Penyiksaan Anak-Anak Palestina Didanai Amerika Serikat

Pasukan Israel menangkap Fawzi Al-Juneidi (14 tahun) di Hebron, Tepi Barat, Palestina, 7 Desember 2017. (Foto: Wisam Hashlamoun/AA)

Israel adalah satu-satunya negara di dunia yang menerapkan hukuman militer terhadap anak-anak.

Milite Israel secara sistematis telah menargetkan . Mereka biasanya menangkap dan menuntut 500 hingga 700 anak Palestina antara usia 12 hingga 17 setiap tahun. Tentara menginterogasi secara paksa, melakukan kekerasan fisik, dan pengadilan di pengadilan militer tidak memiliki jaminan dasar proses hukum.

Bermodal dana bantuan militer dari setiap tahun, militer Yahudi melakukan kekejamannya terhadap anak-anak Palestina di wilayah Tepi Barat yang diduduki.

Menurut Anggota Kongres AS Betty McCollum, sistem penahanan remaja adalah pelecehan anak yang disponsori negara, dirancang untuk mengintimidasi dan meneror anak-anak Palestina dan keluarganya.

“Itu harus dikutuk, tetapi sama keterlaluannya bahwa dolar pajak AS dalam bentuk bantuan militer untuk Israel diizinkan untuk mempertahankan apa yang jelas-jelas merupakan pelanggaran HAM berat terhadap anak-anak,” katanya pada awal Mei 2019, ketika McCollum memperkenalkan RUU yang mencoba melarang bantuan AS digunakan untuk menyiksa anak-anak Palestina. Namun, RUU yang tidak populer di DPR itu mendapat penentangan yang luas.

Di Tepi Barat yang diduduki Israel, ada dua sistem hukum yang terpisah, yaitu hukum militer Israel yang diterapkan kepada warga Palestina dan hukum sipil Israel yang diterapkan pada pemukim Israel.

Sekitar 2.900.000 warga Palestina tinggal di Tepi Barat, wilayah yang diduduki dengan sekitar 45 persennya adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun, yang telah menjalani seluruh hidupnya di bawah pendudukan militer Israel.

Sejak tahun 2000, lebih dari 10.000 anak Palestina menjadi sasaran sistem pengadilan militer Israel. Pasukan keamanan Israel menahan anak-anak di bawah usia 12 tahun untuk diinterogasi dalam waktu yang lama, meskipun penuntutan terhadap anak-anak di bawah 12 dilarang oleh hukum militer Israel.

Lembaga HAM Human Rights Watch (HRW) melaporkan pada 2018 bahwa pasukan keamanan Israel menahan anak-anak Palestina dengan sering menggunakan kekuatan yang tidak perlu, menanyai mereka tanpa kehadiran anggota keluarganya, dan membuat mereka menandatangani pengakuan dalam bahasa Ibrani, yang sebagian besar tidak mereka mengerti.

Pada tahun 2015, HRW juga menemukan penggunaan kuncian terhadap leher, pemukulan, dan interogasi paksaan pada anak-anak antara usia 11 dan 15 tahun.

Laporan tahun 2018 dari organisasi HAM terkemuka Israel, B’Tselem, menggambarkan realitas suram secara rinci. Setiap tahun, ratusan anak di bawah umur Palestina mengalami skenario yang sama, yaitu pasukan keamanan Israel menjemput mereka di jalan atau di rumahnya saat tengah malam, kemudian memborgol dan menutup mata mereka lalu mengangkutnya pergi untuk diinterogasi, seringkali tentara melakukan kekerasan dalam perjalanan.

Anak-anak itu akan mengalami kelelahan dan ketakutan dalam perjalanan. Sebagian dibangunkan paksa dari tidur, sebagian tanpa makan atau minum selama berjam-jam, lalu anak-anak di bawah umur kemudian diinterogasi.

Mereka benar-benar sendirian di sana, terpisah dari dunia, tanpa orang dewasa yang mereka kenal dan percayai di sisi mereka, dan tanpa diberi kesempatan untuk berkonsultasi dengan pengacara sebelum interogasi. Interogasi itu sendiri sering memberikan ancaman, teriakan, pelecehan verbal dan kadang-kadang kekerasan fisik. Satu-satunya tujuan interogasi itu adalah untuk membuat anak di bawah umur mengaku atau memberikan informasi tentang orang lain.

Anggota Kongres AS dari Demokrat, Betty McCollum, dua kali mengajukan RUU untuk menghentikan bantuan kepada militer Israel yang menahan anak-anak Palestina. (Foto: Greg Nash)

Dalam RUU yang pernah diajukan ke Kongres AS pada November 2017 dan Mei 2019, McCollum menjelaskan bahwa pelanggaran-pelanggaran militer Israel itu diketahui oleh pemerintah Amerika Serikat, pelindung utama negara Yahudi itu.

Catatan RUU itu mengungkapkan, laporan HAM Departemen Luar Negeri AS 2013 menunjukkan bukti bahwa layanan keamanan Israel terus melakukan pelecehan, dan dalam beberapa kasus menyiksa anak di bawah umur, sering ditangkap dengan dugaan pelemparan batu, untuk memaksa pengakuan. Taktik penyiksaan yang digunakan termasuk ancaman, intimidasi, borgol jangka panjang, pemukulan, dan kurungan isolasi.

Para peneliti yang bekerja untuk LSM lain, Defense for Children International Palestine (DCIP), mengumpulkan keterangan tertulis dari 739 anak Palestina yang ditahan di Tepi Barat antara 2013 hingga 2018. DCIP menemukan bahwa 73 persen anak-anak telah mengalami kekerasan fisik, 96 persen ditutup matanya, 96 persen diinterogasi tanpa kehadiran orang tua atau anggota keluarga, 20 persen menjadi sasaran tekanan oleh para interogator, dan 49 persen ditahan dari rumah mereka di tengah malam. Lebih dari 120 anak-anak ditahan secara terpisah untuk keperluan interogasi selama rata-rata 13 hari sebelum tuduhan diajukan.

Brad Parker, penasihat senior untuk kebijakan dan advokasi di DCIP mengatakan, ketika pendudukan militer Israel menjadi semakin mengakar tanpa akhir, dampak manusia dari pendudukan semakin terlihat. Otoritas Israel telah menikmati begitu lama kekebalan hukum sistemik mengenai penyebaran luas perlakuan buruk terhadap tahanan anak-anak Palestina.

“Perdamaian hanya dapat dicapai dengan menghormati hak asasi manusia, terutama hak anak-anak,” tegas McCollum pada awal Mei 2019.

Wakil direktur lembaga HAM Yahudi Jewish Voice for Peace, Rabbi Alissa Wise, mengatakan, anak-anak Palestina seperti semua anak-anak, harus dilindungi dan dihargai.

“Tidak masuk akal bahwa bantuan militer AS ke Israel memungkinkan pelecehan sistematis anak-anak Palestina oleh militer Israel. Pemukulan, kurungan isolasi, dan penahanan sewenang-wenang bukanlah cara untuk memperlakukan anak,” katanya.

 

Pengakuan Anak-Anak Palestina

Salah seorang tahanan anak Palestina yang pernah dipenjara oleh Israel adalah Ahed Tamimi. Ia mengaku, dirinya diperlakukan kasar selama ditahan. Dia berusia 16 tahun ketika ditahan Israel pada saat itu.

“Saya didudukkan di kursi di sudut ruangan, kaki dan tangan saya diborgol,” akunya.

Menurut Ahed, hal yang paling sulit dalam penahanannya adalah saat-saat dirinya diinterogasi. Ia menjalani masa interogasi selama 16 hari dan diiterogasi sebanyak empat kali. Ahed menjalani masa penahanan selama delapan bulan. Aksi Ahed pernah menjadi sorotan dunia. Pasalnya, ketika itu video yang memperlihatkan dirinya menampar pasukan Israel sempat viral.

Sementara Malak Al-Ghalith, ia diinterogasi di kamp militer Israel di Yerusalem. Ketika itu, usianya baru 14 tahun. Ia dituduh menyerang pasukan Israel dengan menggunakan pisau. Berbeda dengan Ahed, Malak disuruh untuk menandatangani sebuah dokumen yang dia tidak paham isinya karena menggunakan bahasa Ibrani.

Malak baru mengetahui isi dokumen yang diparaf tersebut –yakni tuduhan kalau dirinya membawa pisau dan menyerang pasukan Israel- ketika di pengadilan. Namun akhirnya. berdasarkan bukti yang ada, Malak tidak terbukti melakukan tuduhan tersebut. Meski demikian, dia sempat ditahan di penjara Israel selama delapan bulan.

Tahanan lainnya, Husam Abu Khalifa, mengalami perlakuan yang lebih buruk selama di penjara Israel. Dia ditahan karena dianggap berbahaya, dinilai memperlihatkan niatan untuk melancarkan serangan teror dan mendukung ISIS.

Saat pertama kali ditahan, Husam berusia 16 tahun. Dia mendekam di penjara Israel selama 14 bulan. Menurut pengakuannya, Husam ditempatkan di dalam sel isolasi. Dia harus tidur di atas selimut yang basah yang digelar di dalam kamar mandi. Husam mengatakan, selnya itu adalah kamar mandi dan kondisinya begitu jorok. (T/RI-1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.