Oleh Hayatdin, Da’i Jama’ah Muslimin (Hizbullah), tinggal di Bogor
Pembantaian yang dilakukan Zionis Israel seolah sulit untuk dihentikan. Kekejaman akibat pembantaian di Gaza telah menewaskan hampir menembus angka 40 ribu orang, yang sebagian besar terdiri dari anak- anak, perempuan dan orang tua.
Selain itu, serangan Zionis juga membombardir objek sipil seperti rumah sakit, pemukiman warga, fasilitas pendidikan, hingga memutus saluran komunikasi.
Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana menyebut, peristiwa pembunuhan secara meluas dan sistematis, penganiayaan, hingga okupasi yang dilakukan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip universal HAM serta pelanggaran serius terhadap hukum internasional sesuai dengan Pasal 2 (7) dan Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa/ PBB (The Charter of UN).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Poin penting Piagam PBB adalah untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional serta menahan diri dalam aktivitas yang berkenaan dengan penggunaan senjata dan ancaman kekerasan.
Dalam keterangannya, Satria menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban atas kejahatan internasional yang dilakukan oleh Israel di satu sisi dalam kacamata hukum internasional. Serta bagaimana konsolidasi internasional dapat menjadi salah satu agenda mendesak dalam mewujudkan perlindungan dan keamanan bagi masyarakat Palestina yang menghadapi situasi genosida dan sangat mengerikan.
Para zionis Yahudi ini sudah tidak lagi mempunyai rasa kemanusian di dalam hatinya. Walaupun dikecam dari berbagai penjuru hati, nuruaninya bagai besi karatan, sebagaimana digambarkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 7, yang artinya “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”
Berbagai kerusakan yang menghalalkan segala cara inilah yang kemudian membuat kesengsaraan terhadap bangsa Palestian.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kelompok Yahudi
Lalu siapa kelompok Yahudi ini yang datang memaksa menduduki tanah bangsa Palestina?
Para ahli mengelompokkan Yahudi dalam tiga kelompok besar, yaitu Ashkenazim, Sefardim, dan Syarqiyin. Ketiganya masih eksis dan berkembang hingga dewasa ini di berbagai belahan dunia.
Pertama, Ashkenazim, adalah kelompok Yahudi yang disebut juga dengan Yahudi Khazar dan dinisbatkan kepada Yahudi Jerman, atau Yahudi keturunan Jerman.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Mereka hidup di negari-negeri yang berbahasa Jerman umumnya, yang hidup berkembang pada Abad Pertengahan, khususnya sejak abad 13 M.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, negara dan peluang yang dimanfaatkan, pada gilirannya mereka menyebar ke negeri-negeri Timur dan Barat. Mereka yang pada mulanya berbahasa Jerman, dengan menyisipi beberapa kosa kota Ibrani dan bahasa asing lainnya menetapkan dan melestarikan bahasa mereka yang dinamakan dengan Viadish.
Mereka umumnya menetap di Inggris, utara Prancis, serta sebagian wilayah Austria yang dihuni suku-suku Slavik.
Kedua, Sefardim, adalah orang-orang Yahudi yang berpindah ke Semenanjung Iberia Spanyol, khususnya setelah wilayah itu ditaklukkan oleh kaum Muslim sejak tahun 711 M.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Mereka menggunakan bahasa Spanyol sebagai bahasa sehari-harinya meng-gantikan bahasa Arab. Pada masa pemerintahan Islam di sana, orang-orang Yahudi berkembang pesat, tetapi setelah pemerintahan Islam runtuh di sana dan digantikan oleh pemerintahan Nasrani yang Katolik, orang-orang Yahudi ikut terdesak dan tertekan. Karenannya, tidak sedikit mereka yang berpura-pura masuk Kristen atau Nasrani Marony khususnya. Padahal mereka tetap menjalankan ritual keagamaan Yahudi secara sembunyi-sembunyi.
Kondisi yang demikian tentu tidak menguntungkan, karenanya mereka umumnya berimigrasi ke wilayah utara Eropa, khususnya ke Jerman dan daerah dataran-dataran rendah sekitarnya. Mereka bergabung dan bersatu dengan sekte Yahudi Ashkenazim, walaupun pada awalnya saling mengklaim masing-masing menyatakan kelompoknya yang paling mulia.
Hanya saja dalam rangka menghadapi tekanan Eropa umumnya dari yang Kristen, sejak abad 16-18 M, mereka bersatu dan kemudian kebanyakan mereka berpindah pula ke Slanik di Yunani.
Ketiga, Syarqiyin, mereka adalah kelompok Yahudi yang terusir dan meninggalkan tanah Palestina. Mereka menyebar di Irak, Iran, Afghanistan, Delta Mesir Barat dan Utara Afrika (Maroko dan sekitarnya).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Mereka Yahudi yang menggunakan bahasa setempat di mana mereka berdomisili, walaupun bahasa tradisionalnya tetap mereka pertahankan.
Ketika pertengahan abad ke 20 M, ramai-ramai Yahudi kembali ke Palestina, terutama dalam peperangan Islam-Yahudi 1960-an. Kelompok Yahudi Syarqiyin ikut juga kembali ke Palestina dan setelah berada di sana mereka disebut Yahudi Separdim dan mereka memiliki Rabi sendiri.
Dalam perkembangan sejarahnya, penggunaan istilah Yahudi Ashkenazim adalah Yahudi Barat dari Eropa dan Amerika yang berpindah ke Palestina. Padahal banyak di antara mereka yang berasal dari kelompok Yahudi Sefardim. Akibatnya neraca sosial di kalangan Yahudi juga terbalik.
Status Yahudi Ashkenazim naik statusnya dan Sefardim turun statusnya. Tidak hanya itu Ashkenazim menjadi pemegang kendali politik di negara Israel hingga dewasa ini. Dengan demikian, masyarakat Israel dewasa ini didominasi oleh kebudayaan dan orang Yahudi Barat-Ashkenazim, termasuk yang menduduki posisi-posisi strategis dalam negara-pemerintahan Israel.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Adapun kelompok Yahudi Sefardim atau yang lazim disebut dengan kelompok Yahudi Timur, dalam pandangan orang Yahudi adalah kelompok Yahudi kelas bawah, satu tingkat di atas warga negara Israel yang keturunan Arab. Kemudian para pendatang lainnya, termasuk yang Kristen yang ada di Israel merupakan kelompok/ kelas keempat.
Perihal kondisi memprihatinkan eksistensi Yahudi Timur-Sefardim umumnya dan Yahudi Sudan-Ethiopia yang berpindah ke Israel sejak 14-20 tahun lalu, seperti diberitakan oleh majalah Falestin al-Muslimah, mereka hidup pada lapisan terbawah (kelima). Jadi, di bawah Arab-Islam (lapisan ketiga) dan Kristen lainnya bertengger di lapisan keempat.
Begitu juga Yahudi yang berpindah dari Irak dan Mesir, mendapatkan perlakuan diskriminatif dan pelecehan-pelecehan dari Yahudi Barat Ashkenazim yang menempati posisi dan peran strategis dalam menentukan kebijakan politik, ekonomi, sosial dan administrasi di Israel.
Mereka merupakan pemegang pimpinan di Israel dan sekaligus ekstremis Zionisme international yang memiliki sarana jaringan IT yang mampu merombak tatanan IT dunia. Mereka yang punya Yahoo, Google dan dengan situs-situs porno yang dapat menambah kekayaan Israel Yahudi secara pasti.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Perebutan Tanah Palestina dalam Sejarah
Harus diakui bahwa Turki ‘Utsmâni menguasai Tanah Palestina dalam waktu yang lama, yaitu sejak wilayah ini dan Timur Tengah umumnya berada di bawah kekuasaannya yang tidak kurang dalam tiga abad.
Palestina baru berpindah tangan dari Turki Usmani ke Imperialisme Inggris pada tahun 1917, akibat dari kekalahan Turki Usmani dalam perang.
Hanya saja seolah Palestina baru berpindah tangan dari orang Arab-Islam kepada orang-orang Yahudi setelah mereka mendeklarasikan Israel sebagai satu negara merdeka pada tanggal 15 Mei 1948.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Dalam rentang tahun 1948-1968, Israel sudah cukup eksis dan kuat di Palestina serta di sekitar Timur Tengah umumnya. Buktinya dalam peperangan pada 1967, beberapa negara Islam yang terlibat, seperti Mesir, Yordania, Suriah, Bairut, Arab Saudi, Irak dan Palestina sendiri berhadapan dengan Israel, tetapi dalam kenyataannya umat Islam dengan negara masing-masingnya tidak dapat berbuat banyak. Selain itu, Israel menjadi sahnya berdiri sebagai satu negara merdeka dari hasil caplokan beberapa negara Islam yang disebut di atas.
Pertanyaannya, bagaimana bisa berdiri Israel sebagai satu negara merdeka, di satu wilayah kekuasaan sah Turki Usmani? Hal ini tidak lepas dari dukungan dan keinginan beberapa negara Barat, dan Inggris khususnya.
Orang-orang Yahudi dalam sejarahnya sampai pada zaman modern menghalalkan segala cara demi terwujudnya rencana dan target kekayaan dan politiknya. Di Inggris, Eropa sebelumnya, tepatnya tahun 1897, sudah dibentuk satu organisasi yang bernama Judenstat atau kemudian lebih popular State of Israel. Organisasi ini berideologi seperti makna zionisme (zion artinya batu atau merujuk ke haikal Sulaiman yang ada di Al-Quds) untuk dijadikan sentra negara Yahudi.
Kejahatan Genosida
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Istilah kejahatan genosida pertama kali diperkenalkan oleh Raphael Lemkin dalam bukunya berjudul “Nazi crimes in occupied Europe” pada 1944 yang kemudian menjadi dasar penuntutan pada Mahkamah Militer Nurenberg yang kemudian diakui dalam Resolusi Majelis Umum PBB (G.A. Res 96 (1)).
Pada 1948 disepakatinya Konvensi Anti-enosida 1948 sebagai aturan internasional untuk menindak pelaku kejahatan genosida. Kelemahan konsep tersebut adalah tidak adanya pengadilan internasional permanen yang dapat mengadili pelaku kejahatan genosida sebelum 1998. Ada dua pengadilan ad hoc seperti International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan International Criminal Tribunal for ex-Yugoslavia (ICTY) (Robert Cyrer, 2012).
Pada Statuta Roma 1998 kemudian memberikan mekanisme efektif untuk menghukum pelaku kejahatan genosida pada pengadilan internasional yang permanen, yaitu International Criminal Court. Unsur kejahatan genosida diatur pada Pasal 6 Statuta Roma 1998, menurut William A. Schabas dalam bukunya “The Handbook of International Crimes”, Genosida daripada 3 jenis kejahatan lain yang sesusai eengan Statuta Roma 1998 adalah pada aspek “menghancurkan” etnis, ras, bangsa, dan agama objek yang dihancurkan adalah: (1) Fisik; (2). Biologis/genetika; (3). Budaya (Wiliam Schabas, 2007).
Dalam konteks tersebut, sangat jelas kemudian bagi pelaku kejahatan yang dengan sengaja berniat untuk menghancurkan suatu kelompok bangsa, etnis, ras, agama tertentu baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk kaitannya dengan upaya menghancurkan ekosistem dia dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan genosida
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
Aktivitas serangan yang meluas dan sistematis yang dilakukan oleh Israel masuk kategori kejahatan Agresi, Robert Cyrer dalam bukunya “an introduction of international criminal court” menyebutnya sebagai pertanggungjawaban kepala negara yang bertindak atas nama negara yang bertanggung jawab atas unlawful use of force dan crime against peace (2007: 262).
Human Rights Watch (HRW Reports, 2020) bahkan menyebut kejahatan Israel terhadap masyarakat Palestina sebagai kejahatan Apertheid di mana istilah ini juga pernah terjadi di Afrika Selatan akibat penindasan atas nama ras, suku,etnis, dan bangsa yang terjadi. Setidaknya, ada dua mekanisme internasional kunci, yaitu Convention Elimination Racial Discrimination (CERD).
Serta, dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Statuta Roma 1998 yang menyebut kejahatan tersebut sebagai bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan perang (war crimes).
Kejahatan agresi memang belum memiliki aturan yang kuat terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban kriminal individual, karena berdasarkan Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 121 dan Pasal 123 Statuta Roma 1998, kejahatan agresi perlu ada mekanisme amandemen dan revisi statuta, untuk menjerat Benyamin Netanyahu ataupun komandan militer dari Israel yang bertanggung jawab atas invasi yang dilakukan.
Dalam konteks akumulasi kejahatan yang dilakukan oleh Israel sebagai kejahatan agresi, William Schabas (2007:138) menjelaskan terkait pertanggungjawaban negara (state responsibility) yang melakukan kejahatan agresi dapat dituntut dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) sebagai negara yang merintangi prinsip perdamaian internasional yang tunduk pada Bab VII dari Piagam PBB.
Mekanisme ajudikasi dapat dianggap sebagai salah satu solusi dan efek jera bagi negara seculas Israel untuk mempertanggungjawabkan kejahatan aliens occupation. Istilah ini dapat ditemukan dalam Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1949 yang pada intinya mengatur mengenai hukum humaniter internasional, yang dilakukan selama ini dan dapat menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat internasional dalam mewujudkan perdamaian internasional yang sesungguhnya.
Melindungi Warga Palestina
Di luar mekanisme ajudikasi, ada mekanisme diplomasi dengan mendesak peran Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB untuk memihak pada prinsip kemanusiaan. Jangan sampai preseden kejahatan kemanusiaan berulang karena ada pembiaran kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan terjadi.
Serta menahan diri dalam menggunakan kepentingan politik yang mengaburkan dan menjustifikasi kejahatan internasional yang dilakukan oleh Israel atas motif apa pun.
Termasuk, memanfaatkan organisasi internasional lainnya seperti Organisasi Kerja sama Islam (OKI) serta Liga Arab untuk berkonsolidasi dalam mewujudkan perdamaian dan menghentikan gencatan senjata di Palestina. Walaupun akan menghadapi situasi terjal karena political driven yang dilakukan negara sekutu Israel dengan dalih perdagangan minyak dan pasar bebas.
Terpenting juga, tidak ada lagi standar ganda dalam memahami akar konflik bersenjata yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, sehingga kejahatan genosida ini kembali terjadi. Tidak ada celah sedikit pun dalam mengizinkan serangan dengan niat untuk menghancurkan warga Palestina tersebut.
Sehingga preseden kemanusiaan ini tak dicatat sejarah berulang, bahwa terjadi pembiaran terhadap upaya genosida terhadap warga Palestina merupakan kejahatan berat hukum internasional. []
Mi’raj News Agency (MINA)