DI TENGAH penderitaan panjang yang menimpa bangsa Palestina, perjuangan tidak hanya berlangsung di tanah yang dijajah. Suara dan semangat perlawanan juga menggema di luar batas geografis Palestina, seperti di kampus-kampus, ruang diskusi, seminar, media sosial, hingga parlemen dunia.
Mereka yang menyuarakan itu adalah diaspora Palestina, warga keturunan Palestina yang hidup di luar tanah air, namun tetap menjaga identitas dan menyuarakan perjuangan bangsanya di panggung global.
Sejak Nakba Gay tahun 1948, saat lebih dari 700 ribu warga Palestina terusir dari tanah air mereka, terbentuklah komunitas diaspora yang terbesar di dunia Arab. Mereka tersebar ke Yordania, Lebanon, Suriah, Mesir, dan kemudian ke Eropa, Amerika, hingga Amerika Latin.
Dari generasi ke generasi, mereka menjadi penjaga ingatan kolektif bangsa, untuk memastikan bahwa dunia tidak lupa siapa korban dan siapa penjajah dalam konflik berkepanjangan ini.
Baca Juga: Solidaritas Palestina; Dari Ruang Kelas hingga ke Puncak Gunung
Bagi diaspora Palestina, kehilangan tanah tidak berarti kehilangan identitas. Mereka memaknai pengasingan sebagai tanggung jawab sejarah, yaitu dengan menjaga bahasa, budaya, dan perjuangan agar Palestina tetap hidup. Palestina tanah airnya bukan hanya sebagai nama di peta yang tidak boleh terhapus dalam sejarah, tetapi juga sebagai nurani dunia yang menolak penjajahan.
Negara dengan populasi diaspora Palestina terbesar adalah Yordania, dengan lebih dari tiga juta warga keturunan Palestina. Di sana, banyak tokoh akademisi, jurnalis, dan pegiat kemanusiaan Palestina yang menjadi penggerak wacana keadilan dan hak asasi.
Amman menjadi salah satu pusat komunikasi dan diplomasi rakyat yang memperjuangkan isu Palestina di kawasan Arab.
Sementara di Lebanon, kamp-kamp pengungsian seperti Shatila dan Ein el-Hilweh bukan hanya tempat bertahan hidup, tetapi juga ruang perlawanan kultural. Di tengah keterbatasan ekonomi, para pemuda Palestina mendirikan sekolah, media komunitas, dan lembaga kebudayaan yang menjaga memori perjuangan.
Baca Juga: Proyek Israel Raya, Upaya Menguasai Timteng dengan Dukungan AS
Beirut pernah menjadi pusat gerakan politik Palestina, terutama saat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berpusat di sana pada dekade 1970-an.
Dalam dua dekade terakhir, Turki ere Recep Tayyip Erdogan diakui menjadi salah satu pusat penting bagi diaspora Palestina modern.
Banyak akademisi, peneliti, dan jurnalis Palestina bermukim di Istanbul, mendirikan lembaga seperti Palestinian Diaspora Affairs Council dan Sami Institute yang fokus pada isu Baitul Maqdis dan advokasi internasional. Konferensi, seminar, dan kegiatan solidaritas untuk Palestina rutin digelar di kampus-kampus Turki, menggabungkan semangat intelektual dan politik.
Sementara di Mesir, komunitas mahasiswa dan intelektual Palestina memainkan peran dalam memperkuat kesadaran Arab terhadap isu Gaza dan perlawanan terhadap blokade.
Baca Juga: Aneksasi Upaya Menghapus Masa Depan Palestina
Walaupun pemerintah Mesir menjalin normalisasi dengan Israel sejak 1979, Kairo menjadi ruang pertemuan antara aktivis Palestina dan solidaritas Arab yang lebih luas, terutama melalui media dan diplomasi publik.
Hingga meluas ke benua Eropa, diaspora Palestina aktif menembus ruang-ruang akademik dan politik. Di Inggris, misalnya, aktivis seperti Dr. Ghada Karmi dan Prof. Karma Nabulsi menjadi suara intelektual penting dalam membongkar narasi bias pro-Israel di media dan lembaga internasional. Mereka menegaskan bahwa perjuangan Palestina bukan isu agama, melainkan isu kemanusiaan dan hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dr. Ghada Karmi adalah seorang akademisi senior, dokter, dan penulis kelahiran Palestina. Ia telah menulis tentang isu-isu Palestina di surat kabar dan majalah, termasuk di media The Guardian, Tha Nation dan Journal of Palestine Studies. Sementara Prof. Karma Nabulsi aktif dalam penelitian sejarah dan politik kontemporer pengungsi Palestina.
Gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil di Inggris juga menjadi motor utama kampanye Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) yang menekan perusahaan dan lembaga internasional agar tidak berkolaborasi dengan pendudukan Israel.
Baca Juga: Olimpiade dan Penjajahan: Polemik IOC–Indonesia
Di Prancis, diaspora Palestina memanfaatkan jalur seni dan budaya sebagai alat advokasi. Film, teater, dan pameran seni bertema Palestina sering diadakan untuk menggugah empati publik Eropa terhadap penderitaan warga Gaza dan Tepi Barat.
Di Amerika Serikat, diaspora Palestina menghadapi tantangan berat karena kuatnya pengaruh lobi pro-Israel. Namun mereka justru menjadi simbol keberanian dalam menembus tembok narasi dominan. Tokoh-tokoh seperti Rashida Tlaib, anggota Kongres AS keturunan Palestina, dan aktivis seperti Linda Sarsour serta Noura Erakat, telah mengubah wajah perlawanan Palestina di Barat.
Mereka tidak hanya bicara tentang Gaza atau Yerusalem, tapi juga tentang hak asasi, kesetaraan, dan dekolonisasi, menghubungkan perjuangan Palestina dengan gerakan keadilan sosial global.
Di Kanada, komunitas Palestina aktif menggelar forum, festival, dan kegiatan edukatif untuk membangun pemahaman publik tentang realitas pendudukan Israel.
Di kawasan Amerika Latin, terutama di Chili ternyata memiliki komunitas keturunan Palestina terbesar di luar Timur Tengah, dengan lebih dari 400 ribu orang. Komunitas ini berpengaruh dalam politik dan ekonomi Chili. Bahkan, ada anggota parlemen dan wali kota yang berasal dari keturunan Palestina.
Baca Juga: Tatanan Baru Palestina dan Ujian Bagi Solidaritas Dunia Islam
Mereka menggerakkan diplomasi solidaritas lintas benua, menghubungkan isu Palestina dengan sejarah kolonialisme di Amerika Latin. Di berbagai negara seperti Chili, Bolivia, dan Venezuela, dukungan terhadap Palestina tumbuh kuat sebagai simbol perjuangan rakyat tertindas.
Adapun di kawasan Asia, termasuk Malaysia dan Indonesia, meskipun jumlahnya tidak besar, diaspora Palestina memainkan peran penting dalam memperkuat jejaring solidaritas global. Banyak mahasiswa Palestina yang menempuh pendidikan di universitas-universitas Asia Tenggara, menjadi jembatan komunikasi antara perjuangan Palestina dan masyarakat Muslim kawasan ini.
Indonesia sendiri, dengan komitmen diplomatik dan solidaritas rakyatnya, menjadi ruang yang ramah bagi diaspora Palestina. Melalui lembaga kemanusiaan dan forum internasional, suara mereka memperkuat diplomasi publik tentang kemerdekaan Palestina.
Begitulah, diaspora Palestina membangun satu bentuk perlawanan baru berupa perlawanan naratif (narrative resistance). Jika pendudukan Zionis Israel berusaha menghapus Palestina dari peta, diaspora membaliknya dengan memastikan bahwa Palestina hidup dalam ingatan, diskursus, dan karya-karya mereka.
Baca Juga: Dari Viral ke Vital, Menata Ekonomi Kreatif dan Gig Economy 2025
Mereka menolak menjadi sekadar korban, mereka menempatkan diri sebagai subjek sejarah, bangsa yang terus berjuang mempertahankan martabat dan identitasnya. Di era digital, diaspora Palestina menjadi jurnalis, penulis, dan aktivis global yang menggugat ketidakadilan melalui pena, kamera, dan suara mereka.
Karenanya, keberadaan diaspora Palestina adalah bukti bahwa penjajahan tidak mampu menghapus identitas dan semangat bangsa. Mereka adalah diplomat rakyat yang kadang tanpa paspor, yang mampu membawa kisah tanah airnya ke ruang-ruang dunia.
Melalui pendidikan, budaya, dan media, mereka menjadikan dunia sebagai saksi bahwa Palestina bukan sekadar wilayah, melainkan nilai-nilai perjuangan, kemanusiaan, dan keadilan, yang harus menjadi perhatian dan pembelaan manusia di dunia.
Selama narasi itu terus hidup, Palestina tidak akan pernah hilang dari sejarah umat manusia. []
Baca Juga: Menuju Indonesia Terang 2030: Listrik untuk Semua, Energi untuk Kedaulatan
Mi’raj News Agency (MINA)
















Mina Indonesia
Mina Arabic