Pendidikan Madrasah di Era Ottoman

Oleh: Yollanda Vusvita Sari, M.Pd.; Wakil Ketua Umum RANIA , Pemerhati Budaya

adalah tulang punggung sistem pendidikan Kesultanan Ottoman di era klasik dan memainkan peran krusial dalam perkembangan budaya dan peradaban Ottoman.

Sistem madrasah yang diwarisi dari Kesultanan Turki Seljuk kemudian terus diperkuat melalui pembangunan masjid beserta madrasah di wilayah yang ditaklukkan Ottoman.

Tradisi ini diarahkan sebagai penyediaan layanan keagamaan, ilmiah dan pendidikan yang diperlukan bagi masyarakat serta untuk melatih personel administrasi dan hukum untuk keperluan pemerintahan.

Dengan cara inilah negara Ottoman mampu menyediakan personel terpelajar dalam pemerintahannya dan pada saat yang sama mampu menjalankan tugasnya dalam yurisprudensi Islam dan praktik hukum Ottoman.

Peneliti Seljuk University, Ruhi Ozcan, menjelaskan bahwa madrasah yang didirikan oleh sultan disebut “sultaniye” dan yang didirikan oleh negarawan atau ulama sebagai yayasan disebut “swasta”.

Ada madrasah di hampir semua masjid besar di berbagai kota besar di Turki. Pada masa Ottoman, ulama (professor) yang mengajar di madrasah disebut “mudarris”, siswa madrasah disebut “suhte” yang berarti seseorang yang terbakar demi mencari kebenaran. Murid dari seorang guru ulama disebut “shakird”, di mana murid baru melayani guru mereka dan menjadi asisten yang mengurusi urusan sehari-hari di madrasah (Ozcan, 2015).

Sementara itu Ayla Akbash, peneliti Kocaeli University menyatakan bahwa dengan arahan dari mudarris, para murid yang telah lulus dari madrasah akan pergi ke pusat keilmuan lainnya (di Kairo, Samarqand, Bukhara, Baghdad, dan Damaskus) dan melanjutkan pendidikan mereka di kota tersebut dengan mempelajari agama, budaya dan peradaban Islam. Kemudian mereka akan kembali ke kota asal mereka sebagai cendekiawan muslim (Akbash, 2014).

Pakar Ottoman, Professor Ekmeleddin Ihsanoğlu dalam makalahnya menyebutkan madrasah Ottoman pertama kali didirikan di Iznik (Nicea) oleh Orhan Gazi pada tahun 1331 segera setelah penaklukkan kota tersebut.

Setelah Orhan Gazi mengatur wakaf dan keuangan, ia mengangkat ulama Anatolia paling terkenal saat itu yaitu Mevlana Davud al-Kayseri (w. 1351) yang telah menyelesaikan pendidikannya di Mesir sebagai pemimpin madrasah.

Ulama besar para penerus Davud al-Kayseri seperti Taceddin al-Kürdi dan Alaeddin Esved (w. 1393) semuanya juga mengajar di madrasah ini.

Madrasah lain juga dikembangkan di seluruh wilayah kesultanan untuk meningkatkan pengetahuan agama penduduk Muslim serta memperkuat kesetiaan masyarakat kepada sultan. Untuk mengelola madrasah ini, pihak kesultanan mengundang cendekiawan dari berbagai belahan dunia Muslim, diantaranya Ala’ al-Din al-Tusy (w. 1482) (Ihsanoğlu, 2004).

Madrasah Mehmed Sang Penakluk

Perkembangan yang pesat dalam pendidikan agama terjadi dengan naiknya kekuasaan Sultan Mehmed Sang Penakluk (1451-1481), yang mendirikan madrasah untuk memenuhi kebutuhan ulama dan ilmuwan Muslim di kekaisaran.

Setelah penaklukkan Konstantinopel, untuk mengubah ibukota baru tersebut menjadi pusat keilmuan Islam (Dar al-ilm), ia mendirikan kompleks masjid (külliye) yang dinamakan Fatih Cami di puncak salah satu bukit di Istanbul (Ihsanoğlu, 2004).

Sultan Mehmed al-Fatih juga mengubah delapan gereja menjadi madrasah yang disebut Sahn-i Seman atau Semaniye dan menugaskan ke masing-masing madrasah ini seorang ulama sebagai direktur.

Madrasah Semaniye melekat dengan Fatih Cami dan memiliki ruang kelas yang luas, dan masing-masing memiliki perpustakaannya sendiri (Akbash, 2014).

Menurut piagam pendirian madrasah di kompleks Fatih Cami, Madrasah Semaniye terdiri dari delapan madrasah yang mengelilingi Fatih Cami dan delapan madrasah lebih kecil di belakangnya yang disebut dengan Tetimme.

Selain itu sebuah Dar al-talim (sekolah dasar) dibangun di sisi yang menghadap ke gerbang barat. Dari piagam tersebut kita mengetahui bahwa kompleks ini merupakan pusat pendidikan dengan kualitas terbaik yang dilengkapi dengan fasilitas rumah sakit, perpustakaan dan dapur umum.

Dalam sebuah studi terdapat pendapat bahwa Madrasah Semaniye dianggap memiliki kemiripan dan setara dengan institusi universitas di Eropa. Para intelektual terbaik Ottoman seperti Ali Kuşçu, Wazir Mahmud Pasha dan Molla Hüsrev berperan dalam pengembangan kurikulumnya.

Di dalam piagam madrasah juga ditemukan persyaratan bahwa guru yang akan diangkat harus mencakup ilmuwan baik dalam studi agama maupun ilmu “rasional” yang meliputi logika, filsafat dan matematika.

Piagam juga menunjukkan bahwa dasar madrasah bertumpu pada aturan hikmet (kebijaksanaan) dan madrasah didirikan berdasarkan aturan geometri yang membedakan dari madrasah sebelumnya. Dengan mendirikan Madrasah Semaniye ini sistem pendidikan tinggi di negeri Ottoman pun dirancang.

Di sinilah pengaruh Ali Kuşçu ditemukan, di mana ia berasal dari Samarqand serta dikaitkan dengan Uluğ Bey dan kalangan ilmiah yang berkaitan dengan matematika dan astronomi. Pengaruh studi agama dan ilmu rasional yang mulai diajarkan bersamaan ditemukan setelah periode Sultan Mehmed II.

Madrasah Semaniye kemudian menjadi instutusi pendidikan dengan peringkat tertinggi di kesultanan, bahkan melebihi Dar al-Hadis yang didirikan Sultan Murad II (1421-44, 1446-1451) di Edirne dan madrasah lain di Bursa (Ihsanoğlu, 2004).

Perkembangan Madrasah Süleymaniye

Professor Ihsanoğlu menyatakan bahwa sistem madrasah semakin berkembang di bawah Sultan Süleyman Agung (1520-1566) yang membangun kompleks masjid bernama Süleymaniye Cami, yang akan menjadi puncak budaya, seni dan peradaban Ottoman. Sultan Süleyman menempelkan madrasah ke masjidnya, yang ditujukan sebagai pusat pembelajaran di dunia Islam.

Kompleks ini mencerminkan zaman keemasan Ottoman dan kejeniusan arsitek utamanya Mimar Sinan yang menandai dimulainya fase perkembangan dan inovasi penting dalam pendidikan Ottoman. Berbagai sekolah dan madrasah dibangun di sekitar masjid yang menawarkan berbagai jenjang dan bidang pendidikan khusus. Sebuah sekolah dasar dan empat madrasah didirikan di sana. Mereka terdiri dari madrasah evvelmadrasah saniyemadrasah salise dan madrasah rabiye (Ihsanoğlu, 2004).

Pada tahun 1556, Sultan Süleyman juga mendirikan sekolah kedokteran pertama di Kesultanan Ottoman yang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dokter medis di wilayah Ottoman.

Sultan sangat membutuhkan dokter untuk mendukung pasukannya yang terlibat dalam ekspedisi militer di wilayah terluar dan jauh dari ibukota. Namun kurikulum fakultas kedokteran di Madrasah Süleymaniye masih terkonsentrasi pada pengetahuan dan praktik kedokteran berdasarkan ajaran klasik dari Galen dan Avicenna (Khuluq, 2005).

Penjelasan menarik tentang Madrasah Süleymaniye dipaparkan oleh Latiful Khuluq, peneliti UIN Sunan Kalijaga dalam makalahnya. Dia menyebutkan Sultan Süleyman juga mendirikan sekolah untuk melatih para sarjana dan hakim Islam. Selain itu terdapat madrasah khusus, Dar al-hadis (pusat studi Hadits) dan Dar al-tibb (pusat studi kedokteran).

Ada juga bimarhane (rumah sakit), Dar al-zifaye (dapur umum), Tabhane (rumah pemulihan) dan Dar al-adviye (apotek).

Kompleks Süleymaniye Cami ini adalah contoh perkembangan yang lebih baik sejak kompleks Fatih Cami dengan cara pandang komprehensif di mana kompleks masjid Ottoman menangani layanan kemanusiaan, agama, sosial dan budaya.

Mereka yang lulus dari madrasah-madrasah ini akan ditugaskan ke berbagai pos jabatan tertinggi di negara bagian Ottoman seperti kantor hakim, rumah sakit, mufti dan petugas pajak.

Dapat disimpulkan bahwa Madrasah Semaniye dan Madrasah Süleymaniye merupakan institusi pendidikan yang berperan penting dalam perkembangan peradaban Ottoman.

Peranan madrasah ini dapat disetarakan dengan peranan universitas di kerajaan-kerajaan Eropa pada saat itu.

Madrasah ini terus beroperasi sampai akhir pemerintahan Ottoman dan ditutup oleh pemerintahan republik Mustafa Kamal Ataturk pada tahun 1924.(AK/R1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)