Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pentingnya Husnuzan: Melatih Pikiran Positif ala Nabi Muhammad SAW

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - Ahad, 31 Agustus 2025 - 23:28 WIB

Ahad, 31 Agustus 2025 - 23:28 WIB

16 Views

BERBAIK sangka (ḥusnuzan) itu bukan sekadar “pikiran manis”—ia adalah disiplin ruhani yang melatih otot mental untuk melihat kemungkinan kebaikan sembari tetap bertindak bijak.(foto: ig)

BERBAIK sangka (husnuzan) itu bukan sekadar “pikiran manis.” Sifat itu merupakan bentuk disiplin ruhani yang melatih mental untuk melihat kemungkinan kebaikan sembari tetap bertindak dengan bijak.

Inilah seni positif ala Nabi Muhammad SAW: batin yang jernih, prasangka baik kepada Allah dan sesama, lalu diterjemahkan menjadi doa, ikhtiar, dan akhlak. Firman Allah dalam hadis qudsi, “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku,” menjadi fondasi spiritual bahwa arah pikir membentuk arah hidup.

Dalam psikologi modern, husnuzan berkelindan dengan optimisme dan emosi positif. Riset meta-analitik besar menemukan bahwa orang yang lebih optimis cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih baik—dari nyeri yang lebih rendah hingga fungsi imun dan pemulihan yang lebih cepat. Ini bukan kebetulan; cara kita menafsirkan peristiwa mengubah stres, hormon, dan kebiasaan sehari-hari yang akhirnya memengaruhi tubuh.

Kabar baiknya, pola pikir positif membentengi jantung. Analisis gabungan dari berbagai studi menunjukkan optimisme terkait penurunan risiko kejadian kardiovaskular dan bahkan angka kematian semua sebab. Artinya, husnuzan yang dibarengi ikhtiar sehat dapat menjadi “vitamin” harian untuk jantung dan umur panjang.

Baca Juga: Bisnis dengan Allah: Perniagaan yang Tak Pernah Merugi

Bagaimana mekanismenya? Teori “broaden-and-build” menjelaskan: emosi positif memperluas cara kita berpikir dan bertindak—mendorong rasa ingin tahu, kreativitas, dan koneksi sosial—yang perlahan membangun sumber daya tahan banting (resiliensi), sosial, dan fisik. Dalam bahasa iman: dada lapang melahirkan ikhtiar lapang.

Bahkan urusan masuk angin pun “ikut” cara kita merasa. Eksperimen klasik menunjukkan orang yang cenderung beremosi positif lebih kebal terhadap selesma (common cold) saat terpapar virus dibanding yang emosinya dominan negatif. Emosi baik bukan jimat, tapi ia menata sistem imun agar lebih siap.

Nabi SAW melatih husnuzan dengan paket lengkap: doa optimistis, kerja nyata, dan prasangka baik kepada manusia. Itu selaras dengan temuan medis bahwa optimisme mendorong kebiasaan sehat—lebih aktif, tidur lebih baik, patuh terapi—yang semuanya menurunkan risiko penyakit jantung dan memperbaiki penuaan sehat. Jadi, husnuzan bukan sekadar “angan-angan”, ia gaya hidup.

Namun hati-hati: positif bukan berarti naif. Penelitian menunjukkan bahwa dalam stres yang sangat sulit dan tak terkendali, optimisme tanpa keterampilan regulasi justru bisa menguras imun—karena memaksa senyum tanpa mengolah beban. Artinya, husnuzan harus ditemani tawakkal dan tadabbur—mengakui realita, meminta pertolongan, lalu mengambil langkah yang bisa kita kendalikan.

Baca Juga: Santripreneur dalam Kegiatan Pondok, Latihan Kepemimpinan Sejak Dini

Mau melatihnya? Mulai dari dialog batin ala sunnah: ketika kabar buruk datang, ucapkan doa baik, cari makna, lalu tanyakan “langkah kecil apa yang bisa kulakukan hari ini?” Kerangka inilah yang dalam riset psikologi disebut reappraisal (menafsir ulang), terbukti menurunkan stres dan membuka ruang solusi. Dengan kata lain, ḥusnuzan menggeser pikiran dari buntu ke bertumbuh.

Kedua, bangun jejaring kebaikan. Nabi SAW menautkan hati-hati kaum muslimin seperti satu tubuh; ilmu modern menunjukkan relasi sosial yang hangat memperkuat daya tahan tubuh dan mempercepat pemulihan saat sakit. Ḥusnuzan melahirkan silaturahmi yang tulus; silaturahmi menyehatkan raga—lingkaran berkah yang saling menguatkan.

Ketiga, jaga bahasa. Pilih diksi yang memuliakan harapan: “Insya Allah ada jalan,” “Aku belajar dari ini,” “Allah Maha Lembut.” Kata yang kita ucapkan menata fokus dan perilaku. Studi-studi kesehatan menunjukkan bahwa pola pikir optimistis mendorong kepatuhan pada perubahan gaya hidup (makan lebih baik, bergerak, menjaga tidur) yang berkorelasi dengan risiko penyakit jantung yang lebih rendah.

Keempat, syukuri yang kecil. Syukur memicu emosi positif yang memperluas perspektif; perspektif luas memudahkan kita melihat pintu yang tadinya tersembunyi. Ini sesuai rumus iman: “Jika kamu bersyukur, pasti Aku tambah (nikmatmu).” Di level psikologis, rasa cukup mengurangi ruminasi dan memulihkan energi untuk bertindak.

Baca Juga: Santripreneur Literasi: Berkarya Lewat Menulis tentang Palestina

Kelima, izinkan diri realistis-optimis. Nabi SAW mengikat unta sebelum tawakkal; kita pun merencanakan, memeriksa data, lalu berharap baik. Realistis-optimis berarti mengakui risiko tanpa kehilangan harapan. Bukti ilmiah soal manfaat optimisme itu kuat, tapi kita juga menjaga kebijaksanaan agar tak terjebak “toxic positivity”. Itulah ḥusnuzan yang matang: lembut hatinya, tajam akalnya.

Akhirnya, husnuzan adalah ibadah mental: ia menenteramkan hati, menyehatkan raga, dan menuntun langkah. Kita memilih untuk melihat kemungkinan kasih sayang Allah di balik badai, lalu bergerak. Hari ini, latih satu kebiasaan husnuzan: doakan yang baik sebelum menilai, syukuri tiga hal kecil, dan ambil satu langkah nyata. Bismillah—pikiran yang bening, menjadikan hidup lebih cling.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Membangun Bisnis dengan Hati dan Strategi

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
MINA Health