Pentingnya Pembinaan Akhlak Pada Era Globalisasi (Oleh : Dr L.Sholehuddin)

Oleh: Dr. L. Sholehuddin, M.Pd., Dosen Tetap Sekolah Tinggi Shuffah Al-Quran Abdullah bin Mas’ud Online (SQABM) Lampung

Pendidikan moral yang terlampau rasional dan kognitif dianggap tidak efektif dalam pendidikan anak.

Moralitas lebih bersifat gaya kepribadian dari pada gaya berpikir, yang menuntut hidup bersama dalam keharmonisan dengan sesama dan bertujuan untuk membantu peserta didik  agar memedulikan, mengindahkan, dan memperhatikan perasaan serta pribadi orang lain sebagai perwujudan mulia.

Sedangkan akhlak sebagai salah satu orientasi pendidikan yang tidak bisa ditawar-tawar, yang tentunya harus dilakukan secara menyeluruh (komprehensif) dan menyentuh berbagai aspek.

Akhlak tidak dibentuk secara sporadis dan parsial sehingga outcome yang dihasilkan benar-benar dapat eksis pada posisinya, dan mampu merespons berbagai persaingan ketat dan tantangan zaman yang mengglobal.

Di samping itu, akhlak juga mampu mengambil manfaat bagi kehidupan kemanusiaan secara individu maupun sosial terhadap peluang-peluang era yang tersedia dan terbuka lebar dengan berbagai konsekuensi yang mengiringinya.

Era globalisasi yang ditandai dengan adanya perubahan di segala bidang, meliputi politik, ekonomi, sains, teknologi, informasi, sosial, budaya, dan lain-lain, telah membawa pengaruh perubahan besar bagi kehidupan masyarakat dunia. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi, informasi dan transportasi, juga telah membuat segala sesuatu yang terjadi di negeri yang jauh bahkan di benua yang lain bisa diketahui, dan tempat tertentu bisa dicapai dalam waktu yang amat singkat. Dunia ini seperti sebuah kampung yang kecil (global village).

Munculnya era globalisasi ini, nampaknya telah membawa perubahan positif pada perilaku sebagian komunitas manusia, seperti budaya disiplin, kebersihan, tanggung jawab, egalitarianisme dan kerja keras. Bahkan berbagai kemudahan  lainnya, yang sangat berhubungan erat dengan hajat hidup komunitas manusia dapat diakses dengan mudah, cepat, dan murah.

Ini seperti memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan alam serta sosial di berbagai belahan bumi, melakukan komunikasi yang semakin canggih, melakukan perjalanan atau bepergian (mobilitas tinggi), dan menumbuhkan sikap kosmopolitan dan toleran pada setiap individu.

Globalisasi juga telah memacu diri untuk meningkatkan kualitas dalam mengantisipasi dan menghadapi perkembangan ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan.

Juga memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas, mengintegrasikan internasional individu-individu dengan jaringan-jaringan informasi serta institusi ekonomi, sosial dan politik yang terjadi secara cepat dan mendalam pada takaran yang belum pernah dialami selama sejarah sebelumnya.

Semuanya itu merupakan peluang dan tantangan yang memerlukan kesiapan individu, elemen masyarakat, bangsa dan negara dalam mengantisipasi, menerima dan memanfaatkannya.

Namun di sisi lain, era globalisasi telah penciptaan kultur budaya homogen yang mengarah pada penyeragaman selera, konsumsi, gaya hidup, nilai, identitas dan kepentingan individu. Sisi lainnya dapat mengintroduksi dimensi budaya modernitas, seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi dan hak-hak asasi manusia, yang tidak sesuai dengan hati nurani individu manusia yang menghendaki adanya keberagaman.

Padahal keragaman corak, warna dan perilaku sebagai sunatullah adanya yang telah mendapat perhatian secara intens dalam syariat Islam. Implikasi globalisasi telah melahirkan sikap dan sifat manusia berperilaku keras, cepat, akseleratif dan budaya instan.

Manusia tidak ubahnya seperti robot, selalu bersaing ketat, hidup bagaikan roda berputar cepat, meninggalkan norma-norma universal dan semakin memudarnya penghargaan terhadap nilai-nilai spiritual, nilai-nilai transendental, nilai-nilai budi pekerti, dan nilai-nilai agama. Itu semua dapat berimplikasi pada melemah dan melonggarnya bentuk-bentuk identitas kultural suatu bangsa, termasuk pendidikan.

Munculnya kecanggihan sains dan teknologi sebagai ciri khas globalisasi, telah mengakibatkan terjadinya pergeseran substansi pendidikan ke pengajaran. Makna pendidikan yang sarat dengan nilai-nilai akhlak bergeser pada pengajaran sebagai transfer pengetahuan, dengan tujuan agar mampu menjalankan teknologi, demi mencapai tujuan materiil semata.

Konsekwensi Globalisasi

Konsekuensinya, budaya hedonisme, konsumerisme, kesenjangan sosial antara si miskin dan si kaya, degradasi moral dan sederet prilaku tak terpuji terjadi di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia yang kita cintai.Hingga secara perlahan tapi pasti, dampak globalisasi ini telah meruntuhkan nilai budaya lokal ke-timur-an.

Paling mengkhawatirkan lagi, hanyutnya akhlak (spiritualitas) pada pribadi masyarakat yang menimbulkan efek-efek sosial dan berbagai macam perilaku buruk dalam kehidupan bermasyarakat. Dampaknya yang tampak seperti meningkatnya pemberontakan remaja atau dekadensi etika atau sopan santun pelajar, berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan figur-figur yang berwenang, kekejaman dan kebengisan antar kelompok teman sebaya. Ada juga munculnya kejahatan dan sikap fanatik yang penuh kebencian, timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri, perilaku seksual, penyalahgunaan miras atau narkoba dan perilaku bunuh diri.

Banyak remaja mulai mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, kecenderungan untuk memeras, tidak mengindahkan peraturan, melakukan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain tanpa berpikir terlebih dahulu bahwa hal itu salah.

Budaya menyontek, membolos, tidak mengerjakan PR, merosotnya etika kerja, meningkatnya sifat mementingkan diri sendiri (egois) dan kurangnya bertanggung jawab sebagai warga bangsa juga mulai terlihat.

Bahkan sepasang remaja tega membuang bayinya akibat hubungan gelap yang mereka lakukan. Tentu masih banyak lagi sederet tragedi kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dunia, termasuk di bumi pertiwi, Indonesia yang kita cintai.

Namun jika mau dicermati, pada hakikatnya, era globalisasi hanya memberikan opsi untuk diambil sebagai pilihan. Pilihan itu amat bergantung pada kapasitas daya nalar, dan daya rasa individu masyarakat bangsa dalam menyikapi dan memahami pengaruh globalisasi itu.

Secara  faktual, bila disimak lebih sekama tentang fakta-fakta yang terjadi akibat era globalisasi, menunjukkan bahwa faktor manusia menjadi sangat urgen.

Dari sekian aspek positif era globalisasi yang ditawarkan, ternyata hanya segelintir orang saja yang mampu beradaptasi dan merespons untuk mengambil manfaatnya.

Pada umumnya, justru anak bangsa tenggelam dalam buaian hedonisme, terpengaruh iming-iming materialistik yang menggiurkan, tergilas budaya barat yang sekuler yang mengumbar kebebasan dan kenikmatan semu.

Ini artinya bahwa kesiapan anak bangsa menghadapi perubahan era globalisasi ini, secara mental spiritual memang belum siap. Masih perlu waktu yang cukup untuk bisa beradaptasi.

Untuk itulah, diperlukan adanya upaya-upaya konkret, langkah-langkah nyata dan tindakan strategi prospektif yang dilaksanakan oleh para pemangku jabatan, kelompok masyarakat dan semua elemen bangsa. Upaya dilakukan untuk melakukan pembinaan mental spiritual bagi generasi tunas-tunas bangsa yang lebih intensif dan efektif agar anak bangsa memiliki kesiapan prima secara, akidah, ilmu, mental dan profesi dalam menghadapi percaturan global dan persaingan ketat di tengah-tengah antar masyarakat dunia.

Itu sisi urgennya mengapa pendidikan dan pembinaan akhlak menjadi hal utama dan serius bagi generasi pada era globalisasi yang tersu menggelinding deras saat ini dan ke depan. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Admin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.