI-1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Sekjend PBB Khawatirkan Ketahanan Pangan Sudan yang Kian Buruk

Rekomendasi untuk Anda

Dunia Islam
Internasional
Feature
Indonesia
Indonesia