Oleh: Widi Kusnadi, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Seharian penuh kami tergabung dalam tim MER-C WANADRI berjalan menyusuri pinggiran kota Kathmandu. Tak lepas mata ini memandang deretan toko-toko berjajar di sepanjang jalan, dengan beberapa bangunan yang runtuh akibat gempa yang melanda wilayah Himalaya itu.
Sampailah kami di sebuah sudut kota, terlihat lapak dengan warna memikat mata. Wajan merah yang menyala dengan kobaran api dari kayu di bawahnya.
Dengan hati berbunga-bunga, berhentilah kami di sana, seolah menemukan sebongkah permata, aroma gorengan yang menggoda, selera pun menggelora. Kami pun segera menghampirinya. Oh, mungkin dia orang Tegal, atau orang Padang yang merantau ke negeri Himalaya. Wajahnya memang tak jauh beda dengan wajah orang Ndeso (orang desa, red).
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Dengan sangat yakin, saya pun memberanikan diri untuk bertanya dengan logat Tegal kepada seorang wanita penjaja gorengan itu, Deneng rika dodolan gorengan meng kene, piraan kiye gorengane? (Kamu ternyata sampai sini juga, berapaan ini harga gorengannya?). Namun, gadis itu hanya tersenyum simpul sambil menyapa kami, “Are you Malaysia?” (Kamu orang Malaysia?)
Ooo, saya malu, ternyata dia bukan orang Tegal. Saya pun menyapanya, “Hello miss, We are Indonesians, I am very happy to be here. You sell our favourite food, Its marvelous. How much the cost for that one?” sambil menunjuk kentang dan ayam goreng serta semacam mendoan, samar-samar terlihat tempe dibalik tepung yang menggoda selera itu?
Dengan senyum merekah, dia menerangkan harga per satu gorengan dengan rupee yang berlaku di negaranya.
Namun, sesaat ketika kami hendak mengambil gorengan yang menarik itu, di sampingnya ada gorengan daging yang merekah merah dengan khas bau yang menyengat. Saya pun bertanya daging apakah gerangan?
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
“Miss, what kind of meat the red one? Is it pork meat?” Dengan senyum simpul dia menjawab, “Yes, sir, that is the pork, many people here like it very much.”
Seketika, hilanglah selera makan saya, Inna lillahi, ternyata mereka juga menjual gorengan daging babi.
Tanpa berpikir dua kali, kami pun segera menjauh darinya, menjauh pergi dan segera memanggil taksi. Memang tak mudah menemukan makanan halal di negeri Nepal ini. Akhirnya kami mengganjal perut dengan jus mangga, seharga 25 rupee. Alhamdulillah, paling tidak bisa menghalau dahaga.(L/R03/R05/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)