Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly, menyampaikan keberagaman yang dimiliki Indonesia menimbulkan polemik dan problematika yang tidak dapat dicegah. Itulah sebabnya, pendidikan toleransi menjadi penting diterapkan oleh sekolah atau lembaga pendidikan agar setiap insan memiliki prinsip menghargai perbedaan dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan.
“Permasalahan yang muncul kini semakin kompleks, antara lain meningkatnya kasus radikalisasi, perseteruan, kekerasan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghormati hak-hak orang lain atau intoleransi. Salah satu upaya untuk dapat meminimalisir polemik yang diakibatkan keberagaman adalah dengan meningkatkan toleransi,” kata Yasonna dalam pidato kuncinya pada Webinar Internasional yang diadakan Kementerian Hukum dan HAM dengan Institut Leimena, Jumat (9/12) malam.
Webinar bertemakan “Membangun Budaya yang Menghormati Keberagaman dan HAM melalui Pendidikan Toleransi” dalam rangka Hari HAM Sedunia ke-74 tersebut diikuti sedikitnya 2.100 peserta dengan didahului penyampaian sambutan Direktur Jenderal HAM Kemenkumham, Dr. Mualimin Abdi, dan Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho.
Yasonna menyebut pemahaman akan pentingnya toleransi harus dipupuk sejak dini mulai dari lingkaran terkecil kemudian meluas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
“Upaya penanaman toleransi beragama di sekolah bisa dilakukan dalam bentuk pendidikan toleransi beragama,” ujarnya.
Menkumham mengakui perbedaan dalam keyakinan atau agama menuai banyak konsekuensi. Hal itu dimulai dari sifat dasar pemeluk agama yaitu sikap merasa paling benar atas keyakinannya dibandingkan dengan penganut agama lain dan sifat memandang rendah, atau bahkan menganggap keliru keyakinan dari agama lain. Menurutnya, sifat dasar seperti itu secara tidak langsung dapat membentuk manusia menjadi pribadi kaku dan tidak mudah menerima perbedaan.
“Sehingga terbentuklah manusia-manusia yang bersikap tidak saling menghargai, ingin keyakinannya juga diyakini oleh orang lain, saling menjatuhkan, saling menghujat dan saling mengolok-olok antar pemeluk agama atau bahkan sampai bertindak keras terhadap orang yang berbeda pemahaman dengan mereka,” kata Yasonna.
Yasonna menegaskan sekolah dan lembaga pendidikan harus dapat menjadi tempat yang aman dalam menghadirkan serta mendukung nilai dan sikap toleransi. Pendidikan toleransi sejatinya dipraktikkan dalam proses pembelajaran dan menjadi budaya dalam pendidikan.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
“Segala perbedaan dan keberagaman yang negara kita miliki tidak boleh menjadi sumber konflik dan perpecahan, baik dalam skala internal terkecil maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.
Pendidikan sebagai Kunci
Duta Besar Amerika Serikat (Dubes AS) untuk Kebebasan Beragama Internasional, Rashad Hussain, mengatakan AS dan Indonesia sama-sama berkembang dalam keberagaman dan menganut nilai serupa untuk menjaga persatuan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu) dan E Pluribus Umum (dari banyak menjadi satu). Dalam konteks itu, pendidikan sebagai kunci untuk memperkuat tantangan keberagamanan.
“Pendidikan itu sendiri saja telah menciptakan peluang untuk belajar dan berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda. Bahkan, tanpa kurikulum khusus yang mendorong penghormatan terhadap budaya dan tradisi agama lain,” kata Hussain.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dia menjadi salah satu orang kunci dalam pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, yaitu sebagai penasihat presiden untuk kondisi dan kebijakan kebebasan beragama di dunia.
Hussain mengatakan perlindungan HAM dan kebebasan beragama adalah hal penting. Di satu sisi, melindungi keamanan nasional, di sisi lain juga mencegah kekerasan, kekejaman, dan tragedi di seluruh dunia. Ketiadaan kebebasan beragama bisa melemahkan kerekatan sosial, menyebabkan ketimpangan, serta menimbulkan permusuhan dan keresahan.
“Penelitian menunjukkan pemerintah-pemerintah yang melemahkan kebebasan beragama, menindas praktik keagamaan, kebebasan ekspresi dan identitas justru memupuk ketidakstabilan bahkan kekerasan,” ujarnya.
Hussain mengakui kebebasan untuk berkeyakinan masih menjadi tantangan di banyak tempat di dunia. Konflik dan kebencian juga meningkat seperti antisemitisme, Islamofobia, xenofobia, serta kekerasan terhadap kelompok etnoreligius.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Sepanjang karier saya, saya melihat langsung bagaimana pemerintah kadang aktor non-negara menjadikan agama sebagai senjata dan membuat batasan-batasan sehingga harapan orang terhadap perdamaian dan stabilitas, runtuh,” lanjutnya.
Kurikulum Kurang Substantif
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI dan Senior Fellow Institut Leimena, Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, menceritakan keterlibatannya dalam penelitian bersama Kalijaga Institute For Justice untuk SMP dan SMA di daerah Solo Raya dalam upaya menggali faktor yang mengubah daerah yang awalnya sangat terbuka, namun dalam kurun sekitar 25 tahun menjadi hotspot tindakan kekerasan dan ekstremisme.
Ruhaini menyebut alasannya antara lain kurangnya kurikulum tentang kebudayaan dan aspek-aspek kebudayaan substantif. Sekolah menjadi sangat instruktif dan proses pembelajaran bersifat instrumental.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Selain itu, muatan dari kurikulum kita sangat padat sekali dengan pengetahuan tapi secara afeksi sangat kurang sekali,” katanya.
Ketua Dewan Pengurus Yayasan Cahaya Guru, Henny Supolo Sitepu, mengatakan dukungan terhadap keragaman dan HAM secara eksplisit tertera dalam prinsip Penyelenggaraan Pendidikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003 yang masih berlaku sampai saat ini.
“Dalam temuan Yayasan Cahaya Guru, sayangnya, tidak banyak pemangku kepentingan dunia pendidikan mengetahui kehadiran pasal yang sangat krusial untuk pendidikan keragaman dan HAM,” kata Henny.
Dia mencontohkan situasi di Sumatera Barat dimana terdapat peraturan daerah (perda) yang mewajibkan penggunaan jilbab sebagai seragam di sekolah negeri. Henny mempertanyakan seberapa jauh pemerintah daerah memahami spirit UU Sisdiknas terutama untuk mendukung keragaman Indonesia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Profesor Emeritus Kebijakan Pendidikan Internasional Universitas Vanderbilt, Stephen Heyneman, mengatakan pendidikan toleransi bisa dikembangkan lewat kurikulum maupun praktik/pengalaman di sekolah. Kurikulum artinya secara aktif dan sengaja mendorong kehidupan toleransi dan empati. Sedangkan, praktik berarti guru memberikan teladan kepada murid bagaimana harus bersikap terhadap orang yang berbeda.(AK/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?