Penyebab Datangnya Pertolongan Allah, oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah berfirman:

وَإِنْ يُرِيْدُوْا أَنْ يَخْدَعُوْكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ ۚ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ. (٦٢) وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (٦٣) (الأنفال [٨]: ٦٢-٦٣)

“Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mukmin. (62) Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.” (63) (Q.S. Al Anfal [8]: 62-63)

Kedua ayat di atas memberi petunjuk bahwa pertolongan Allah itu pasti akan diberikan kepada orang yang beriman.
Pertolongan Allah mencakup bermacam-macam bentuk, antara lain sebagai berikut:

Pertama, pertolongan kadang-kadang berbentuk kemenangan langsung yang dibuktikan dengan takluknya musuh, seperti yang dialami oleh Nabi Musa . Allah berfirman:

وَأَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِيْنَ كَانُوْا يُسْتَضْعَفُوْنَ مَشَارِقَ الْأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِي بَارَكْنَا فِيْهَا ۖ وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَىٰ عَلَىٰ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ بِمَا صَبَرُوْا ۖ وَدَمَّرْنَا مَا كَانَ يَصْنَعُ فِرْعَوْنُ وَقَوْمُهُ وَمَا كَانُوْا يَعْرِشُوْنَ (الأعراف [٧]: ١٣٧)

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.” (Q.S. Al-A’raf [7]: 137)

Hal ini juga dialami oleh Rasulullah ﷺ dengan mengalahkan musuh-musuhnya di berbagai medan pertempuran sehingga syariat Islam berkibar di Jazirah Arab. Sebagaimana firman Allah:

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِيْنًا (الفتح [٤٨]: ١)

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata,” (Q.S. Al-Fath [48]: 1)

Kedua, kemenangan kadang-kadang berupa balasan Allah kepada musuh setelah penegak kebenaran wafat. Imam Ath-Thabari ketika menafsirkan Q.S. Al-Mu’min/Ghafir [40]: 51.

إِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُوْمُ الْأَشْهَادُ (غافر [٤٠]: ٥١)

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat),” (Q.S. Ghafir [40]: 51)

Beliau mengatakan bahwa ayat tersebut mengandung makna, Allah telah memenangkan mereka atas orang-orang yang mendustakan-Nya, atau Allah telah membalas orang-orang mendustakan dalam kehidupan dunia setelah rasul-Nya wafat, seperti yang telah Allah lakukan ketika Dia menolong Sya’ya (seorang nabi bangsa Israel) setelah kematiannya dengan memberi kekuasaan kepada orang untuk membalas pembunu-hannya.

Allah juga memberikan kemenangan kepada pengikut Nabi Yahya setelah dia terbunuh dan membinasakan bangsa Romawi yang hendak membunuh Nabi Isa .”

Ketiga, kemenangan dapat berwujud sesuatu yang kita anggap kekalahan karena terbunuh, dipenjara, diusir, atau dianiaya. Karena terbunuhnya penegak kebenaran merupakan kemena-ngan bagi dirinya berupa sebutan (nama) yang baik, keberlang-sungan misinya dan syahadah (persaksian) yang merupakan bentuk kemenangan terbesar. Allah berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ. فَرِحِيْنَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُوْنَ بِالَّذِيْنَ لَمْ يَلْحَقُوْا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ (ال عمران [٣]: ١٦٩-١٧٠)

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Ali Imran [3]: 169-170)

Setelah Hajjaj bin Yusuf membunuh Said bin Jubair , dia merasakan siksaan batin yang hebat sehingga dia tidak bisa tidur dan selalu berdiri dari tempat tidurnya dengan penuh ketakutan seraya berkata, “Apa yang menimpaku dan apa yang menimpa Said?” Akhirnya dia mati dalam kesedihan dan kesengsaraan.

Keempat, istiqamah. Sesungguhnya sikap istiqamah merupakan kemenangan yang nyata dan keberuntungan yang bernilai tinggi.

Istiqamah secara bahasa berarti lurus, teguh dan tetap. Sedang menurut istilah, istiqamah berarti keadaan atau upaya seseorang untuk teguh mengikuti jalan lurus (Islam) yang telah ditunjuk Allah .

Ibnu Katsir dalam menjelaskan istiqamah menggambarkan bahwa Allah memerintahkan rasul dan hamba-Nya yang mukmin agar tetap istiqamah dan terus menerus istiqamah karena itu merupakan pertolongan yang terbesar atas segala permusuhan dan untuk menentang kejahatan. Maka, wajar apabila Allah mengajarkan dan juga memerintahkan agar setiap muslim senantiasa beristiqamah dalam Al-Haq (kebenaran).

Kemenangan dalam bentuk istiqamah ini dapat ditemukan dalam hadits yang bersumber dari Khabbab bin Al-Arats , “Bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang berbantalkan sorbannya di bawah lindungan Ka’bah, kami baru saja bertemu dengan orang-orang musyrik yang menyiksa kami dengan siksaan yang sangat berat, maka kami mengadu kepada beliau dan kami berkata: “Apakah tuan tidak meminta pertolongan untuk kami? Apakah tuan tidak mendoakan kami?” Beliau ﷺ bersabda: “Orang-orang sebelum kalian, ada yang ditanam hidup-hidup lalu didatangkan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya hingga terbelah menjadi dua, tetapi hal ini tidak menjadikan dia mundur dari agamanya. Ada pula yang disikat dengan sikat besi hingga terlepas dagingnya dari tulang atau otot-otot, tetapi hal ini tidak menyebabkan dia mundur dari agamanya.” (H.R. Al-Bukhari)

Kelima, Pertolongan Allah terkadang berbentuk kuatnya hujjah dan penjelasan. Sebagaimana firman Allah :

وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِيْنَ (١٧١) إِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنْصُوْرُوْنَ (١٧٢) وَإِنَّ جُنْدَنَا لَهُمُ الْغَالِبُوْنَ (١٧٣) (الصفات [٣٧]: ١٧١-١٧٣)

“Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul (171), (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan (172). Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang (173),” (Q.S. Ash-Shaffat [37]: 171-173)

Ketika menafsirkan rangkaian ayat-ayat ini, Imaam Ath-Thabary berkata, “Allah menerangkan bahwa telah tetap janji Kami kepada para rasul, bahwa mereka pasti akan ditolong artinya telah berlaku ketetapan dan hukum Kami dalam Ummul Kitab, dan mereka akan mendapatkan pertolongan dan kemenangan dengan hujjah.”

Dengan demikian, kemenangan penegak Al-Haq melalui hujjah (argumen) yang membuat musuhnya diam adalah kemenangan hakiki sebagai pertolongan Allah kepadanya.

Keenam, kemenangan penegak Al-Haq yang tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Waktunya terbentang sejak kehidupan dunia hingga akhirat, dan tempatnya pun terbentang di seluruh bumi Allah . Jika seseorang terkadang menderita di suatu tempat maka di tempat lain dia akan memperoleh kemenangan sebagai-mana yang dialami oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.

Mereka sangat menderita ketika di Makkah. Namun ketika di Madinah, mereka memperoleh kemenangan bahkan dapat kembali ke Makkah tanpa menumpahkan darah (peperangan). Nabi Musa pernah mengalami hal serupa (penderitaan) ketika berada di kawasan kekuasaan Fir’aun, tetapi ia memperoleh kemenangan setelah berada di tempat lain.
Ketujuh, pertolongan Allah dapat berupa perlindungan bagi seorang penegak Al-Haq dari kejahatan musuh yang hendak menyakitinya. Sebagaimana firman Allah :

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِيْنَ (٩٤) إِنَّا كَفَيْنَاكَ الْمُسْتَهْزِئِيْنَ (٩٥) (الحجر [١٥]: ٩٤-٩٥)

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (kamu),” (Q.S. Al-Hijr [15]: 94-95)

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ath-Thabari berkata: “Sampaikanlah dengan jelas perintah Allah dan janganlah kamu takut sedikitpun selain kepada Allah karena Dia akan menjagamu dari orang-orang yang menyakitimu seperti Kami telah memeliharamu dari orang-orang yang mengolok-olok.”

Bentuk-bentuk pertolongan Allah di atas jika kita bandingkan dengan sejarah perjuangan para nabi dan rasul terdahulu, maka kita temukan kenyataan bahwa setiap nabi dan rasul telah mencapai salah satu bentuk dari pertolongan-pertolongan di atas.

Pertolongan Allah kepada Rasulullah ﷺ diwujudkan dengan tegaknya Islam dengan sempurna dan kehancuran musuh-musuhnya. Beliau ﷺ telah menang melalui hujjah; telah menang dengan gagalnya musuh-musuh yang akan membunuh; telah menang di negeri lain; telah menang melalui sikap istiqamah; dan telah menang dengan tersebarnya Islam ke seluruh penjuru bumi.

Dengan demikian, kita tidak dapat memaknai kemenangan hanya dari sudut pandang manusia yang bersifat materi saja.

Kemenangan adalah milik Allah yang akan diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Oleh karena itu, sebagai hamba yang beriman, kita yakin dan mantap tanpa ragu sedikitpun bahwa pertolongan Allah pasti datang. Kita harus yakin bahwa tertundanya pertolongan Allah merupakan ujian. Mahabenar Allah yang berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ رُسُلًا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ فَجَاءُوْهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَانْتَقَمْنَا مِنَ الَّذِيْنَ أَجْرَمُوْا ۖ وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ (الروم [٤٠]: ٤٧)

“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Q.S. Ar-Rum [30]: 47)

Selanjutnya, pada ayat 63 surat Al-Anfal di atas, Allah menyebutkan nikmat yang dilimpahkan kepada orang yang beriman yang akan mendatangkan pertolongan-Nya yaitu ulfah (persaudaraan) di antara mereka.

menafsirkan ayat ini, Ahmad Musthafa Al-Maraghi menyatakan:

وَفِى الْأَيَةِ إِيْمَاءٌ أَنَّ النَّصْرَ يُنَالُ بِالْأَسْبَابِ الَّتِى أَهَمُّهَا التَّأَلُّفُ وَالْإِتِّحَادُ

“Ayat ini mengisyaratkan bahwa pertolongan Allah itu diperoleh dengan berbagai faktor dan yang terpenting adalah kasih sayang dan persatuan.”

Ar-Raghib Al-Asfihani mengatakan, ulfah secara bahasa berarti:

إِجْتِمَاعٌ مَعَ التُّئَامِ

“Berkumpul dengan serasi.”

Dalam bahasa Indonesia kata ulfah dapat diartikan persaudaraan, persahabatan, persatuan, kesesuaian, lemah lembut, kasih sayang dan yang senada dengannya.

Secara tekstual, ayat ini menggambarkan persaudaraan dan kerukunan orang Anshar dari suku Aus dan suku Khazraj setelah mereka masuk Islam. Di masa Jahiliyah, kedua suku ini dilanda permusuhan dan kebencian yang sangat dalam.
Peperangan yang berkepanjangan terjadi ratusan tahun di antara mereka, sehingga Allah memadamkan pertikaian itu dengan cahaya iman, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا ۚ وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ (ال عمران [٣]: ١٠٣)

“Dan berpeganglah kamu kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran [3]: 103)

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa ketika Rasulullah ﷺ di hadapan para sahabat Anshar yang kurang puas dengan pembagian harta rampasan perang Hunain, beliau ﷺ bersabda:“Hai orang-orang Anshar, bukankah aku jumpai kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian melalui diriku; dan kalian dalam keadaan miskin lalu Allah memberikan kecukupan kepada kalian melalui diriku; dan kalian dalam keadaan berpecah-belah lalu Allah menjinakkan hati kalian melalui diriku.” Setiap kali beliau mengucapkan sesuatu, mereka menjawab, “Kami beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Imam Zamakhsyari di dalam Tafsirnya “Al-Kasysyaf”, sebagaimana yang dinukil oleh Prof. Dr. HAMKA dalam Tafsirnya “Al-Azhar” menulis: “Bersatu padunya hati orang-orang yang didatangi oleh Rasulullah ﷺ itu adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang mengagumkan. Karena orang Arab terkenal sangat keras dalam mempertahankan kesukuan dan kebangsaan. Meskipun dalam perkara yang remeh, mereka tidak mau mundur. Jika tersinggung sedikit, segera muncul dendam dan itu tidak habis sebelum malunya tertebus. Orang Arab tidak bisa bersatu, walaupun hanya di antara dua orang.

Namun tiba-tiba mereka bersatu rapat dalam mengikuti Rasulullah ﷺ laksana sebusur anak panah yang diluncurkan tepat mengenai sasaran.”

Hal ini disebabkan karena Al-Qur’an telah membimbing mereka dan menyatukan mereka sehingga timbul rasa cinta yang mendalam di antara mereka. Sirnalah rasa benci di antara mereka karena disatukan oleh cinta karena Allah dan benci karena Allah . Tidaklah akan sanggup berbuat demikian kalau bukan karena Allah yang menguasai hati, yang membolak-balikkan hati menurut kehendak dan kemauan-Nya.”

Ayat di atas walaupun secara tekstual turun berkenaan dengan persaudaraan orang Anshar dari suku Aus dan suku Khazraj tetapi maksudnya adalah umum. Abdullah Ibnu Mas’ud pernah membaca firman Allah : “Walaupun kamu membelanjakan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 63) sampai akhir ayat. Kemudian beliau berkata: “Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang saling menyayangi karena Allah .”

Ayat ini di samping menunjukkan bahwa kasih sayang di antara umat Islam merupakan salah satu penyebab datangnya pertolongan Allah , juga menunjukkan betapa tingginya nilai dan harga persaudaraan di antara umat Islam.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam beberapa hadits, antara lain:

الْمُؤْمِنُ مَنْ آلِفٌ وَمَأْلُوْفٌ وَلَا خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يَأْلِفُ وَلَا يُؤْلَفُ (رواه أحمد)

“Orang mukmin adalah orang yang dapat menyesuaikan diri dan dapat diikuti penyesuaian dirinya. Dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak dapat menyesuaikan diri dan sulit diikuti penyesuaian dirinya.” (H.R. Ahmad)

إِنَّ أَقْرَبَكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا أَحَاسِنُكُمْ أَخْلَاقًا الْمُوَاطِئُوْنَ أَكْنَافًا الَّذِيْنَ يَأْلِفُوْنَ وَيُؤْلَفُوْنَ (رواه الطبراني)

“Sesungguhnya yang paling dekat kedudukan di antara kalian denganku adalah yang terbaik akhlaknya, yang lemah lembut pergaulannya, yang dapat menyesuaikan diri dan dapat diikuti penyesuaian dirinya.” (H.R. At-Thabrani)

إِنَّ أَحَبُّكُمْ إِلَى اللهِ الَّذِيْنَ يَأْلِفُوْنَ أَوْ يُؤْلَفُوْنَ وَإِنَّ أَبْغُضَكُمْ إِلَى اللهِ الْمَشَّائُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ الْمُفَرِّفُوْنَ بَيْنَ الْإِخْوَانِ (رواه الطبراني)

“Sesungguhnya di antara kalian yang paling dicintai Allah adalah yang dapat menyesuaikan diri dan diikuti penyesuaian dirinya. Sedangkan di antara kalian yang paling dibenci Allah adalah yang berjalan dengan mengadu domba dan yang memecah belah di antara saudara.” (H.R. At-Thabrani)

إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا لَقِيَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ تَحَاتَتْ عَنْهَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا تَحَاتَتْ الْوَرَقُ مِنَ الشَّجَرَةِ الْيَابِسَةِ فِى يَوْمٍ رِيْحٍ عَاصِفٍ وَإِلَّا غُفِرَلَهُمَا وَلَوْ كَانَتْ ذُنُوْبُهُمَا مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ (رواه الطبراني)

“Sesungguhnya orang muslim apabila bertemu dengan saudara-nya, lalu ia menjabat tangannya, maka berguguranlah dosa keduanya sebagaimana daun kering berguguran dari pohonnya di hari yang berangin kencang. Dan selain itu dosa-dosa keduanya diampuni sekalipun seperti buih lautan.” (H.R. At-Thabrani)

Abdah bin Abu Lubabah bercerita, dia bertemu Mujahid lalu ia memegang tangannya dan berkata: “Apabila dua orang saling mencintai karena Allah bertatap muka lalu salah seorang di antaranya memegang tangan sahabatnya dan tersenyum kepadanya, maka berguguranlah semua dosanya seperti daun-daun kering berguguran.” Abdah berkata: “Sesungguhnya hal ini sangat mudah.” Mujahid berkata: “Jangan engkau berkata begitu.” Sesungguhnya Allah berfirman:

لَوْ أَنْفَقْتُ مَا فِى الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ

“Walaupun engkau membelanjakan semua kekayaan yang ada di bumi niscaya engkau tidak dapat mempersatukan hati mereka.”

Maka Abdah berkata: “Sejak ini saya mengakui bahwa dia lebih dalam ilmunya dari pada saya.”
Dalam riwayat Ibnu Jarir yang bersumber dari Al-Walid, disebutkan bahwa Mujahid berkata, “Apabila dua orang muslim bertemu lalu keduanya berjabat tangan, maka diampuni dosa-dosanya.”

Al-Walid berkata: “Apa hanya karena berjabat tangan keduanya diampuni dosa-dosanya?” Mujahid menjawab, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah (Kemudian Mujahid membaca Q.S. Al-Anfal [8]: 63).” Maka Al-Walid berkata: “Engkau lebih alim dari pada aku.”

Abdullah Ibnu Abbas berkata: “Sesungguhnya silaturrahim dapat terputus dan nikmat dapat diingkari. Sesungguhnya apabila Allah mendekatkan (melunakkan) hati yang tadinya bermusuh-musuhan maka tidak sesuatupun yang dapat menggoyahkan. Kemudian beliau membaca Al-Qur’an surat Al-Anfal [8]: 63.”

Sementara itu, Umair bin Ishaq mengingatkan bahwa urusan yang mula-mula dilenyapkan dari manusia adalah kerukunan.
Dengan pertolongan Allah dan persatuan kaum muslimin serta kasih sayang yang terjalin di antara mereka, maka betapa pun kesulitan dan bagaimana pun problema yang menimpa umat Islam pasti akan dapat diatasi.

Hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah ﷺ ketika ditanya oleh Hudzaifah bin Yaman tentang bagaimana mengatasi problema umat Islam sepeninggal beliau, dalam sebuah hadits sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جَابِرٍ حَدَّثَنِي بُسْرُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَضْرَمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيَّ أَنَّهُ سَمِعَ حُذَيْفَةَ بْنَ الْيَمَانِ يَقُولُ كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ (رواه البخاري)

Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Al Mutsanna] telah menceritakan kepada kami [Al Walid bin Muslim] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Jabir] telah menceritakan kepadaku [Busr bin Ubaidullah Al Khadrami], ia mendengar [Abu Idris alkhaulani], ia mendengar [Khudzaifah Ibnul yaman] mengatakan; Orang-orang bertanya Rasulullah ﷺ tentang kebaikan sedang aku bertanya beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan aku terkena keburukan itu sendiri. Maka aku bertanya ‘Hai Rasulullah, dahulu kami dalam kejahiliyahan dan keburukan, lantas Allah membawa kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada keburukan lagi? Nabi menjawab ‘Tentu’. Saya bertanya ‘Apakah sesudah keburukan itu ada kebaikan lagi? ‘Tentu’ Jawab beliau, dan ketika itu ada kotoran, kekurangan dan perselisihan. Saya bertanya ‘Apa yang anda maksud kotoran, kekurangan dan perselisihan itu? Nabi ﷺ menjawab ‘Yaitu sebuah kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedomanku, engkau kenal mereka namun pada saat yang sama engkau juga mengingkarinya. Saya bertanya ‘Adakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Nabi menjawab ‘Oh iya, ketika itu ada penyeru-penyeru menuju pintu jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka, mereka akan menghempaskan orang itu ke pintu-pintu itu. Aku bertanya ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka! Nabi ﷺ menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita. Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu? Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka! Aku bertanya; kalau tidak ada jamaah muslimin dan imam bagaimana? Nabi ﷺ menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu.” (H.R. Al-Bukhari)

Di samping itu terwujudnya persatuan dan kasih sayang di antara manusia adalah faktor yang sangat penting dalam memastikan kebahagiaan hidup.

Para peneliti kontemporer membuktikan kebahagiaan hidup sangat ditentukan oleh lima faktor:

1. Persahabatan
Persahabatan sejati (ulfah) setara dengan peningkatan kebaha-giaan dan kepuasan dalam hidup. Ketika para peneliti mencoba melakukan valuasi moneter terhadap persahabatan yang berkualitas, nilainya setara dengan ratusan ribu dollar yang dibelanjakan rata-rata manusia untuk memperoleh kepuasan melalui barang dan jasa.

Di sini membuktikan kebenaran firman Allah:

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (الأنفال [٨]: ٦٣)

“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati manusia tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 63)

2. Bersyukur
Orang yang tahu caranya bersyukur dan berterima kasih adalah orang yang berbahagia.
Profesor Sonja Lyubomirsky dari University of California dalam penelitiannya menemukan bahwa manusia cenderung lebih produktif dan bahagia ketika mereka setiap hari bersyukur.

Menurutnya, mensyukuri hal-hal kecil di sekitar kita merupakan “latihan” yang efektif bagi otak agar senantiasa optimis dalam menghadapi segala sesuatu di masa depan.
Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ mengajarkan kita agar mensyukuri nikmat Allah walau sekecil apapun. Beliau ﷺ bersabda:

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ (رواه أحمد)

“Barangsiapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka tidak akan dapat mensyukuri yang banyak.” (H.R. Ahmad)

3. Optimis
Optimis yang dimaksud di sini adalah memandang masa-masa terberat dalam hidup sebagai sebuah tantangan. Bersikap positif saat menghadapi cobaan hidup akan membuat kita lebih mudah melaluinya.
Menurut Shawn Achor, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa orang menerapkan pola pikir optimis saat menghadapi masalah dan hambatan menunjukkan gejala stress 23 lebih rendah. Mereka juga terhindar dari sakit punggung, kelelahan dan sakit kepala.

4. Ikhlas
Prof. Meredith Terry dari Duke University (AS) meneliti sejumlah orang yang berusia di atas 65 tahun yang memiliki problema kesehatan berupa dementia (pikun) dan arthritis (radang sendi). Ternyata orang yang ikhlas dapat menghadapi proses penuaan lebih baik dari mereka yang saling mengeluh.

5. Olahraga
Olahraga ringan dengan menggerakkan tubuh dapat mengaktifkan endorphin, hormon yang membuat orang merasa bahagia dan mengurangi sakit yang dirasakan.

والله أعلم بالصواب

(A/P2/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.