Jakarta, MINA — Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini disebut-sebut sebagai yang paling sepi dalam tiga dekade terakhir. Bukan tanpa sebab, perubahan sistem radikal dari otoritas Arab Saudi yang mulai beralih ke digitalisasi penuh membuat Indonesia harus beradaptasi cepat.
Situasi itu mengemuka dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk “Optimalisasi Penyelenggaraan Haji Lewat Revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah”, di Gedung Nusantara I DPR RI, Rabu (11/6).
Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq menegaskan, pelaksanaan haji 2025 menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan evaluasi menyeluruh.
Terlebih, Arab Saudi telah menetapkan jadwal haji 2026 dimulai lebih awal, yakni sejak 8 Februari, dengan pemberangkatan pertama dijadwalkan pada April.
Baca Juga: Presiden Prabowo Tegaskan Kekuatan Pertahanan Salah Satu Penjamin Kedaulatan Bangsa
“Pelaksanaan haji tahun ini tercatat paling sepi dalam 30 tahun terakhir. Bahkan pihak Arab Saudi sendiri tampak belum sepenuhnya siap menghadapi transformasi digital layanan haji,” kata Maman seperti dikutip dari laman Parlementaria.
Ia menjelaskan, sistem pelayanan berbasis syaikh dan mu’assasah kini digantikan oleh syarikat atau perusahaan swasta yang mengandalkan sistem digital untuk pendataan hotel, akomodasi, hingga layanan jamaah.
Namun, sistem itu belum sepenuhnya dapat diakses maupun diadaptasi oleh penyelenggara haji Indonesia.
“Kasus data jamaah hilang di Bandung dan Indramayu jadi bukti lemahnya sistem pendataan. Kalau Arab Saudi sudah digital, kita harus segera siap. Pendataan harus rampung jauh-jauh hari sebelum keberangkatan,” tegasnya.
Baca Juga: Era Baru Pertahanan Ramah Lingkungan, Prabowo Resmikan Kendaraan Listrik Taktis “PANDU”
Tak hanya soal data, Maman juga menyoroti lemahnya seleksi kesehatan calon jamaah. Ia menyayangkan masih adanya calon haji yang dipaksakan berangkat meski kondisi medisnya tak layak.
“Jangan karena ingin meninggal di Mekkah, lalu orang sakit berat dipaksa berangkat. Edukasi soal ini penting. Mati di Mekkah belum tentu syahid,” ujarnya.
Masalah transportasi, akomodasi, dan ketidaktertiban penempatan jamaah di hotel juga diungkapnya masih menjadi persoalan, akibat lemahnya koordinasi antar syarikat dan penyelenggara haji nasional.
Untuk itu, Maman mendesak agar revisi UU Penyelenggaraan Haji memperjelas pembagian peran antara regulator, eksekutor, dan pengawas agar tak tumpang tindih.
Baca Juga: Menag RI Umumkan Fase Puncak Haji Armuzna Berakhir
Ia juga menilai Badan Pengelola Haji perlu memiliki unit kehumasan yang kuat agar informasi soal haji bisa tersampaikan dengan cepat dan akurat ke publik.
Komisi VIII DPR RI, lanjut Maman, akan terus mengawal revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah serta UU Keuangan Haji agar lebih transparan dan berpihak pada jamaah.
“Haji itu etalase terbaik negara dalam melayani rakyat. Ini tugas bersama, bukan hanya Badan Haji, tapi juga Kemenag, Kemenkes, Kemenhub, dan Kemenlu,” pungkasnya.
Diskusi ini menjadi bagian dari ikhtiar mendorong optimalisasi penyelenggaraan ibadah haji Indonesia, menghadapi era digitalisasi dan sistem layanan baru dari Arab Saudi. []
Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Rabu ini Tidak Sehat, Warga Rentan Diminta Waspada
Mi’raj News Agency (MINA)