Jakarta, 28 Syawwal 1437/2 Agustus 2016 (MINA) – Para pakar Hubungan Internasional dari Amerika Serikat, Indonesia, Jepang dan Tiongkok menyatakan bahwa pentingnya second track diplomacy dalam mempromosikan kerjasama yang konstruktif dalam penyelesaian sengketa di kawasan Laut Cina Selatan.
Mereka menyoroti pentingnya Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama untuk meningkatkan kepercayaan dan kerjasama strategis serta mencegah konflik terbuka di kawasan itu.
“Saya percaya bahwa akademisi, think tank, dan organisasi masyarakat sipil adalah elemen penting dari keamanan regional dan arsitektur ekonomi yang dapat membantu memastikan daerah yang benar-benar damai, stabil, dan sejahtera di kawasan kita (Laut Cina Selatan),” kata Dr. Dewi Fortuna Anwar selaku Pimpinan Pertemuan Para Pakar Hubungan Internasional dalam Konferensi Pers di The Hermitage Jakarta, Selasa (2/8).
Dalam penyampaian ringkasan hasil Pertemuan, Dewi menjelaskan, semua delegasi percaya bahwa mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan di kawasan Laut Cina Selatan harus menjadi prioritas di kawasan tersebut.
Baca Juga: Turkiye Konfirmasi Tolak Akses Wilayah Udara untuk Presiden Israel
“Para peserta juga telah menyatakan niat untuk secara aktif mengejar tujuan ini. Para peserta mengakui pentingnya mewujudkan lingkungan yang kondusif untuk diskusi dan dialog,” ujarnya.
Pertemuan itu mencatat bahwa transparansi, terutama dalam hal kegiatan militer, sangat penting untuk membangun kepercayaan dan keyakinan di wilayah tersebut. Dalam hal ini, Pertemuan menyerukan kepada pihak-pihak terkait untuk mengendalikan diri guna mengurangi ketegangan dan tidak lebih jauh meningkatkan konflik.
Dia menjelaskan, dalam pertemuan tersebut ada perbedaan pendapat tentang sejumlah isu yang berkaitan dengan Laut Cina Selatan pada khususnya, seperti pada reklamasi lahan, peran kekuatan eksternal, traditional fishing ground atau sejarah, dan putusan pengadilan arbitrase internasional baru-baru ini.
Rapat mengakui pentingnya sentralitas dan kesatuan ASEAN, sebagai kumpulan kekuatan yang muncul, dalam mendukung aktivisme regional dan dalam membentuk tatanan regional. kekuatan regional, termasuk Cina, telah diuntungkan dari kesatuan ASEAN ketimbang peprpecahan. negara anggota ASEAN, claimant, dan non-claimant, harus berpartisipasi secara aktif dalam upaya untuk mengelola sengketa yang ada dan untuk mencegah eskalasi konflik di Laut Cina Selatan pada masa depan.
Baca Juga: Netanyahu Akan Tetap Serang Lebanon Meski Ada Gencatan Senjata
Pertemuan tersebut juga menyoroti pentingnya langkah-langkah konkrit untuk mewujudkan inisiatif itu ke depan sebagai bagian dari upaya regional yang lebih luas untuk mencapai perdamaian, stabilitas dan kemakmuran di kawasan.
Para pakar juga mengusulkan adanya penelitian ilmiah bersama pada sumber daya alam dan laut antara pihak terkait, termasuk tentang kemungkinan eksplorasi bersama sumber daya alam dan laut, sebagai langkah membangun kepercayaan.
Pertemuan yang digelar The Habibie Center dan Sasakawa Peace Foundation (SPF) di The Hermitage, Jakarta pada 31 Juli – 2 Agustus 2016 itu bertujuan untuk mengumpulkan intelektual serta negarawan senior dari Amerika Serikat, Indonesia, Jepang dan Tiongkok serta memfasilitasi tukar pikiran menyikapi perkembangan terkini di Laut Asia Timur mencakup Laut Jepang, Laut Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan.
“Pertemuan ini bertujuan untuk memberikan ruang terbuka bagi dialog di kalangan intelektual dan negarawan senior dari Cina, Jepang, Indonesia, dan Amerika Serikat, untuk mempromosikan kerjasama internasional yang konstruktif atas isu-isu maritim di kawasan (Laut Cina Selatan) didasarkan pada semangat kerja sama,” kata Dewi.
Baca Juga: Kepada Sekjen PBB, Prabowo Sampaikan Komitmen Transisi Energi Terbarukan
Seluruh anggota delegasi pertemuan di antaranya dari Indonesia Prof. Hasjim Djalal, Prof. Rokhmin Dahuri; perwakilan dari Cina Dr. Yang Jiemian (Shanghai Institute for International Studies – SIIS), Prof. Zhu Feng (the Peking University’s School of International Studies), Prof. Zou Keyuan (the Guanghua Law School, Zhejing University); perwakilan dari Jepang Prof. Akihiko Tanaka (Universitas Tokyo), Jiro Hanyu (Ketua Sasakawa Peace Foundation – SPF), Masanori Nishi (Special Advisor Kementerian Pertahanan Jepang); dan dari Amerika Serikat Admiral Dennis Blair (CEO Sasakawa USA), Prof. James Kraska (Stockton Center for the Study of International Law). (L/R05/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Presiden Brazil: Tak Ada Perdamaian di Dunia tanpa Perdamaian di Gaza